Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc
» لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ «
“Tertusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi, lebih baik (ringan) daripada menyentuh (tangan) wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani, dan dishhaihkan oleh syekh Albani dalam kitab Shahih al-Jami’ no. 5045).
Saudaraku,
Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, merupakan pemandangan yang sangat lumrah. Di taman kota Metro setelah shalat Subuh. Di pelataran masjid setelah shalat. Murid-murid perempuan yang sudah baligh menjabat tangan dan bahkan mencium tangan guru laki-lakinya atau sebaliknya. Demikian pula di pondok atau di pesantren, dengan dalih ta’zhim (penghormatan dan memulyakan ustadz) para santriwati mencium tangan dan menjabat erat tangan ustadz-nya, dan santri putera mencium dan menjabat erat tangan ustadzahnya. Dan seterusnya.
Terlebih dalam suasana lebaran, terasa ada yang kurang dan bahkan kurang afdhal ketika bertemu dengan manusia, sementara kita tidak menjabat tangan mereka. Walaupun mereka adalah lawan jenis kita dan bukan mahram kita.
Saudaraku,
Hukum al-mushafahah baina al-rajul wa al-mar’ah al-ajnabiyah (berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama, baik di kalangan salaf maupun khalaf. Ada di antara mereka yang membedakan antara berjabat tangan dengan perempuan berumur dan perempuan yang masih muda usianya.
Persoalan ini harus dikaji secara syamil (komprehensif), ‘umq (mendalam) dan daqiq (teliti), tidak dibahas sepintas, apalagi jika hanya dikupas kulitnya saja. Agar pemahaman kita terhadap persoalan ini menjadi sempurna pula.
Oleh karena itu, perlu ditela’ah hukum al-mushafahah baina al-rajul wa al-mar’ah al-ajnabiyah (bersalaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), perlu digali dan dikupas dari perspektif pakar tafsir, hadits, fiqh dan kaidah fiqh serta yang lainnya. Agar membuakan hasil maksimal bagi kita dan tidak mensikapi persoalan ini secara ekstrim, tapi juga tidak meremehkan hukumnya.
Definisi al-mushafahah (jabat tangan) dan hukumnya
Ibnu Manzhur dalam kamusnya ‘lisan al-arab’ memaknai al-mushafahah, “Melekatkan telapak tangan seseorang pada telapak tangan yang lain, dan saling menatap satu dengan yang lainnya.” Atau saling memengang erat telapak tangan yang satu dengan telapak tangan yang lainnya. Oleh karenanya jika tidak ada tatapan mata atau tiada pegangan yang erat satu sama lain, makna jabat tangan menjadi semu.
Ibn Hajar mengatakan, “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, Jilid 11, Darul hadits, Kairo, hal. 64)
Imam Nawawi mengatakan, “Ketahuilah bahwa jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan, “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar).
Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama jenis, baik laki-laki atau sesama perempuan.
Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah jabat tangan itu dilakukan di antara para sahabat Nabi s.a.w ?.” Anas menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari, no. 6263).
Abdullah bin Hisyam mengatakan, “Kami pernah bersama Nabi s.a.w sementara beliau memegang tangan Umar bin Khattab.” (HR. Bukhari, no. 6264).
Ka’ab bin Malik menuturkan dalam hadits yang panjang tentang diterima pertaubatannya setelah mangkir dari perang Tabuk, “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi s.a.w. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Bukhari, no. 4418).
Dan beberapa hadis lainnya yang menyebutkan tentang Sunnah dan keutamaan berjabat tangan .Dikatakan bahwa Imam Malik membenci jabat tangan. Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat tangan yang sebelumnya beliau memakruhkannya. (Fathul Bari, Ibnu Hajar). Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan dirimu yaitu Nabi s.a.w pernah memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang shalih (mukmin).” (Ibnu ‘Asakir, Tarikh Damaskus).
Dengan demikian, pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut, sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini, maka pendapat tersebut terlalu lemah ditinjau dari berbagai sisi.
Al-Mushafahah dengan Perempuan Mahram
Saudaraku,
Al-mushafahah (jabat tangan) antara laki-laki dengan perempuan yang berstatus sebagai mahramnya dibolehkan, menurut pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan Pendapat yang mu’tamad dari Syafi’iyah. Namun Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan dua hal; aman dari fitnah dan tidak disertai dengan syahwat.
