Oleh: M Husnaini
Dua ibu muda bertengkar hebat di depan sebuah sekolah taman kanak-kanak. Perang mulut yang berlanjut adu otot itu bermula ketika anak-anak mereka bermain lempar-lemparan tas, yang menyebabkan salah satunya menangis.
Seorang ibu yang kepala anaknya sedikit benjol akibat lemparan tas berisi buku itu merasa tidak terima. Dia lalu mengumpat ibu dari anak pemilik tas. Adu mulut terjadi. Umpatan berbalas umpatan, hingga emosi kedua belah pihak meledak. Kini, pertengkaran kecil antar anak berganti perang antar orangtua.
Kasus serupa, meski tidak selalu sama, boleh jadi bukan kali pertama terjadi. Kerap kali kita jumpai perselisihan antar orangtua dipicu oleh persoalan anak. Ironisnya, perselisihan antar orangtua tua itu berbuntut perang dingin dalam kurun lama. Masing-masing pihak enggan saling menyadari kesalahan. Hubungan harmonis antar sesama pun menguap entah ke mana.
Sebenarnya, jika kita mau sedikit berpikir dewasa, hal demikian sangat disayangkan terjadi. Pertengkaran antar anak sesungguhnya adalah hal wajar. Tidak usah terlalu didramatisasi, sehingga membuat keadaan semakin keruh. Sayang, tampaknya tidak semua orang dewasa mampu berpikir secara dewasa pula.
Dalam hal ini, kita patut belajar pada anak-anak. Meski sempat bertengkar, semenit kemudian, mereka kembali akur. Setelah menangis sebentar akibat rebutan mainan, misalnya, anak-anak kembali tertawa bersama. Pertengkaran mereka tidak pernah berlangsung dalam hitungan hari, apalagi bulan. Justru orangtua mereka yang sibuk dengan ego masing-masing, sehingga sukar untuk kembali akur. Bahkan, sekadar tegur-sapa pun enggan.
Sebagai orangtua, kita semestinya bisa bersikap lebih cerdas dan bijak. Ketika melihat anak-anak bertengkar atau saling mengolok-olok, ini seharusnya bisa kita jadikan pintu masuk untuk memberikan pendidikan hidup bersosial. Orangtua harus memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang cara mengelola konflik.
Dalam hidup bermasyarakat, konflik sosial mustahil dihindari. Kepada anak-anak, penting ditanamkan budaya saling mengalah dan menghargai sesama. Tidak sepantasnya orangtua menjadi setan yang mengadu domba dengan menyalahkan si teman, apalagi di depan anak.
Jika itu terjadi, berarti orangtua secara tidak sadar telah menanamkan bibit-bibit egoisme dan arogansi dalam jiwa anak. Ini berbahaya. Apalagi demi membela anak sendiri, yang belum jelas salah-benarnya, kita tidak ragu untuk bertengkar sesama orangtua.
Dari situ anak akan belajar tentang cara-cara penyelesaian masalah. Anak akan menyangka bahwa jalan keluar dari segala masalah adalah dengan jalan bertengkar, atau bila perlu beradu fisik. Inilah teladan yang menyesatkan.
Orangtua harus lebih banyak belajar tentang pola pendidikan anak. Jangan sampai, atas dasar rasa sayang, pola pendidikan kita justru menyesatkan jiwa anak. Bukankah sudah banyak kita jumpai orangtua yang merelakan anaknya putus sekolah dengan alasan sayang karena sang anak sudah tidak betah dengan sekolah?
Tidak jarang pula ada orangtua yang sendiko dawuh atas segala permintaan anak, meski permintaan itu jauh dari nilai-nilai pendidikan. Yang lebih fatal lagi, masih ada orangtua yang mengizinkan anaknya merokok karena merasa kasihan akibat sang anak sudah ketagihan. Dan ketika anak bersangkutan dihukum oleh sekolah, orangtua tidak segan-segan mendatangi dan menyalahkan pihak sekolah sembari berdalih bahwa anaknya itu merokok karena sudah mengantongi izin darinya. Luar biasa.
Maka jangan heran jika nilai-nilai kesopanan sudah semakin menjauh dari kehidupan anak. Tidak sedikit anak zaman sekarang yang sudah berani abai, bahkan melawan peraturan guru dan sekolah. Nilai-nilai tata krama tidak lagi menjadi urusan yang harus diindahkan. Sikap demikian semakin memperoleh pembenaran ketika mereka merasa mendapat dukungan dan pembelaan dari orangtua.
Akhirnya, mari kita segera mengupas diri. Sudahkah pola kasih sayang kita kepada anak-anak membuahkan nilai-nilai pendidikan, atau justru sebaliknya, melemparkan mereka ke jurang kehancuran?
dakwatuna.com