Oleh: Ust. Abu Ja’far Fir’adi, Lc.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam itu banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki Qalb (hati) tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al A’raf: 179).
Saudaraku,
Apa bedanya kita dengan hewan dan binatang? Seorang dosen dari Sudan pernah mengatakan bahwa manusia adalah “hayawan ‘akil wa yantiq” hewan yang berakal dan berbicara. Itu artinya perbedaan kita dengan hewan memang sangat tipis. Yang membedakan hanya akal dan tutur kata.
Walaupun secara fisik dan sisi rupa kita masih di atas angin. Artinya seburuk-buruknya wajah kita jelas masih lebih kinclong dibandingkan penghuni kebun binatang di Way Kambas sana.
Namun ketika kita berbicara tak terarah, ngelantur tak terukur dan kita tak lagi memfungsikan akal kita dengan baik, maka tentunya kita layak disandingkan dengan orang utan. Wajar jika ada orang menyamakan seseorang yang tak mengenal aturan sebagai “binatang.”
Tapi sebenarnya dalam kaca mata agama, masa depan hewan dan binatang ternak di akherat secara umum jauh lebih cerah daripada manusia yang berakal ini. Bagi mereka yang memiliki pendengaran, penglihatan dan hati. Tetapi hakekatnya mereka tuli, buta dan gelap hatinya. Untuk itulah orang kafir berandai-andai di neraka, “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (An Naba’: 40).
Maksudnya adalah ia ingin diciptakan Allah menjadi binatang atau hewan saja di dunia. Karena setelah dilaksanakan qishash di akherat (misalnya yang pernah nyeruduk hewan lain akan diseruduk) dan setelah itu hewan-hewan itu akan dimusnahkan menjadi tanah atau debu. Demikian disebutkan oleh sebagian ahli tafsir.
Saudaraku,
Manusia diberikan banyak keistimewaan dibanding makhluk ciptaan Allah yang lain. Dari segi fisik dan rupa.
Kemudian Allah SWT menyempurnakan kita dengan akal dan kekuatan intelektual. Yang dengannya kita diharapkan mampu mengemban amanah-Nya menjadi pemakmur bumi dan khalifah-Nya.
Juga dikaruniakan-Nya ruhani yang hidup, agar kita mampu menjadi seorang ‘abid yang pasrah dan tunduk pada hukum dan aturan-Nya.
Namun terkadang syahwat, yang mengeluarkan kita dari sifat kemanusiaan kita. Syahwat mengalahkan indera kita. Dan kita lupa dengan status kita sebagai seorang hamba. Kita ingin bebas tanpa memperdulikan aturan-Nya.
Perjalanan kita menuju Allah SWT terkadang tak seimbang. Kita tergoda mengikuti syahwat kekuasaan. Syahwat mulut, syahwat perut dan kebutuhan di bawah perut.
Pertanyaannya adalah kapan kita serupa atau paling tidak mirip dengan binatang ternak atau hewan?
Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah dalam karyanya “hakadza allamatnil hayat” pernah menjawab pertanyaan kita ini dengan sebuah jawaban:
“Siapa yang mendengar al Qur’an dibaca tapi tak mendatangkan kekhusyu’an.
Siapa yang teringat dosa di masa lalunya, tapi tak membuatnya bersedih hati.
Siapa yang melewati beragam kesulitan tapi tak mau mengambil pelajaran darinya.
Siapa yang mendengar bencana alam di sekitarnya, tapi hatinya tak meradang dan menjerit pilu.
Duduk dan bertetangga dengan ulama tetapi ia tak mau belajar dan mengambil ilmu darinya.
Tinggal di lingkungan ahli hikmah tetapi tak menjadikannya bijak dalam mensikapi hidup.
Siapa yang membaca sejarah hidup orang-orang besar yang telah mengukir sejarah, tapi tak tergerak semangatnya menjadi orang besar.
Pada saat itulah ia sama dengan hewan, yang sekadar hanya makan dan minum. Meskipun ia seorang manusia yang berbicara dan bercakap-cakap.”
Saudaraku,
Subhanallah. Nasehat yang teramat menusuk dada kita dan bahkan sampai ke ulu hati kita yang paling dalam. Namun nasihat ini dapat menyentuh hati kita, jika kita menjadi ulul albab. Cerdas di mata Allah dan rasul-Nya.
Bila kita tengok keadaan kita, maka kita sadar dan mengakui dengan kejujuran nurani, bahwa al Qur’an belum membekas di kalbu kita. Jauh dari kata khusyu’. Mungkin karena hati kita terlampau gelap lantaran dosa dan maksiat yang terus menerus terulang.
Allah mengilustrasikan orang yang tak mengindahkan ajaran kitab-Nya sebagai keledai yang dungu (Al Jumu’ah: 5).
Orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai raja yang selalu dipuaskannya, Allah swt gambarkan seperti seekor anjing yang jika dihalau atau dibiarkan sama-sama menjulurkan lidahnya (Al A’raf: 176).
