Oleh Ustadz Faris Jihady, Lc
Manhajuna – Merealisasikan ibadah kepada Allah Ta’ala adalah tujuan akhir dari kehidupan. Siapa yang dapat mencapainya dengan sempurna dia-lah yang pemilik predikat terbaik, taqwa.
Dalam mencapai predikat terbaiknya, manusia dalam hidupnya diatur oleh Sunnatullah (hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta), dan di antara sunnatullah yang merupakan kemestian dan keniscayaan adalah “hidup adalah ujian dan cobaan”.
Secara riil kehidupan manusia di beberapa waktu terakhir ini –medio 2014- dikejutkan oleh berbagai peristiwa yang tidak mengenakkan, bahkan menyedihkan, mengejutkan, dan membuat kehilangan.
Peristiwa-peristiwa tersebut sebagian terjadi secara kolektif, massif dan terekam oleh memori masyarakat. Hal ini tentu saja memukul kesadaran dan kejiwaan manusia, meskipun ia bukan menjadi bagian dari korban peristiwa-peristiwa tersebut.
Rentetan peristiwa tersebut sudah seharusnya mengajak akal dan hati manusia muslim secara sadar untuk berpulang pada panduan Islam memandang kehidupan dan musibah. Kehidupan dan musibah, dua kata yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang.
Islam memandang musibah adalah bagian dari sunnatullah (hukum Allah yang berlaku pasti di alam semesta) yang dianggap sebagai ujian dan cobaan, demi menaikkan derajat dan kualitas kehidupan manusia, baik secara spiritual (ketakwaan) maupun material.
Hal ini ditegaskan AlQur’an;
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, agar menguji kalian siapa yang terbaik amalnya” (QS AlMulk; 2)
Dari sini dapat dipahami, bahwa kematian dan kehidupan, kepemilikan atas sesuatu dan kehilangannya, senang dan sedih, adalah bagian dari proses pengujian siapa manusia dengan kualitas amal terbaik.
Pada ayat lain, secara eksplisit disebutkan bentuk-bentuk ujian ini;
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (bahan makanan)”. (QS; AlBaqarah; 155)
Di antara karakteristik musibah yang menimpa manusia adalah, ia selalu terjadi di luar perkiraan dan jangkauan prediksi. Ini semestinya mengantarkan manusia pada satu pemahaman, bahwa sebaik apapun prediksi, ekspektasi, harapan dan perencanaan manusia, selalu mesti disisakan ruang ketidakpastian dan ketidaktahuan tentang apa yang akan terjadi, serta menyerahkan kepastian dan pengetahuan tentang hal tersebut kepada Allah Ta’ala.
Deskripsi ruang ketidakpastian ini diisyaratkan dalam sebuah ayat
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka seketika mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata” (QS Yunus; 22)
Demikian AlQur’an mendeskripsikan ruang ketidakpastian, saat orang bergembira dalam perjalanan, serta memiliki harapan akan sampai pada tujuan, seketika situasi berubah, dan membalikkan seluruh suasana dan harapan, menjadi situasi di mana tiada tempat bersandar berharap keajaiban kecuali dari Pemilik Alam Semesta.
Terjadinya musibah dan bencana dalam kehidupan makhluk di alam semesta adalah Sunnah Kauniyah (ketetapan Allah yang pasti terjadi di alam semesta), karenanya menyisakan ruang ketidakpastian dan ketidaktahuan kepada Allah, merupakan Sunnah Syar’iyyah (tuntunan Syar’i) yang mesti dipahami dan diyakini setiap muslim. Di sinilah titik keseimbangan antara pemahaman akan sunnah kauniyah dan sunnah syar’iyyah.
Menyisakan ruang ketidakpastian sudah semestinya membawa pada situasi terdekat antara makhluk dengan KhaliqNya. Bahkan situasi ini termasuk bagi siapapun yang menolak keberadaan Tuhan, justru memunculkan warna asli jiwa manusia, fitrah, sebagaimana dalam ayat tersebut ketika dikatakan;
دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka seketika mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata”.
