Oleh: Ust. Abu Ja’far, Lc.
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat Subuh dengan berjama’ah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu ia shalat dua raka’at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah secara sempurna, sempurna, sempurna.” HR. Tirmidzi.
Saudaraku,
Setiap orang yang jujur dengan keimanannya, tulus dalam azamnya, pasti mendamba dapat mengunjungi rumah kekasihnya, Allah swt. Seberapapun jarak yang harus ditempuhnya. Seberapapun biaya yang harus dikeluarkannya. Seberapapun waktu yang harus dihabiskannya.
Bersimpuh di Baitullah (rumah Allah), merupakan cita-cita terbesar umat Islam di belahan bumi manapun. Baik di Timur maupun Baratnya. Terlebih bagi kita yang mendapat keluasan rezki dan memiliki fisik yang prima. Sebab ibadah haji merupakan jalan pintas menuju surga. Haji dan umrah bukan sekadar paket rihlah ruhani biasa. Tapi, ia bergaransi surga dan pelebur kesalahan dan dosa.
Rasulullah saw bersabda,
“Antara satu umrah ke umrah berikutnya sebagai penebus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga.” (H.R; Bukhari).
Berapa banyak air mata yang tertumpah, karena harapan mengunjungi Ka’bah al Musyarrafah tak kunjung terwujud di alam realita. Mungkin karena biaya yang dibutuhkan belum terkumpul. Atau lantaran kondisi fisik yang sering didera sakit parah. Atau terganjal kuota, di mana kita harus menunggu sepuluh tahun untuk dapat berangkat ke sana jika tahun ini kita baru mendaftarkan diri.
Adakah di antara kita yang tak ingin masuk surga dan terhapus kesalahan dan dosa-dosanya? Tentu tidak ada. Selama ada iman di dada kita walaupun hanya setebal kulit ari. Dan semua kita pun sadar, bahwa tidak mudah masuk ke dalam surga. Karena surga merupakan barang dagangan Allah yang tak murah harganya. Dan tak mudah untuk menggapainya.
Saudaraku,
Jika kita termasuk mereka yang bersedih, karena belum mampu mengunjungi baitullah, maka kita tak perlu berlama-lama larut dalam kesedihan. Jangan kita biarkan hati kita gelisah dan khawatir berlebihan menunggu panggilan-Nya yang masih sayup-sayup terdengar di telinga kita.
Selama kita berupaya maksimal mencari jalan menuju ke rumah-Nya. Selama semangat kita mengunjungi baitullah tetap membara dan menggelora. Tak lapuk ditelan masa. Tak sirna termakan usia. Maka jalan menuju ke sana terbentang luas di hadapan kita. Bahkan kita dapat mengunjungi baitullah setiap hari, jika kita mau. Tidak menunggu waktu sampai satu tahun. Dan tak perlu mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah. Tak tersandung kuota. Berbahagialah bagi kita yang mampu memaksimalkan peluang ini.
Saudaraku,
Syekh Muhammad Jam’ah al Halbusi, menyebutkan dalam salah satu artikelnya bahwa ada beberapa amalan yang pahalanya sebanding ibadah haji atau umrah. Di antaranya:
Pertama, berniat dengan sungguh-sungguh untuk mengunjungi baitullah. Dengan niatan yang tulus suci akan mengelompokan kita dalam kafilah haji dan umrah walaupun kita tidak berada di tengah-tengah mereka. Karena ada uzur yang membatasi keinginan kita.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa sekembalinya Nabi saw dari perang Tabuk dan Madinah sudah berada di depan mata, beliau bersabda kepada para sahabatnya,
“Sesungguhnya di Madinah ada orang-orang, yang kalian tidak menempuh sebuah perjalanan dan tidak melewati sebuah lembah; melainkan mereka bersama-sama kalian, mereka terhalangi udzur berupa sakit” dan dalam riwayat yang lain, “Melainkan mereka berkongsi dengan kalian dalam pahala”, H.R Bukhari.
Karena niat yang ikhlas dan tulus disertai dengan kesungguhan usaha maksimal, sebagian sahabat mendapatkan pahala berjihad di jalan Allah. Walaupun jasad mereka tidak bersama para mujahidin. Namun hati dan semangatnya selalu menyertai mereka. Sakit dan uzur lainnya yang menghalangi mereka tidak berangkat ke Tabuk. Dan bukan karena malas atau takut berjihad seperti yang diperbuat oleh kaum munafikin.
Demikian pula dengan ibadah haji. Selama niat yang menggelora telah menghujam di dada. Do’a kepada yang di atas telah ditengadahkan. Usaha maksimal telah dilakukan. Namun karena ada uzur yang melekat di tubuh kita, baik karena biaya maupun uzur lain seperti sakit dan yang senada dengan itu. Insyaallah, kita tercatat di sisi-Nya sebagai orang yang berhaji di jalan Allah swt.
