Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc
» لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا «
“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).
Saudaraku,
Cinta adalah mutiara yang dapat memancarkan ketenangan, kedamaian dan ketenteraman di hati setiap insan. Tanpa cinta hidup ini terasa hampa, hambar dan tak berwarna. Jiwa berselimutkan kegelisahan dan duka lara.
Tanpa cinta tak ada yang elok dipandang, indah didengar dan getaran yang mendebarkan saat mendengarnya. Cinta ibarat air dan pupuk bagi bunga dan tanaman. Ia kan layu tanpa siraman air.
Jasim al-Muthawwa’ pernah menulis dalam karyanya, “Cinta merupakan jalan pintas menuju perubahan dalam hidup. Betapa banyak orang yang kasar berubah menjadi lembut dan berbudi karena cinta. Tidak sedikit akal pikiran menjadi jernih juga karena cinta. Tapi tidak jarang jiwa menjadi limbung, linglung dan hilang keseimbangan juga gara-gara cinta. Dan karena virus cinta banyak akal yang menjadi gila.”
Saudaraku,
Amru bin Ash pernah bertutur, “Dahulu tiada orang yang lebih aku benci selain Muhammad. Namun setelah aku berada dalam pelukan Islam, tiada orang yang lebih aku cintai dari beliau. Jikalau kalian memintaku untuk melukiskan wajah Rasulullah s.a.w, tentulah aku tak akan sanggup untuk melakukannya karena kau tak pernah menatap wajah beliau.”
Itulah gambaran perubahan total yang terwujud di alam realita disebabkan karena cinta. Demikianlah cinta tulus telah membawa seorang Amru bin Ash meraih mahabbatullah dan mendaki puncak keberkahan dalam hidupnya. Padahal sebelumnya, ia menjadi musuh dan penentang dakwah Rasulullah s.a.w.
Meneladani kisah Amru bin Ash di atas, kita ingin membuka tirai penutup rahasia para sahabat memiliki perasaan cinta Rasul yang menjadi ruh penggerak untuk mengukir prestasi ubudiyah yang mengagumkan dan inspirasi perjuangan yang memukau.
Hubbullah dan hubburrasul, ibarat dua sayap yang tak mungkin dipisahkan, saling melengkapi dan menyempurnakan. Jika salah satu sayapnya ringkih dan lemah, maka hilang keseimbangan dalam hidup. Dan perjalanan hidup pun sangat berat untuk dilanjutkan.
Saudaraku,
Rasulullah s.a.w bersabda, “Tidak sempurna salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami bersama Nabi s.a.w, sementara beliau memegang tangan Umar bin Khathab. Umar berkata, “Wahai Rasulullah!, Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Nabi s.a.w berkata, “Tidak ya Umar! Demi Allah hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka Umar berkata, “Sesungguhnya mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Nabi bersabda, “Sekarang engkau telah benar wahai Umar.” (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya seseorang perihal perasaan cintanya kepada Nabi s.a.w, maka beliau menjawab, “Nabi s.a.w lebih kami cintai daripada harta benda kami, anak-anak kami, orang tua kami dan bahkan lebih kami cintai daripada air dingin saat dahaga mengeringkan tenggorokan kami.” (syarh al-syifa, Qadhi Iyadh).
Mencintai Nabi s.a.w sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya akan membuahkan dua kemuliaan:
Pertama, merasakan kemanisan iman. Imam Nawawi menjelaskan bahwa orang yang merasakan kenikmatan iman memiliki tiga indikator.
- Merasakan hentakan-hentakan kenikmatan saat mengukir amal-amal keta’atan.
- Mampu menanggung beban dan ringan dalam menyisiri kesulitan dan kesempitan hidup.
- Mampu mendahulukan kebahagiaan hidup di akherat daripada kesenangan duaniawi sesaat dan semu.
Kedua, mencintai Nabi s.a.w secara tulus dan ikhlas akan mengantarkan kita menjadi tetangga Nabi s.a.w di surga.
Abdullah bin Mas’ud r.a menceritakan, pernah suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w seraya berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang seseorang yang mencintai suatu kaum padahal ia belum pernah bersua dengan mereka?.” Beliau menjawab, “Ia akan dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang dicintainya.” (Muttafaq alaih).
Mereka akan dikumpulkan di surga. Mereka akan menjadi tetangga, hidup berdampingan di surga.
Anas bin Malik r.a berkata, “Tiada kegembiraan yang membuncah setelah kami memeluk Islam melebihi kegembiraan kami saat mendengar sabda Nabi s.a.w bahwa seseorang akan dikumpulkan di akherat bersama orang yang dicintainya. Sesungguhnya aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar dan Umar. Aku berharap dihimpun bersama mereka (Nabi s.a.w dan kedua sahabatnya) di surga walaupun aku tidak mampu beramal seperti amal-amal shalih yang mereka lakukan.” (HR. Muslim).
Saudaraku,
Mencintai Nabi s.a.w bukan sekadar ucapan lisan yang membasahi bibir kita saja. Bukan hanya terungkap dengan mendendangkan shalawat badar dan yang seirama dengan itu. Tapi harus terukur dan terwujud di alam realita kehidupan kita.
