Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kolom / Saatnya Melakukan ‘Uzlah Jiwa
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Saatnya Melakukan ‘Uzlah Jiwa

Dalam kitab Riyâdhus Shâlihîn, Imam Nawawi membuat satu bab khusus dengan judul, “Istihbâb al-‘uzlah ‘inda fasâd an-nâs wa az-zamân”, yang berisi tentang keutamaan menyendiri di zaman yang penuh kerusakan.

Imam Nawawi memulai bab ini dengan menukil Surat Adz-Dzariyat ayat 50: “Maka oleh karena itu, segeralah berlari kepada Allâh, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang terang.”

Ini adalah yang esensial dari ‘Uzlah, yaitu segera meninggalkan kebisingan dunia, berlari menuju Allah dengan Taubat Nasuha.

Kemudian beliau memuat sebuah hadits dari sahabat Sa’ad bin Abî Waqqâsh, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu cinta kepada hamba yang bertaqwa, kaya jiwa dan tersembunyi” (HR. Muslim).

Lalu Imam Nawawi menyebutkan beberapa hadits yang lebih spesifik lagi tentang keutamaan ‘Uzlah. Seperti hadits dari Abu Sa’id al-Khudzri, bahwa ada seorang lelaki yang bertanya: “Siapakah manusia yang paling utama, ya Rasulullah?”. Beliau pun bersabda: “Yaitu seorang Mu’min yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah.

Lalu orang itu bertanya lagi, “Selanjutnya siapakah?”. Rasulullah shallallâhu’alaihi wasallam bersabda: “Kemudian seorang yang menyendiri dalam suatu jalanan di gunung – suatu tempat di antara dua gunung yang dapat digunakan sebagai kediaman – dari beberapa tempat di gunung, untuk menyembah kepada Rabb-nya.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bahwasannya sebaik-baik harta seseorang Muslim itu ialah kambing yang diikutinya sampai ke puncak gunung serta tempat-tempat hujan – tempat yang banyak rumputnya – orang itu lari kesana dengan membawa agamanya karena takut adanya berbagai macam fitnah.” (HR. Bukhari).

Meski para Ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara ‘Uzlah (menyendiri) dari kerusakan atau Mukhâlathah (berbaur) demi perbaikan, namun hampir semua sepakat tentang pentingnya melakukan ‘Uzlah untuk menjaga hati dari fitnah dunia. Setidaknya ‘Uzlah temporer.

Ibnu ‘Abbâs pernah mengatakan, “Sebaik-baik tempat duduk adalah di bagian terdalam dari rumahmu, dimana kamu tidak bisa melihat dan terlihat oleh manusia”.

Makhûl juga pernah berkata, “Jika dalam berbaur dengan manusia ada kebaikan, maka dalam menyendiri ada keselamatan. Ketahuilah, siapa yang ingin mengistirahatkan hatinya dan badannya, hendaknya ia menyendiri dari manusia. Ini adalah zaman yang menyeramkan, dan orang berakal adalah yang memilih kesendirian”.

Ibnu Sammâk mengingatkan, “Dahulu manusia adalah obat yang menyembuhkan penyakit, kini mereka berubah menjadi penyakit yang tidak terobati. Maka larilah dari mereka seperti lari dari singa. Lalu jadikan Alloh Ta’ala teman satu-satunya”.

Itulah yang seharusnya dilakukan saat bertemu zaman yang penuh dengan kerusakan. Apalagi jika kita lemah dan tak bisa ikut melakukan perbaikan. Namun, sepertinya keterikatan dan keterkaitan kita dengan dunia sudah begitu eratnya. Selama ini tak kunjung berdaya memutus hubungan dengannya, walau sebentar saja.

Hingga hari-hari ibtilâ’ ini pun tiba. Dimana makhluk Allâh Ta’âlâ yang dinamai Corona seperti memaksa kita untuk segera mentas dari pusaran arus dunia. Maka ini adalah kesempatan emas untuk melakukan ‘Uzlah Jiwa. Meski hanya parsial dan sementara.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hendaknya seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus untuk menyendiri, yaitu untuk berdoa, berdzikir, sholat, merenung, muhasabah, memperbaiki hati dan perkara-perkara khusus lainnya” (Majmû’ Fatâwâ: 10/424).

‘Aidh Al-Qorny dalam kitabnya, ‘Izzul ‘Uzlah, menyebutkan beberapa hal yang harus dilakukan saat ‘Uzlah demi tercapainya target penyucian jiwa, diantaranya: membatasi diri dari banyak berinteraksi dengan manusia, totalitas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, serta melakukan kontemplasi dan evaluasi diri.

Maka, seperti ‘Uzlah-nya Nabi Yunus ‘alaihissalâm, yang terpaksa di-lockdown dalam perut ikan. Lalu merenung dan tersadar atas kesalahannya meninggalkan kaumnya. Ia pun berucap, “Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang zhalim”.

Seperti ‘Uzlah-nya Maryam ‘alaihassalâm, yang terpaksa terjauhkan dari keluarga. Lalu dalam keterkucilan itu ia berkesempatan munajat kepada Allah Ta’ala dan tanpa cemooh bisa melahirkan putranya, yaitu Nabi Isa.

Seperti ‘Uzlah-nya Rasulullah ‘alaihis sholâtu wassalâm, yang terpaksa meng-isolasi diri di Jabal Nûr karena kebobrokan kaumnya. Kemudian dalam kesendiriannya memperoleh wahyu pertama, lalu bangkit mengemban misi kenabian untuk seluruh manusia.

Seperti itu juga seharusnya diri kita. Hari-hari ini adalah saatnya melakukan ‘Uzlah Jiwa. Dalam penyendirian dan kesendirian yang ada, kita harus bisa menangkap banyak makna. Semoga.

(Manhajuna/IAN)

(Visited 485 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Hikmah Istighfar. Mari Semangat Ber-Istighfar!

Bersama: Buya (Dr.) Ahmad Asri Lubis (غفر الله له ولوالديه وللمؤنين) Seorang ‘belia sholeh’ berujar, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *