Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Abang Tetangga Berangkat I’tikaf
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Abang Tetangga Berangkat I’tikaf

Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc.

Saudaraku,
Sore tadi saat aku sedang asyik duduk santai di dipan bambu depan rumah sambil menemani si kecil bermain. Sesekali mata memandangi melihat sawah yang tinggal menyisakan jerami setelah dipanen. Tentu pemandangan yang sangat indah. Ada sedikit arakan awan tipis di langit sana. Yang semakin asri suasana sore ini.

Tiba-tiba ku lihat, abang tetangga melintas dengan motor khas miliknya. Setelah musibah kemaren, terlihat banyak goresan dan bahkan luka mengangga di bagin bodi kendaraannya.

Berbeda dengan hari kemaren, yang penampilannya sangat oke. Sore ini justru dengan pakaian sederhana. Memakai jubah putih dan peci ala al Azhar Mesir. Sandal bersahaja, yang ia kenakan bukan lagi sepatu keren model terbaru.

Saat aku terbengong-bengong melihat penampilan, setelah salami a menegurku, “Mau ikut nggak sampean dek?.”

“Kemana?,” jawabku.

“Menghidupkan sunnah Rasul, yang sekarang banyak diabaikan oleh masyarakat muslim. Yakni I’tikaf.” Jelasnya.

Aku bertanya, “Bukannya I’tikaf itu dimulai sejak malam ke 21 Ramadhan bang?.”

Ia menjawab, “Pepatah menagatakan, “Laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu.”

“Apa artinya bang?.” Tanyaku.

“Apa yang tak dapat dilakukan seluruhnya, bukan berarti ditinggalkan seluruhnya. Artinya kalau kita memang tak mampu beri’tikaf selama sepuluh hari sepuluh malam karena berbagai alasan, yah paling tidak empat hari empat malam juga cukup.”

“Kalau di Riyadh dulu gimana bang, bisa full I’tikaf 10 hari ya?.” Soalku selanjutnya.

Ia menjawab, “Selama 10 tahun di Riyadh, malah aku nggak bisa I’tikaf.’

“Lho, kok bisa begitu bang? Bukannya di sana malah bisa I’tikaf di masjidil haram?.” Desakku.

“Faktanya memang tidak begitu dek. Saudara-saudara kita yang sedang mengais rezki di sana justru kesulitan untuk izin I’tikaf ke tempat kerja. Rata-rata libur Ramadhan, tiga hari sebelum lebaran.” Syarah sang abang.

“Wah berarti mendingan di Lampung ya bang kalau begitu, bisa I’tikaf secara sempurna selama kita ada kemauan dan cita-cita meraih prestasi puncak ubudiyah.” Komentarku.

“Ya nggak juga dek. Di manapun kaki kita berpijak. Tetap di setiap tempat ada plus minusnya. Tinggal bagaimana kita menjadikan yang minus itu menjadi plus. Dan yang plus bisa kita tingkatkan kadarnya.” Paparnya.

Saudaraku,
Walau ucapan terakhir aku kurang nyambung, tapi intinya dapat aku tangkap.

Bahwa di manapun kita berada selama ada semangat untuk mendaki puncak ubudiyah, insyaallah Allah bentangkan jalan di hadapan kita.

Sebaliknya, walaupun kita berada di tempat yang disucikan. Tak akan dapat mensucikan tubuh kita. Jika kita tak mewarnainya dengan amal shalih dan ukiran amal baik.

Mari kita beri’tikaf di sepuluh hari dan malam Ramadhan yang masih tersisa. Mudah-mudahan kita dapat meraih mimpi kita. Lailatul qadar adalah mimpi kita semua. Amien.

Selamat I’tikaf bang. Jangan lupa do’akan kami yang belum mampu menghidupkan sunnah Nabi ini. Karena kelalaian kami. Karena rendahnya semangat kami mengejar surga.

(AFS/Manhajuna)

(Visited 492 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *