Oleh: Faris Jihady, Lc
Dari Tauhid menuju Cinta
Pengembaraan manusia dalam proses mengenali Tuhannya adalah proses yang dinamis, ia tak pernah berhenti begitu saja, karena kecenderungan beriman kepada Tuhan adalah inheren dan natural sejak ia dilahirkan, fitrah, sebagaimana agama menyebutkannya demikian.
Seorang cendekiawan besar Andalusia abad pertengahan, As-Syatibi (w 790 H), pernah bertutur; “manusia pada umumnya tak berselisih tentang keberadaan Yang Mengatur mereka, Yang Menciptakan mereka, namun mereka berselisih dalam mendefinisikannya; siapa. Sebagian mereka mendefinisikannya dalam hitungan dua atau lima, alam atau masa, atau benda-benda di langit, ada pula yang menuhankan manusia, pohon, bebatuan, bahkan apa yang dipahat oleh tangan mereka sendiri”. Kecenderungan akan keberadaan Tuhan –bahkan seorang yang mengaku atheis pun- takkan bisa mengingkarinya, sebagaimana Charles Darwin berkata; “dalam puncak pergolakan hatiku, tak pernah sekalipun aku atheis dalam arti ingkari wujud Tuhan”.
Mendefinisikan Tuhan –Ma’rifatullah- adalah tujuan utama dari diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Karena mendefinisikan Tuhan tak bisa dijelaskan kecuali oleh Tuhan itu sendiri, sebab manusia hanya bisa mendeskripsikan dan membayangkan apa yang pernah dilihatnya. Sedangkan hakikat Tuhan tak pernah dilihat oleh makhlukNya karena itu Dia tak bisa dideskripsikan dalam versi apapun imajinasi manusia, karenanya Dia tetapkan kaidah; “Laisa Kamitslihi Syai’” ليس كمثله شيء, tak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya”. Al-Ikhlas adalah wahyu Allah Ta’ala yang Dia turunkan untuk menjawab secara lugas dan tegas akan pencarian tentang definisi diri-Nya. Mayoritas riwayat menyatakan rangkaian ayat-ayat suci ini dilatari oleh pertanyaan-pertanyaan orang Quraisy tentang definisi Tuhan; “Wahai Muhammad, sebutkan nasab Tuhanmu!?” turunlah rangkaian ayat ini sebagai jawaban ringkas, lugas dan tegas tentang definisi Tuhan.
Rangkaian ayat ini dimulai dengan perkataan “قل Qul”, yang bermakna perintah yang mengatakan dan menyampaikan sebagaimana adanya ia diwahyukan, juga menihilkan segala bentuk rekaan, kira-kira, khayal dan imajinasi akal manusiawi tentang definisi-Nya.
Surah ini mengoreksi beberapa persepsi keliru yang selama direka oleh akal manusia tentang definisi Tuhan; pertama, tentang jumlah-Nya, kedua, tentang ketidakbutuhan-Nya pada selain-Nya, ketiga, tentang berlepas-Nya Dia dari apa yang diistilahkan manusia dengan pasangan dan anak, keempat, ketiadaan siapapun dan apapun yang setara dengan-Nya.
Kelancangan Manusia dalam mendefinisikanNya
Persepsi keliru manusia dalam mendefinisikan Tuhan, Allah Ta’ala, adalah akibat upaya mereka-reka dan mengira-ngira, yang berujung pada persepsi salah dan fatal tentangNya yang berujung pada penisbatan kepadaNya keturunan; anak, keluarga dan akhirnya berkonsekuensi adanya pluralitas jumlah Tuhan.
Secara khusus, persepsi keliru di atas diyakini sebagai akidah oleh Yahudi & Nasrani. Yahudi menyatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah, sementara Isa Al-Masih diyakini oleh Nasrani sebagai anak Allah. Keyakinan ini pun tak luput direka oleh Musyrikin Arab, yang meyakini malaikat adalah anak-anak perempuan Allah, meski mereka sendiri menganggap anak perempuan sebagai aib. Keyakinan tentang adanya anak dan keluarga bagi Allah, dalam keyakinan Islam dianggap sebagai perkataan yang sangat lancang, dan kedustaan tertinggi terhadap Allah Ta’ala. Dalam sebuah Hadits Qudsi yang shahih;
Allah berfirman; “anak Adam mendustakan Aku, dan selayaknya mereka tidak berkata demikian, mereka juga melecehkan dan berkata lancang kepadaKu, dan selayaknya mereka tidak berkata demikian. Dusta mereka tatkala mereka berkata; ((takkan membangkitkanku sebagaimana telah menciptakanku, sedangkan kelancangannya tatkala ia berkata; Allah memiliki anak)). Padahal Akulah Al-Ahad As-Shamad (Esa, tempat bergantung segala sesuatu), tak beranak tak pula diperanakkan, tak ada pula yang setara denganNya”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Dalam mengoreksi keyakinan menyimpang di atas, Allah Ta’ala mengawali surat ini dengan mendeskripsikan diriNya dengan ungkapan “Ahad”. Ungkapan kunci yang merupakan simpul utama dari koreksi terhadap keyakinan-keyakinan cabang yang muncul akibat tak meyakini ke-Ahad-anNya. Tak meyakiniNya sebagai “Ahad”, berimplikasi pada penisbatan anak kepadaNya, penisbatan anak berkonsekuensi penisbatan pasangan, selain tentu saja penisbatan sifat ketuhanan kepada –apa yang dianggap- sebagai keturunan Tuhan, penisbatan pasangan berkonsekuensi kesetaraan antarpasangan, yang berarti kebutuhan Rabb kepada selainNya. Jika Rabb dianggap butuh pada selainNya, berarti berimplikasi munculnya anggapan bahwa DIA memiliki kelemahan. Maha Suci Allah dari segala kelemahan yang direka-reka makhlukNya.