Namun demikian, adanya ruang ketidakpastian dan ketidaktahuan, semestinya tidak membuat muslim mengalami kekhawatiran, ketakutan ataupun trauma yang lebih. Terlebih pada saat ini musibah-musibah yang menimpa manusia terekam oleh memori publik, yang bisa berimplikasi terpukulnya kejiwaan masyarakat. Inilah kenapa Rasulullah saw memberikan panduan setiap ketika keluar rumah;
بسم اللَّهِ، توكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ
“dengan nama Allah, aku bertawakkal (berserah diri) kepada Allah” (HR Abu Daud, AtTirmidzi dari Anas ibn Malik)
Doa yang mencerminkan penyerahan diri, pengetahuan dan kepastian apa yang akan yang terjadi pada Allah Ta’ala. Doa ini akan melahirkan rasa aman, ketentraman, serta optimisme, karena perasaan positif takkan muncul kecuali jika ada tempat puncak untuk menggantungkan sandaran dan harapan.
Adapun jika musibah dan bencana sudah terjadi; secara manusiawi pasti siapapun pasti terpukul. Kejiwaan manusia -oleh Imam Ibn Al-Qayyim dalam Madarij AsSalikin- digambarkan ada empat tingkatan ketika terkena musibah;
1) Tingkat pertama; keputusasaan, kemarahan, dan menolak kenyataan. Hal ini umumnya dilakukan oleh manusia yang tingkat kematangan jiwanya rendah, akal sehatnya lemah, dan pemahaman agamanya juga sedikit.
2) Tingkat kedua; kesabaran. Baik kesabaran karena Allah, atau pun kesabaran karena demi menjaga akal sehat dan kehormatannya. Pada tahap ini, secara syari’at, sabar menjadi kewajiban, terlebih sabar karena Allah adalah sebuah keutamaan. Dan hakikat kesabaran adalah upaya luar biasa untuk mengendalikan jiwa, dengan tidak terucap dari lisan kata yang disukai Allah, tidak pula muncul tindakan yang dimurkaiNya, dan ujian kesabaran terletak pada benturannya yang pertama, sebagaimana sabda Nabi saw;
إنما الصبر عند الصدمة الأولى
“sesungguhnya kesabaran terletak pada benturan pertama”.
3) Tingkat ketiga; keridhaan dan kerelaan. Sebuah situasi kejiwaan dimana manusia tidak sekedar bersabar, namun meningkat ia pada tahap penguasaan jiwa yang penuh kerelaan, seakan tidak berpengaruh oleh musibah tersebut.
4) Tingkat keempat; rasa syukur. Ini adalah puncak tertinggi suasana jiwa, di mana tarikan-tarikan perasaan manusiawi agar terpengaruh oleh musibah, dikalahkan oleh pandangan bahwa dengan adanya musibah ini, ia mendapatkan ganjaran besar dan peningkatan derajat di sisi Tuhannya, Allah Ta’ala, dan karena itu ia bersyukur.
Dari berbagai tingkatan jiwa manusia yang dijelaskan tersebut, yang menjadi standar wajib muslim adalah tingkat kedua, sedangkan ketiga dan keempat merupakan fadhilah (keutamaan). Selain itu ada beberapa hal yang menjadi saran dan anjuran ketika manusia mendapat musibah;
1) Ucapan إنا لله وإنا إليه راجعون, agar tertanam dalam jiwa keyakinan bahwa segala sesuatu milik Allah, dan akan kembali kepadaNya.
2) Mengingatkan diri agar bersabar, ridha., serta merenungkan bahwa bukan hanya dirinya mendapat musibah.
3) Memperkuat jiwa dengan meningkatkan ketaatan pada Allah, di antaranya melalui shalat. Karena shalat adalah sarana komunikasi terkuat dan terdekat antara dirinya dengan Allah, tempat mengadu dan bergantung.
Demikian beberapa sunnah syar’iyyah, yang menjadi panduan tatkala rententan bencana dan musibah menimpa, yang notabene merupakan sunnah kauniyah. Dengan demikian tercipta keselarasan antara keduanya, sunnah syar’iyyah dengan sunnah kauniyah.
Wallahu a’lam
(Manhajuna)