Kultwit oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Dulu, kita pernah diajarkan bahwa rel kereta itu harus diberi jarak/#spasi satu sama lain, agar tersedia ruang utk memuai.
#spasi dlm tulisan juga dibutuhkan, utk keindahan dan kemudahan memahami. Bayangkan kalau tulisan tdk ada spasinya…
Begitulah kurang lebih yg juga kita butuhkan dlm hidup ini: #spasi kehidupan. Ruang yg harus kita kosongkan utk diisi sesuai kebutuhan..
Hidup ini sangat beragam, berwarna, berkelindan, penuh konsideran. Beratlah kala dipahami mutlak2an, serba dikotomis dan hitam putih. #spasi
#spasi dlm kehidupan dapat kita maknai sbg ruang permakluman, toleransi, ruang diskusi, mencari konsideran, mencari hikmah, dll.
Ketika kita melihat anak istri tdk menurut, langsung kita vonis mereka durhaka, itu pertanda kita tdk punya #spasi kehidupan.
Tapi, jika di tengah kekecewaan menghadapi hal tsb, kita tetap memberi ruang untuk memahami alasan mereka bersikap spt itu, itulah #spasi kehidupan..
Ibnu Mubarak berkata, “Jika istri dan hewan tunggangan saya tdk menurut, saya melihatnya sbg indikasi ketakwaan yg sedang turun..” #spasi
Ketika kita memuji seseorang, jangan lupa sediakan #spasi dlm diri kita ttg sisi kemnusiaannya yg berpotensi salah dan khilaf…
Sehingga jika memang suatu saat ada kesalahan yg terbukti dia lakukan, kita tdk berapologi atau berbalik 180 derajat memusuhinya… #spasi
Pun sebaliknya, jika kita tdk menyukai sikap seseorng, hendaknya tetap memberikan #spasi utk memahami alsannya, latar belakangnya, atau lainnya.
Apalagi kalau masalahnya sangat terbuka utk membrikan ruang interpretasi dan yg menyampaiknnya memilki kapasitas ilmu dan pengalaman.. #spasi
Ketiadaan #spasi kehidupan inilah yg menjadikan setiap perbedaan berujung dg benturan, kata-kata keji atau bahkan kekerasan, dlm semua dimensi..
#spasi kehidupan ini bukn berarti tdk punya prinsip. Prinsip itu harus, tapi terukur, tdk membabi buta serta tetap menghormati pihak lain.
(AFS/Manhajuna)