Dasarnya adalah bahwa Rasulullah s.a.w mencium Fatimah putrinya apabila beliau bertemu dengannya. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Abu Bakar biasa mencium putrinya Aisyah. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Jilid 37, h. 358).
Sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah mengharamkan berjabat tangan dengan mahram, selain orang tua terhadap anaknya atau sebaliknya, seperti terhadap mertua atau anak tiri dan lain sebagainya. Hal yang demikian itu karena dikhawatirkan terjatuh kepada fitnah atau menikmatinya dengan syahwat.
Hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan lansia
Saudaraku,
Bersalaman dengan perempuan tua yang laki-laki tidak memiliki syahwat lagi dengannya, begitu pula laki-laki tua dengan wanita muda, atau sesama wanita tua dan laki-laki tua, itu dibolehkan oleh ulama Hanafiyah dan mazhab Hanbali dengan syarat selama aman dari getaran syahwat antara satu dan lainnya. Karena keharaman bersalaman yang mereka anggap terlarang adalah lantaran khawatir terjerumus dalam fitnah. Jika keduanya bersalaman tidak dengan syahwat, maka fitnah tidak akan muncul atau jarang. Tersebut dalam sebuah hadits bahwa “Nabi s.a.w berjabat tangan dengan perempuan tua.”
Ulama Malikiyah mengharamkan berjabat tangan dengan perempuan non mahram meskipun sudah tua, di mana laki-laki tidak akan tertarik lagi terhadapnya. Mereka berdalil dengan keumuman dalil yang menyatakan keharamannya.
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat haramnya bersentuhan dengan perempuan non mahram, termasuk pula dengan yang sudah tua. Syafi’iyah tidak membedakan antara perempuan tua dan gadis. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Jilid 37, h. 359).
Berjabat tangan dengan perempuan non Mahram
Saudaraku,
Al-mushafahah bi al-mar’ah al-ajnabiyah (berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya), dihukumi haram oleh ulama mazhab yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Haabilah dalam pendapat yang terpilih, juga oleh Ibnu Taimiyah.
Ulama Hanafiyah lebih mengkhususkan pada gadis yang membuat pria tertarik. Ulama Hanabilah berpendapat tetap haram berjabat tangan dengan gadis yang non mahram baik dengan pembatas (seperti kain) atau lebih-lebih lagi jika tidak ada kain pembatasnya.
Dalil yang Menjadi Pegangan
Pertama, hadits ‘Aisyah r.a berkata,
“Jika perempuan mukminah berhijrah kepada Rasulullah s.a.w mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al-Mumtahanah: 12).
‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja perempuan mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah s.a.w sendiri berkata ketika para perempuan mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun. Beliau hanya membaiat para perempuan dengan ucapan beliau.
‘Aisyah berkata, “Rasulullah s.a.w tidaklah pernah menyentuh kulit perempuan sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).
Kedua, hadits Ma’qil bin Yasar, bahwa Rasulullah s.a.w bersabda,
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir).
Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang diancam dalam hadits di atas adalah menyentuh perempuan. Sedangkan bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan menyentuh.
Ketiga, dalil qiyas (analogi)
Melihat perempuan yang bukan mahram secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadits yang shahih yang menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang karena dapat menimbulkan godaan syahwat, apalagi menyentuh dan bersamalan, tentu godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh pandangan mata. Berbeda halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini seperti ingin menikahi seorang gadis, lalu ada tujuan untuk melihatnya, maka itu boleh. Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya saja.
Saudaraku,
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka hukumnya haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang –tetapi tidak boleh menyentuh- seperti seseorang yang memandang seorang perempuan dengan tujuan untuk dinikahi.” (An-Nawawi, al-majmu’).
Saudaraku,
Waspada dan berhati-hati adalah cara terbaik agar kita tidak terpuruk dalam kebinasaan dan mendekati ancaman Nabi s.a.w. Alihkan pandangan dari melihat wajah lawan jenis, terlebih yang bukan mahram kita, yang dapat menggetarkan hati kita. Dan tepislah uluran tangannya dengan sehalus dan sesantun mungkin, agar sikap kita tidak melukai perasaannya dan merisaukan hatinya. Allahummarzuqna al-istiqamah, amien wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)