Oleh: Ust. Abu Ja’far Firadi, Lc.
Saudaraku… Dalam hidup, manakah yang lebih sering kita lakukan? Menangis atau tertawa? Tentu bagi kita yang telah dewasa, tertawa lebih dominan kita lakukan. Berbeda saat kita bayi dan anak-anak dahulu. Bisa jadi tertawa dipicu karena melihat sesuatu yang lucu dan unik serta menggembirakan kita. Acara-acara komedi dan lawakan di Televisi, lebih menyedot perhatian pemirsa daripada acara-acara yang mengundang tangis seperti muhasabah dan nasihat serta pengajian. Dan bahkan pengajian pun tidak jarang diselingi dengan banyolan dan sejenisnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering kurang mampu menata hati kita saat melihat kesuksesan, keberuntungan dan kejayaan orang-orang di sekeliling kita. Saat mendengar sahabat yang satu profesi dengan kita; naik gaji atau mendapat bonus tertentu dari atasannya atau THR, kita lupa untuk mendo’akannya keberkahan dan kebaikan. Saat orang lain dikaruniai buah hati, sementara kita belum mendapatkan amanah dari Allah swt berupa anak, padahal kita sudah lama merindukan hadirnya permata hati untuk meramaikan keluarga. Ada desiran kecemburuan yang jika dibiarkan, dapat membahayakan hati kita.
Kala melihat seorang saudara yang satu generasi dan waktu merantau di negeri seberang, telah memiliki rumah yang mewah (mepet sawah), beragam warna investasi dan yang senada dengan itu. Terkadang desiran aneh muncul di hati. Saat melihat rekan-rekan satu usia, telah berbahagia dengan pendamping hidup yang cantik jelita. Sementara kita belum berubah statusnya; masih tetap berani menatap hidup seorang diri. Terkadang iri hati, teramat sulit kita hindari. Terlebih lagi jika salah satu istri mereka adalah orang yang pernah singgah di hati kita. Dan begitu seterusnya. Banyak sebab yang membuat kita iri hati. Tidak sedikit faktor yang menyebabkan kita hasad terhadap sesama.
Saudaraku.. Apa rahasianya, mengapa kita lebih sering tertawa daripada meneteskan air mata? Dan mengapa kita sulit membentengi kita dari sifat iri hati, hasut, dendam dan yang seirama dengan itu? Rahasia dan kuncinya? Mari kita bertanya kepada sahabat Nabi saw yang dikenal zuhud dan ahli ibadah; Abu Darda ra. Di mana ia pernah bertutur: “Siapa yang banyak mengingat kematian, maka akan berkurang kegembiraannya (tidak banyak tertawa) dan sedikit rasa hasadnya (kepada orang lain). Jika anda mengenang orang-orang yang telah pergi, coba hitunglah (seolah-olah) anda menjadi salah satu dari mereka. (Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku.. Jadi jawabannya adalah karena kita jarang, sedikit sekali atau nyaris tak pernah mengingat mati. Dan jarang membayangkan bagaimana keadaan kita setelah mati nanti. Kalau belajar dari Nabi saw, beliau setiap malam mengunjungi kuburan Baqi’. Di mana ada sepuluh ribu sahabat dikuburkan di sana. Tujuannya, tentu selain untuk mendo’akan ahli Baqi’, juga untuk mempertebal mengenang kematian. Lain lagi dengan Ibnu Sammak al Wa’izh, ia menggali kuburan di samping rumahnya. Jika ia rasakan amal ibadahnya berkurang. Atau kwalitas amal-amal ketaatannya menurun, ia turun ke kuburan yang ia gali dan di sana ia membayangkan suram dan ngerinya alam kubur tersebut.
Saudaraku… Pantas kita senang tertawa terbahak-bahak dan membiarkan hati digenangi iri hati dan hasut. Karena kita jarang mengingat mati dan menghadirkan kengerian alam barzakh yang pasti akan kita lalui. Wallahu a’lam bishawab.
Riyadh, 07 Agustus 2012 M
(AFS/MAnhajuna)