Oleh: Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Kata-kata sunah sesungguhnya sangat agung. Dahulu para ulama menjadikan kata ini sebagai pedoman bagi umat untuk menentukan, mana keyakinan dan aqidah yang benar dan mana yang telah menyimpang. Yang benar disebut ahlussunah, yang sesat dan menyimpang disebut Ahlul bid’ah.
Sunah yang dimaksud disini adalah ajaran yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah-masalah pokok agama (Ushuluddin) atau juga disebut sebagai masalah aqidah. Yaitu perkara-perkara yang sudah jelas dan nyata, baik dari sisi dalil, kesimpulan terhadap dalil tersebut dan kesepakatan para ulama terhadap kesimpulan tersebut. Di sini tidak mengenal perbedaan pendapat. Adapun masalah-masalah furu’ (cabang) tidak termasuk dalam istilah sunah dalam masalah ini, karena di dalamnya terbuka luas peluang perbedaan pendapat.
Contohnya, rukun Iman dan rukun Islam secara global, atau masalah wajibnya shalat lima waktu, itu masalah prinsip, karena dalilnya jelas dan tegas, dan kesepakatan ulama juga jelas dan tegas dalam masalah ini, maka dia adalah masalah aqidah. Namun sejumlah kaifiyat-nya (tata caranya) masuk dalam masalah furu’ (cabang) yang diperselisihkan oleh para ulama. Misalnya soal talafuz (melafazkan) niat dalam shalat.
Jadi, kalau ada dua orang, yang yang satu berpendapat; Harus beriman kepada takdir Allah, yang baik maupun buruk, atau agama yang benar hanyalah Islam, atau bahwa shalat lima waktu itu wajib bagi setiap muslim, maka kita katakan dia ahlussunah. Adapun yang satu lagi berpendapat bahwa dia tidak beriman kepada takdir Allah, atau bahwa ada agama lain yang benar selain Islam, atau bahwa shalat lima waktu tidak wajib, maka dia bukan Ahlussunah, dia adalah ahlul bid’ah, karena sikapnya bertentangan dalam masalah ‘ushul’ (pokok).
Tapi kalau ada dua orang, yang satu mengatakan bahwa talafuz (melafazkan) niat tidak disyariatkan dalam shalat, yang satu lagi menyatakan bahwa melafazkan niat dalam shalat disyariatkan, dalam hal ini kita tidak dapat mengatakan bahwa yang satu adalah ahlussunah dan yang satu lagi adalah ahli bid’ah. Karena ini masalah cabang dalam fiqih yang telah diperdebatkan dalam kajian-kajian fikih oleh para ulama sejak dahulu.
Jadi jelaslah, masalah sunah dan bid’ah pada awalnya diterapkan dalam masalah-masalah ushul (pokok agama). Dua tokoh ulama Tabi’in, Yusuf bin Asbath dan Abdullah bin Mubarak mengatakan,
أُصُولُ الْبِدَعِ أَربَعَةٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّة، وَالْمُرْجِئَة
“Pokok-pokok bid’ah itu ada empat: Rafidhah (syiah), khawarij, qodariah dan murji’ah.” (Majmu Fatawa, 1/283, berdasarkan penomoran Maktabah Syamilah)
Karena itu Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
“Bid’ah yang karenanya seseorang dapat dianggap sebagai ahlul ahwa (budak hawa nafsu/ahli bid’ah) adalah apa yang sangat dikenal oleh para ulama sunah bahwa perkara tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah, seperti (bid’ah) khawarij, rafidhah (syiah), qadariah dan murji’ah.” (Majmu Fatawa, 9/269, berdasarkan penomoran Maktabah Syamilah).
Adapun masalah ijtihad-ijtihad fiqih yang sering diperdebatkan, misalnya, apakah isbal haram atau tidak, pelihara jenggot wajib atau tidak, berpartai boleh atau tidak, demonstrasi boleh atau tidak, semestinya hal ini dibicarakan dalam ranah fiqih. Silakan berargumen dan cari pendapat yang lebih kuat. Tapi tidak kemudian mencap orang yang berbeda pendapat dengannya sebagai bukan sunah atau ahli bid’ah.
Maka, jika boleh diibaratkan, dahulu para ulama menggunakan istilah sunah seperti halnya pentungan untuk mengusir atau menghalau para perampok yang jelas-jelas hendak masuk ke kampung warga dan hendak merampoknya. Namun, jika kini banyak yang serampangan menyematkan istilah sunah dan bukan sunah; seperti ustaz sunah dan bukan ustaz sunah, kajian sunah dan bukan kajian sunah, pesantren sunah dan bukan pesantren sunah, padahal secara umum prinsip-prinsip dasar keIslamannya masih benar, ini tak ubahnya seperti menggunakan pentungan yang asalnya untuk mengusir perampok, tapi justeru digunakan untuk mementung dan mengusir warga di kampungnya sendiri. Maka wajarlah kalau kemudian keributan demi keributan sering kita dengar…. Wallahul musta’an.
(Manhajuna/IAN)