Orang yang menyulut kemarahan Allah dengan melanggar rambu-rambu-Nya, Allah umpamakan seperti seekor kera dan babi. (Al Maidah: 60).
Adakah yang lebih buruk dari keadaan manusia, yang telah berubah wujud menjadi keledai, anjing, kera dan babi? Tentu tidak ada. Dan tentu kita tak mau. Mari kita kembali kepada al Qur’an. Yang akan mengangkat kita pada tingkatan tertinggi. Baik di dunia maupun di akherat sana.
Saudaraku,
Pembeda antara orang yang bertaubat dan penikmat dosa dan maksiat adalah bagaimana cara kita mensikapi dosa dan kesalahan yang pernah kita lakukan.
Jika dosa dan kesalahan membuat kita bersimbah air mata. Mengakui kesalahan dan khilaf kita di hadapan-Nya. Lisan kita dibasahi dengan lafadz istighfar dan zikir. Serta kita ikuti kesalahan dan dosa kita dengan ukiran amal-amal shalih dan mendaki puncak ubudiyah. Berarti kita tergolong dalam kelompok at tawabin.
Namun sebaliknya, jika perbuatan dosa dan maksiat justru membuat tidur kita semakian nyenyak dan senyum kita semakin mengembang. Tiada derai air mata penyesalan. Berarti kita tergolong al mushirrin alal maksiat wadzunub (konsisten dalam melakukan dosa dan maksiat). Wal iyadzu billah.
Saudaraku,
Sakit yang mendera tubuh. Bangkrut yang menyapa usaha kita. Terpuruk dalam kemiskinan. Gagal dalam membangun keluarga. Persoalan hidup tak pernah sepi menyapa kita. Beban berat yang menggelayut di dada. Dan problematika hidup lainnya yang pernah menyapa hidup kita.
Semua itu jika tak membuat kita sadar bahwa kita adalah makhluk ciptaan-Nya yang dhaif, yang selalu menanti huluran tangan-Nya. Memerlukan bantuan Zat yang Maha Kuat. Ingin selalu merapat dan berdekatan dengan-Nya. Itu artinya kita sama seperti hewan yang tak berakal dan berhati nurani.
Ulul albab adalah mereka yang dapat belajar dari peristiwa alam. Bencana alam yang menyapa negeri kita. Banjir yang tak pernah luput setiap tahunnya. Gempa bumi yang menyapa sebagian daerah. Angin putting beliung yang tak terbendung di beberapa wilayah. Kecelakaan maut yang hampir tiap hari menghiasi media masa. Dan yang senada dengan itu.
Jika hal itu tak mampu menghadirkan bayangan azab neraka yang dahsyat tak terperi, itu maknanya kita telah terlempar dari jajaran ulul albab.
Demikian pula semestinya kita dapat belajar dari musibah maknawi yang menimpa umat ini. Banyaknya anak wanita yang hamil di luar nikah. Membunuh jiwa yang tak berdosa hanya karena mendapat iming-iming 25 juta rupiah. Perselingkuhan suami yang dibalas dengan perzinaan istrinya. Pengguna pil ekstasi dan narkoba yang semakin meluas. Dan yang senada dengan itu.
Jika musibah zahir dan bathin, hanya kita kelompokan menjadi berita dalam negeri tanpa makna. Kita tak mau mengambil pelajaran darinya. Maka apa bedanya kita dengan hewan di sekitar kita?.
Saudaraku,
Salah satu nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada kita adalah bertetangga dengan seorang yang alim dan berdampingan dengan orang bijak. Bahkan di zaman salafus shalih, mahalnya harga sebuah rumah sangat ditentukan oleh tetangga yang baik dan shalih. Dan bukan karena letaknya yang berada di tengah kota atau wilayah yang strategis.
Karena keamanan zahir dan ketenangan bathin akan tercipta di alam realita, jika tetangga kita adalah seorang yang shalih dan penuh hikmah. Terwarnai keshalihan mereka.
Namun jika bertetangga dengan mereka, justru membuat kita tak nyaman dan gelisah. Khawatir kita menjadi bahan nasehatnya. Maka pada saat itu, ada yang perlu kita benahi. Ada masalah dengan iman kita. Ada yang salah dalam bathin kita. Kita tak ubahnya seperti binatang ternak.
Saudaraku,
Mungkinkah kita menjadi orang besar, jika kita tak mau belajar dari orang-orang besar?. Tak memiliki nafas yang panjang dalam mengarungi samudera kehidupan. Jika kita tak mengikuti jalan yang pernah dilalui oleh orang-orang besar, kita selamanya akan menjadi manusia kecil. Kalaupun kita menjadi besar, mungkin hanya besar kepala saja.
Mudah-mudahan kita bisa membenahi diri. Sehingga kita tidak dipandang oleh manusia sebagai ular berbisa, harimau lapar dan buaya darat. Wallahu a’lam bishawab.
Metro, 19 Maret 2013
(AFS/Manhajuna)