Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc
» كَانَ الشَّافِعِيُّ قَدْ جَزَّءَ اللَّيْلَ : فَثُلُثُهُ الأوَّلُ يَكْتُبُ وَالثَّانِي يُصَلِّيْ ، وَالثَّالِثُ يَنَامُ «
Adalah imam Syafi’i membagi malam-malam harinya menjadi tiga bagian; sepertiga malam pertama untuk menulis karya, sepertiga malam berikutnya untuk shalat malam dan sepertiga malam lainnya untuk istirahat.” (perkataan Rabi’ bin Sulaiman, murid imam Syafi’i).
Saudaraku,
Bercermin kepada orang-orang shalih akan mendatangkan keberuntungan, keberkahan dan kesuksesan. Mengabaikan cermin ini, maka hidup kita tidak akan mempesona, rapih, teratur dan tampil penuh percaya diri. Dan yang pasti jauh dari rahmat Allah s.w.t. Idealnya kita lebih sering bercermin kepada mereka daripada kita mengaca di depan cermin itu sendiri.
Salah seorang salafus shalih yang patut kita jadikan cermin dalam hidup kita adalah imam Syafi’i rahimahullah. Yang menjadi panutan mayoritas umat Islam di negeri kita.
Seandainya kita tak mampu mencontoh seluruh sisi kehidupannya. Paling tidak satu sisi dari kehidupannya. Hanya ironinya, pengikut imam Syafi’i di negeri kita sebagian besarnya baru sekadar menjadi judul buku tanpa isi. Sekadar menjadi kulit, baju dan simbol tanpa makna dan substansi.
Salah satu sisi kehidupan Imam besar ini yang perlu kita teladani adalah bagaimana beliau membagi malam-malamnya di musim dingin menjadi tiga bagian.
• Sepertiga malam pertama, untuk menulis ilmu (buku).
•Sepertiga malam kedua, untuk shalat malam.
•Dan sepertiga malam terakhir untuk istirahat (tidur).
Saudaraku,
Cobalah tengok sejenak tentang diri kita. Untuk apa kita habiskan waktu-waktu kita di malam hari. Terutama di musim hujan ini? Dan jawablah dengan kejujuran nurani.
Sepertiga malam pertama, mungkin kita habiskan waktu di lapangan parkir menyantap sop buntut dan kaki kambing, dan setelah itu kita habiskan waktu-waktu kita di depan layar kaca, menikmati sinetron, kontes dangdut, terpesona dengan kehebatan akting artis dan aktris Bollywood atau nyaman melihat dunia maya lewat internet atau yang seirama dengan itu.
Sepertiga malam kedua, kita pergunakan untuk begadang malam, main catur, ngobrol ngalor ngidul tiada faedah dengan tetangga sambil menunggu jadwal nobar Liga Champion, menyelesaikan proposal kenaikan gaji atau mengkhayalkan primadona desa atau yang senada dengan itu.
Sepertiga malam terakhir, di mana saat itu Allah s.w.t turun ke langit dunia untuk memberi apa yang diminta hamba-Nya, mengabulkan permohonan mereka dan mengampuni dosa orang yang minta ampunan-Nya. Justru kita terlelap di alam mimpi. Cara tidurnya pun tidak meneladani idola umat; Rasulullah s.a.w. Wajar jika setan datang dan mengganggu tidur kita lewat mimpi-mimpi yang tidak kita sukai, dan azan Subuh pun lewat tak terdengar di telinga kita lantana sudah dikencingi makhluk terlaknat sepanjang masa itu.
Saudaraku,
Mengaca pada malam-malam yang dilalui oleh imam Syafi’i, sebenarnya beliau membagi malam-malamnya dalam kerangka menambah ilmu dan berbagi ilmu kepada orang lain melalui tulisan buku. Juga untuk menambah ketaatan kepada Allah melalui shalat malam. Dan yang ketiga untuk mewujudkan firman-Nya, “Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian,” yakni istirahat.