Kedua; Melaksanakan shalat sunnah dua raka’at di waktu syuruq (terbit matahari), yang di awali dengan shalat Subuh berjama’ah di masjid lalu duduk berzikir kepada Allah.
Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa shalat Subuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu ia shalat dua raka’at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah secara sempurna, sempurna, sempurna.” HR. Tirmidzi.
Saudaraku,
Ada pertanyaan yang menggelayut di benak kita, apakah Nabi saw biasa melakukan shalat syuruq ini? Tentu saja, karena beliau adalah suri tauladan kita di semua lini kehidupan kita.
Imam Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata, “Adalah Nabi saw selepas shalat Subuh, beliau tidak meninggalkan majlisnya sehingga beliau melakukan shalat. Beliau bersabda, “Siapa yang shalat Subuh (di masjid), lalu ia tetap duduk di majlisnya sehingga ia menunaikan shalat (sunnah), maka amalannya itu sebanding dengan haji dan umrah yang maqbul (diterima).”
Ketiga; Menghadiri majlis ilmu di masjid.
Imam Thabrani dan Hakim meriwayatkan dari Abu Umamah dari Nabi saw bersabda, “Siapa yang bergegas pergi ke masjid. Tujuannya tidak lain kecuali untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya kepada orang lain, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan haji secara sempurna.”
Namun ironinya, banyak masjid yang megah dan mentereng di sekitar kita, tapi di dalamnya sepi dari majlis ilmu. Seolah-olah masjid dibangun hanya sekadar untuk pelaksanaan shalat lima waktu belaka.
Padahal di zaman Nabi saw, masjid selain sebagai tempat ibadah. Ia juga berperan sebagai madrasah tempat menimba ilmu. Sebagai markas pengkaderan para sahabat. Menyelesaikan persoalan masyarakat dan umat. Membahas strategi perang dan seterusnya.
Keempat, Keluar menuju masjid dalam keadaan suci untuk menunaikan shalat fardhu dan shalat dhuha.
Abu Umamah ra meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa bersuci dari rumahnya, kemudian ia keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat fardhu, maka pahalanya seperti pahala seorang haji dalam keadaan ihram. Dan barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha, maka pahalanya seperti pahala orang yang menunaikan ibadah umrah.” (H.R; Abu Daud).
Kelima, melaksanakan umrah di bulan Ramadhan. “Umrah di bulan Ramadhan sebanding haji bersamaku.” Demikian sabda Nabi saw dalam riwayat Muttafaq alaih.
Keenam, Berbakti kepada kedua orang tua. Karena Rasulullah saw pernah berwasiat kepada salah seorang sahabat untuk berbakti kepada ibu (karena tinggal ibunya yang masih hidup), lalu beliau bersabda, ”Bertakwalah kepada Allah dengan cara berbakti kepada ibumu. Jika engkau lakukan yang demikian itu, maka engkau seperti orang yang menunaikan haji, umrah, dan orang yang berjihad”. (H.R; Thabrani dan Baihaqi).
Saudaraku,
Itulah beberapa amalan yang pahalanya setara dengan pahala orang yang sedang berhaji dan berumrah. Dan ini merupakan bukti kemurahan Islam. Di mana semua umat Islam, bisa meraih pahala haji dan umrah. Yang dapat dikejar oleh siapa saja. Bahkan oleh orang yang tak berharta. Tak memiliki jabatan. Tua renta. Dan siapa saja. Dimanapun dan bagaimanapun keadaannya.
Namun yang perlu kita pahami saudaraku,
Bahwa amal-amal ini tidak menggugurkan kewajiban berhaji dan berumrah. Orang-orang yang telah mengerjakan amal-amal ini tetap wajib melaksanakan ibadah haji dan umrah. Tentu bagi mereka yang mampu dan mendapat kelapangan rezki.
Saudaraku,
Selanjutnya terserah kita. Apakah kita ingin meraih pahala haji dan umrah yang terbentang di hadapan kita. Atau kita membiarkan diri kita tertinggal jauh dari orang-orang yang Allah beri keluasan harta terhadap mereka. Di mana mereka bisa mengunjungi baitullah kapan mereka mau. Sementara kita hanya mampu meneteskan air mata kesedihan.
Jika kita tak mampu melakukan amal-amal di atas yang pahalanya sebanding haji dan umrah. Memang kita layak untuk menangis. Menangisi kelemahan azam dan kerapuhan semangat ubudiyah kita. Menangisi diri kita yang telah mati. Meskipun nafas masih di kandung badan.
Yah, kita telah mengalami kematian hati dan semangat. Di mana hati kita tak lagi dapat menggerakkan anggota tubuh kita untuk mendaki puncak ubudiyah. Dan membiarkannya terlempar ke jurang kemalasan dan keringkihan ruhani. Wallahu a’lam bishawab.
Metro, 16 April 2013
(AFS/Manhajuna)