Para sahabat yang telah meninggalkan album hubburrasul untuk kita, yang memberikan potret cinta Nabi s.a.w dengan sangat jelas perlu kita teladani dan bercermin dari mereka.
1. Selalu ingin berdekatan dengan orang yang dicintai.
Menatap wajah dan ingin selalu mendengarkan suaranya. Pencinta sejati, akan merasakan kegelisahan dan kegalauan hati serta kegetiran jiwa tak berujung, jika berjauhan dengan kekasihnya. Kedekatan dan kebersamaan yang tak terputus di dunia dan akherat, menjadi dambaan orang yang mencintai kekasihnya; Rasulullah s.a.w.
Itulah yang dirasakan Abu Bakar r.a saat ia dipilih Nabi s.a.w menjadi teman perjalanan dalam peristiwa hijrah nabawiyah. Aisyah menuturkan, “Belum pernah aku menyaksikan Abu Bakar menangis sebahagia hari itu, bahagia karena dialah yang dipilih untuk menemani hijrah beliau.” (Sirah Ibnu Hisyam).
Linangan air mata, saat mengenang kekasih hati dan menghadirkan masa-masa terindah bersamanya, merupakan tanda ketulusan cinta yang terpatri di dalam jiwa kita.
Anas bin Malik r.a pernah bertutur, “Tiada datang waktu malam, melainkan aku terkenang dengan kekasihku; Rasulullah s.a.w,” lalu ia menangis.
Cinta yang tulus suci tiada dipisahkan dengan waktu dan tempat. Walaupun harus dipisahkan dengan kematian. Al-Faruq Umar bin Khattab, meminta izin kepada Aisyah r.a agar ia diizinkan menjadi tetangga Nabi dan Abu Bakar di dalam kuburnya.
2. Membuktikan cinta dengan pengorbanan
Yang membedakan pencinta sejati dengan pencinta gombal adalah pengorbanan. Semakin besar cinta kita kepada sesuatu, maka semakin besar pula pengorbanan yang kita berikan. Ada kekhawatiran jika ada orang yang akan mengganggu kekasih kita. Ada rasa was-was jika kekasih kita terluka. Dan kita tidak rela jika ada yang menyakiti kekasih kita.
Pasca perang Uhud, Zaid bin Tsabit mendapat tugas dari Rasulullah s.a.w untuk mencari sosok Sa’ad bin Rabi’. Setelah ia menemukan jasad Sa’ad bin Rabi’ tergeletak di antara jenazah kaum muslimin yang gugur dalam peperangan itu. Keadaannya sangat kritis dan di dalam tubuhnya lebih dari tujuh puluh luka gores dan yang lainnya. Zaid bin Tsabit menyampaikan salam Nabi s.a.w untuk sahabat Anshar ini.
Sa’ad berkata, “Kabarkanlah kepada Rasulullah bahwa sekarang ini aku telah mencium bau surga yang semerbak mewangi. Sampaikanlah pesanku kepada kaum Anshar, tiada alasan bagi kalian untuk meninggalkan Rasulullah, sementara para bidadari bermata jeli telah bersiap-siap menyambut kalian!.”
Allahu Akbar!!! Pesan tetap disampaikan Sa’ad bin Rabi menjelang ajal tiba. Sebelum ruh meninggalkan jasadnya. Agar para sahabat Anshar tetap istiqamah berjuang bersama Rasulullah s.a.w.
3. Menjaga pesan-pesan-nya
Pencinta sejati akan menta’ati pesan-pesan kekasihnya. Berbuat dan bertindak sesuai dengan pesan kekasihnya. Demikian pula berupaya untuk menjauhi larangan dan hal-hal yang tak disukai oleh kekasihnya. Walaupun bisa jadi perintah dan larangan sang kekasih tidak sesuai dengan selera dan keinginan hawa nafsunya.
Itulah yang telah dicontoh kaum muhajirin dan anshar ketika khamar telah diharamkan dan hijab bagi kaum mukminah telah diwajibkan.
Mereka tinggalkan kebiasaan lama (minum khamar) walaupun telah mentradisi dan mendarah daging sekian lama.
Hijab pun dikenakan oleh shahabiyat walaupun dengan kain apa saja yang mereka dapatkan. Itu semua dilandasi dengan cinta tulus terhadap kekasih mereka; Rasulullah s.a.w.
4. Berpegang teguh kepada ajaran Nabi s.a.w dan mendakwahkannya
Para sahabat Nabi s.a.w telah mengorbankan segalanya yang mereka punya. Harta, waktu, jasad, jiwa, dan semua potensi kebaikan yang dimiliki untuk mendakwahkan ajaran kekasih mereka; Rasulullah s.a.w.
Keshalihan pribadi bukan untuk dinikmati sendiri, tapi ditularkannya kepada orang lain. Jangan sampai kita menjadi seorang pecundang dalam agama ini, dengan menelantarkan warisan Rasulullah s.a.w dan membiarkan ajaran-ajaran beliau terabaikan dan dilupakan oleh umatnya.
Saudaraku,
Rasulullah dicintai umatnya, karena beliau layak untuk dicintai semua orang. Kita selaku umat beliau, layakkah kita dicintai beliau dan diakui sebagai umatnya kelak? Wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)