Assalamu alaikum wr.wb.
Saya sudah membaca artikel anda yang berjudul “Meninggal dalam kondisi bertato”. Di artikel tersebut dituliskan “Namun demikian, orang yang sudah menyadari dosanya dalam masalah tato, cukup baginya melakukan tobat dengan taubatan nasuha”. Yang ingin saya tanyakan, saya sadar akan dosa dalam bertato, namun saya ingin tetap melaksanakannya, dan berniat dalam hati saya akan bertaubat sesudahnya. Apakah taubat saya diterima? Atau tidak termasuk taubatan nasuha? Demikian yang saya ingin tanyakan.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ashs-ahalatu wassalamu ala Rasulilllahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Wa ba’du:
Kesadaran dan pengetahuan tentang dosa sebuah perbuatan merupakan bekal yang harusnya menjadikan seseorang menjauhi perbuatan tersebut; bukan malah berniat untuk melakukannya. Pasalnya, niat untuk melakukan dosa dan maksiat meski disertai dengan tekad untuk bertobat sesudah itu, berada dalam suatu bahaya besar sehingga harus dihindari. Sebabnya adalah sebagai berikut:
1. Orang yang semacam itu berarti mempermainkan rahmat dan karunia ampunan yang Allah berikan. Allah membuka pintu ampunan bukan untuk membuat manusia berani melakukan dosa. Namun untuk menolong dan menyelamatkan manusia agar bisa memperbaiki diri.
2. Pengakuan dan keinginan untuk bertobat sesudah melakukan dosa bukan termasuk harapan yang terpuji; namun merupakangan angan-angan buruk dan bentuk ketertipuan. Allah befirman, “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah Kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu dan kamu ragu- ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah;dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang Amat penipu.” (QS al-Hadid: 14). Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa menurut generasi salaf maksud dari “kamu mencelakan diri sendiri” adalah bahwa kamu mencelakan diri dengan berbagai kenikmatan, maksiat, dan syahwat, lalu menunda taubat dari waktu ke waktu.”
3. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sesudah melakukan dosa, manusia sempat bertobat. Siapa yang menggenggam nyawa dan ajal manusia? Bukan dirinya; tetapi Allah. Bisa jadi sesudah berbuat dosa, pelakunya langsung meninggal dunia. Kalau ini yang terjadi, maka sungguh sebuah bencana. Sebab, manusia dilihat dari bagaimana ia mengakhiri hidupnya; apakah berakhir dengan baik (husnul khatimah) atau buruk (su’ul khatimah).
Karena itu, selagi ada kesempatan untuk bertobat, maka lakukan dengan segera tanpa menunda-nunda. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Sumber