Oleh: KH. Musyaffa Ahmad Rahim, MA
Adab “Ber’amal jama’i” dalam Syi’ir Jahili
Secara simpel dan sederhana, masyarakat jahiliyah adalah masyarakat sebelum datangnya Islam. Ini untuk penggampangan saja, walaupun secara akademik mungkin hal ini salah. Maka syi’ir jahili adalah syi’ir yang muncul sebelum Islam. Namun perlu diketahui, dalam syi’ir jahili, kadangkala terkandung pula pengalaman hidup (tajribatul hayah) yang bermanfaat pula di zaman Islam.
Cukup menjadi pembenaran bagi pernyataan tadi adalah dua hal:
- Abdullah bin Abbas RA dalam memahami bahasa Al-Qur’an, dia merujuk kepada syi’ir jahili, dan beliau hafal seluruh syi’ir-syi’ir jahili.
- Seorang ulama yang terkenal sebagai muhyis-sunnah (yang menghidupkan sunnah Rasulullah SAW) wa qami’ul bid’ah (penghancur bid’ah), dalam menjelaskan banyak perkara juga merujuk kepada syi’ir jahili. Adalah Ibnul Qayyim rahimahullah, saat hendak menjelaskan tentang mahabbah (cinta), beliau banyak merujuk kepada syi’ir-syi’ir jahili. Setelah menjelaskan tentang pernak-pernik cinta, lalu beliau menjelaskan bahwa cinta itu semestinya ditempatkan dan ditujukan kepada mahbub (pihak yang dicintai) secara benar, juga dalam bercinta mestilah baik dan benar.
Memang Masyarakat Jahiliyah Mempunyai Adab?
Sebenarnya sih memang bukan adab. Mungkin lebih tepat mungkin disebut etika lah, sebab adab memiliki kedalaman makna:
أَدَّبَنِيْ رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ
“Tuhanku mengajarkan adab kepadaku dan ihsan dalam pengajaran ini.”
Sementara etika, menurut saya, tidak memiliki kedalaman tersebut. Namun, lagi-lagi, hal ini untuk penggampangan sahaja.
Begitupun dengan istilah “amal jama’i”. Maksudnya hanyalah bahwa bangsa Arab jahiliyyah, mempunyai semacam aturan kesetiakawanan dan kehidupan bersama, dan mereka berusaha untuk “mentarbiyah” dan “mengingatkan” kepada sesama mereka agar memahami tata kehidupan bersama ini
“Hikmah” jahiliyah itu mengatakan:
إِذَا كُنْتَ فِي كُلِّ الْأُمُوْرِ مُعَاتِبًا ÷ صَدِيْقَكَ لَمْ تَلْقَ الَّذِي لَا تُعَاتِبُهُ فَعِشْ وَحِيْدًا أَوْ صِلْ أَخَاكَ فَإِنَّهُ ÷ مُقَارِفُ ذَنْبٍ مَرَّةً أَوْ مُجَانِبُهُ إِذَا أَنْتَ لَمْ تَشْرَبْ مَرَّةً عَلَى الْقَذَى ÷ ظَمِئْتَ، فَأَيُّ النَّاسِ تصْفُوْ مَشَارِبُهُ؟!
Maksudnya kira-kira begini:
Dalam berkawan atau berteman, janganlah kesalahan kawanmu sekecil apa pun kamu hisab (kamu permasalahkan) atau kamu cela. Sebab, kalau gaya pertemananmu semacam ini, kamu tidak akan mendapati seorang pun yang tidak kamu cela Kalau kamu selalu begitu, hidup sendirian saja kamu! Tapi, mana mungkin hidup sendirian? Kalau kamu tidak sanggup hidup sendirian, berarti kamu tidak punya pilihan kecuali harus berkawan atau berteman Namun, perlu dicatat, kawan atau temanmu itu pasti suatu saat akan melakukan suatu kesalahan
Lalu sang penyair membuat gambaran kauni untuk membenarkan logikanya tadi, tentunya sesuai dengan situasi dan kondisi di zaman itu. Ia mengatakan:
Kalau setiap kali engkau bermaksud minum air dari empang harus saat air empang itu masih dalam keadaan jernih Niscaya engkau akan kehausan Sebab, siapa sih yang air minumnya selalu bersih dan tidak keruh?
Hal ini menggambarkan gaya hidup bangsa Arab dahulu, di mana mereka kalau minum pergi ke empang-empang yang ada secara beramai-ramai. Termasuk binatang pun ikut minum di situ. Jika orang beramai-ramai mendatangi empang untuk minum, pastilah empang itu menjadi keruh. Dan mereka yang tiba di situ belakangan, jika tidak mau meminum air yang keruh itu, niscaya ia akan mati kehausan
Bagaimana Keberadaan Adab Seperti Ini Di Zaman Sekarang? Zaman di mana kita berada sekarang, zaman di mana orang mengklaim telah maju dan modern, ternyata “adab” seperti di atas malah lebih buruk.
Betapa tidak?
Sekarang ini, keburukan dan kesalahan teman sendiri, kawan satu organisasi, dan semacamnya, malah dijadikan sebagai bahan untuk menjatuhkan dan “membunuh”nya, padahal seharusnya dimaklumi dan dimaafkan demi terjaganya “kemaslahatan” organisasi dan perkawanan
Akibatnya, berbagai sifat dan akhlaq buruk muncul; su-uzh zhan, tajassus, ghibah, najwa, lalu tabaghudh (saling benci), tanafur (saling menjauh), tadabur (saling membelakangi) dan sifat-sifat serta akhlaq-akhlaq tercela lainnya.
Jika demikian keadaan dan halnya, pertanyaannya, siapa yang lebih jahiliyyah? La haula wala quwwata illa billah
Wallahu a’lam Bishawab.
(Manhajuna/GAA)