Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Ungkapan di atas yang cukup dikenal di dunia politik, sering ditangkap dengan kesan negatif. Kesan yang mudah ditangkap adalah bahwa ungkapan tersebut merupakan justifikasi (pembenaran) bagi praktek kotor yang sering dijumpai di dunia ini. Menghalalkan segala cara, menohok teman seiring, menjilat, ingkar janji, menggadaikan harga diri, KKN dan semacamnya seakan menjadi sah adanya, atau minimal harap dimaklumi, jika hal tersebut terjadi di dunia politik.
Sebenarnya kita dapat melihat ungkapan tersebut dalam sudut pandang berbeda yang lebih mendatangkan pencerahan dan penilaian positif. Yaitu sudut pandang yang melihat suatu permasalahan berdasarkan karakteristiknya dan wilayah pembahasan yang menjadi ruang lingkupnya.
Bagaimanapun setiap medan kehidupan ada karakteristik dan cara pendekatannya masing-masing, tidak terkecuali politik. Namun sayangnya, dalam kontek politik (praktis) karakteristik tersebut sering dipandang dari sisi negatifnya saja, seperti stigma-stigma di atas. Padahal ada karakteristik dalam medan politik yang apabila kita pahami dengan baik dapat membantu kita memberi penilaian obyektif tentang dunia ini serta menghindarkan kita dari sikap apriori dan apatisme berlebihan terhadap ‘makhluk’ yang satu ini.
Di antara karakteristik dunia ini yang perlu dipahami dengan baik adalah besarnya porsi pembicaraan tentang kekuasaan dan bagaimana meraihnya untuk mencapai kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Secara psikologis, kita sering terpenjara dengan ungkapan ‘Jangan mengejar jabatan’ sehingga abai dengan dahsyatnya dampak positif sebuah kekuasaan yang digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umat dan sebaliknya dahsyatnya kerusakan dari penggunaan kekuasaan yang tidak benar.
Padahal, kalaupun ungkapan tersebut bersumber dari peringatan Rasulullah saw tentang bahaya sebuah jabatan, hal itu lebih kepada peringatan agar jangan menyelewengkan jabatan, atau peringatan bagi mereka yang bermental lemah untuk menduduki sebuah jabatan. Adapun mengusahakan agar sebuah jabatan dipegang oleh orang yang kita pandang kompeten, apalagi disaat ada kekhawatiran jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab, justeru di sinilah setiap muslim dituntut kontribusi dan perannya. Dan bisa jadi dia merupakan kewajiban.
Hal inilah yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf as, sehingga dia menyodorkan tawarannya kepada pejabata Mesir… “Jadikanlah aku bendahara Negara…” (QS. Yusuf: 55) dan dampaknya adalah sebuah kerja prestisius yang dapat menyelamatkan penduduk Mesir dari bahaya kelaparan. Dan beberapa hari yang lalu, Presiden Mursi baru saja melakukan panen raya di Mesir yang menghasilkan produk gandum berlipat-lipat di banding penguasa diktator sebelumnya, dan akan melakukan swasembada daging dengan membuka jalur langsung dengan Sudan yang memiliki potensi peternakan berlimpah, untuk meninggalkan ketergantungan dengan negara-negara eksportir pangan dan daging dari barat…
Bahwa ada orang yang mengeksploitir masalah kekuasaan untuk kepentingan pribadi, mestinya tidak membuat kita terjebak dalam beban psikologis seperti itu. Sebab, jika itu langkah yang kita ambil, sama artinya kita menyerah menghadapi kondisi buruk untuk seterusnya kita serahkan urusan kita kepada orang lain yang tidak dapat kita harapkan.
Ini bukan masalah pertandingan Barca lawan Real Madrid, yang kita peduli atau masa bodoh, tidak berbanding lurus dengan realita dalam kehidupan nyata di tengah kita. Tapi ini adalah masalah yang kita suka atau tidak suka ‘menang kalahnya’ akan berdampak langsung bagi kondisi sebuah masyarakat yang kita berada di dalamnya.
Di sisi lain, tindakan tersebut (abai terhadap masalah politik) merupakan sebentuk sikap yang mengesankan lari dari tanggungjawab. Karena setelah sikap itu diambil, tidak ada lagi konsekwensi yang akan dia tanggung. Lain halnya jika dia mengambil sikap untuk terjun dan ‘berjibaku’ di dalamnya, penuh dengan berbagai konsekwensi yang akan dia tanggung (termasuk berbagai tuduhan dan kecaman) dan pada gilirannya akan mengantarkannya pada sebuah kerja besar yang membutuhkan stamina besar dengan agenda besar.
Bukankah hal ini yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,
“Seorang mu’min yang berbaur dengan masyarakat dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih baik dari seorang mu’min yang tidak berbaur dan tidak sabar dengan gangguan mereka.” (HR. Tirmizi).
Maka, dalam kontek perpolitikan, apalagi menjelang pemilu tahun depan, menjadi amat mendesak untuk membicarakan arti sebuah kekuasaan bagi kemaslahatan umat dan bagaimana kita meraihnya secara konstitusional. Tentu dengan bingkai dan orientasi yang lurus serta monitor dan evaluasi yang spartan.
Setelah itu, jika ada orang yang masih mengusik-usik kerja anda dengan tuduhan ‘haus kekuasaan’ cukup anda katakan, ‘Ini politik, bung!”
Riyadh, Rajab 1434 H
(AFS/Manhajuna)