Allah pilih ungkapan “ahad” bukan “wahid”, untuk menegaskan Maha Esa-nya Dia, Esa, Tunggal. Tunggal dalam jumlah, Tunggal dalam segala sifat kesempurnaan, Tunggal dalam keagungan, Tunggal tanpa siapapun yang setara, Tunggal tanpa tandingan. Karenanya sifat “ahad” hanya boleh disematkan kepada DzatNya dan tak boleh disematkan kepada selainNya. Betapa pentingnya makna yang dikandung surah ini menjadi rahasia mengapa Rasul saw menilainya setara dengan sepertiga Al-Quran, dan para cendekiawan menjadikan surat ini sebagai dasar utama dalam menjelaskan Tauhid Asma & Sifat, Pengesaan Allah dalam kesempurnaan nama, sifat dan deskripsiNya. Dan karenanya disimpulkan satu kaidah mendasar dalam mendefinisikan sifat & namaNya; bahwa kita tak diizinkan mendeskripsikan DzatNya, menisbatkan nama dan sifatNya, kecuali sebagaimana apa yang dibunyikan oleh Allah dan RasulNya, tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk), takyif (mengira-ngira bagaimana), ta’thil (pengingkaran makna). Ringkasnya; mengimani semua hal tersebut sebagaimana ia dibunyikan oleh nash wahyu.
Ekspresi Tauhid dalam Cinta
Menarik ekspresi-ekspresi individu para sahabat dalam memahami surat ini. Mereka tak sekedar menerimanya sebagai penjelasan akan hakikat Rabb, namun mereka juga menghayatinya sepenuh jiwa, bahkan mencintai surat ini.
Terekam dalam sebuah fragmen; seorang sahabat yang memimpin sebuah ekspredisi militer, tiap kali memimpin shalat pasukannya ia selalu membaca surah ini. Hal ini diadukan oleh bawahannya kepada nabi saw, beliau berkata; “coba tanyakan kenapa ia melakukan itu?”, sahabat tersebut menjawab; “karena ia (al-ikhlas) adalah sifat Ar-Rahman, dan aku sangat suka untuk membacanya”. Apa respon nabi saw?; “sampaikan padanya bahwa Allah mencintainya”. (HR Bukhari dari Aisyah ra). Surah ini telah membawa pada cinta yang berbalas, cinta suci dari makhluk kepada Khaliqnya, dan dibalas dengan cintaNya.
Ekspresi cinta lain terekam dalam fragmen berikut;
seorang sahabat anshar yang menjadi imam di masjid Quba’, tiap kali membaca surat setelah Al-Fatihah, selalu memulai dengan surah ini, kemudian baru melanjutkannya dengan surah lain. Hal ini dilakukannya setiap rakaat.
Para sahabatnya mengritiknya; kenapa anda selalu melakukan hal tersebut, seakan tak cukup rakaat tanpa surah ini? Cukup baca surah ini saja, atau surah yang lain saja.
Ia menjawab; “aku takkan meninggalkan surah ini”. Mereka pun mengadu kepada Rasul saw, beliau bertanya; “kenapa engkau tak menuruti mereka? Malah selalu konsisten dengan surah ini di tiap rakaat?”.
Ia menjawab; “aku mencintai surah ini”. Nabi bersabda; “cintamu padanya akan memasukkanmu ke surga” (HR Bukhari dari Anas ibn Malik ra)
Demikianlah, sesungguhnya pemahaman akan Tauhid yang benar, berarti pemahaman bahwa kesempurnaan mutlak adalah milik Allah, dan pemahaman ini mendorong pada cinta, cinta yang berbalas cintaNya.
Walahu a’lam
220935