Berkarya untuk maslahat dan kebaikan orang lain menyimbolkan keshalihan sosial. Mungkin tidak semua kita mampu menelurkan karya-karya ilmiah, yang bermanfaat bagi masyarakat. Tapi semua kita mampu memberikan maslahat untuk sesama kita.
Imam Syafi’i ingin memberikan pesan kepada kita bahwa hidup kita akan menjadi berkah, dan maslahat dunia dan akherat, jika kita dapat memberi warna kebaikan dan nilai maslahat bagi orang lain. Agar manusia termotivasi melakukan kebaikan, mengukir amal shalih dan menekuni kebajikan. Menuangkan pesan tersebut lewat karya dan tulisan, hanya salah satu di antara sekian banyak cara yang bisa kita lakukan dalam kerangka dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar.
Pesan lain yang tersirat dari imam Syafi’i adalah tarbiyah zatiyah (pendidkan mandiri) dengan banyak membaca buku dan menghargai karya-karya ulama. Tujuannya untuk memperluas pengetahuan, menutup celah kekurangan dan kejahilan kita dalam berbagai persoalan agama yang tidak kita ketahui.
Bukan aib, seseorang itu jahil dalam agama. Selama ia sadar dengan keadaannya dan berupaya menyingkirkan kebodohannya dengan banyak belajar secara intens. Baik dengan cara membaca buku atau banyak berkonsultasi dengan orang yang berilmu.
Dan bukan sekadar aib, tetapi musibah, bagi orang yang tiada memiliki ilmu pengetahuan dan bekal yang cukup untuk perjalanan hidupnya yang abadi tetapi ia tidak sadar dengan kekurangannya. Dan ia tidak merasa khawatir dengan masa depannya di sana. Di akherat sana.
Saudaraku,
Imam Bukhari menulis dalam kitab shahihnya bab keutamaan shalat malam. Selanjutnya ia meletakan hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu ‘Umar r.a, bahwa ia berkata, “Seseorang di masa hidup Rasulullah s.a.w apabila bermimpi menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun berharap dapat bermimpi agar aku ceritakan kepada Rasulullah s.a.w. Saat aku muda aku tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua Malaikat membawaku ke Neraka. Ternyata Neraka itu berupa sumur yang dibangun dari batu dan memiliki dua tanduk. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku kenal. Aku pun berucap, ‘Aku berlindung kepada Allah dari Neraka!’
Ibnu ‘Umar melanjutkan ceritanya, ‘Malaikat yang lain menemuiku seraya berkata, ‘Jangan takut!’ Akhirnya aku ceritakan mimpiku kepada Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah s.a.w, lalu beliau bersabda, “Sebaik-baik hamba adalah ‘Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.’
Akhirnya ‘Abdullah bin Umar tidak pernah tidur di malam hari kecuali hanya beberapa saat saja.”
Ibnu Hajar berkata, “Sabda Nabi s.a.w, ‘Sebaik-baik hamba adalah ‘Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.’ Ungkapan ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah indikator keshalihan ( orang yang baik). Demikian pula shalat malam bisa menjauhkan seorang dari azab.” (Fath al-Bari, Ibnu Hajar)
Shalat malam merupakan lambang dari keshalihan spiritual. Untuk itulah imam Syafi’i mencontohkan pentingnya memadukan keshalihan sosial dengan keshalihat spiritual. Agar terbangun pribadi yang tawazun dan seimbang.
Matang secara ilmiah tapi mentah dalam amal-amal ruhani adalah palsu. Demikian pula kokoh dalam spiritual tapi ringkih dari sisi ilmiah adalah petaka dan fatamorgana.
Saudaraku,
Istirahat yang paling sesuai dengan kodrat penciptaan manusia adalah tidur di malam hari walau pun hanya sepertiga malam. Dan hal itu akan memberikan dampak yang sangat positif untuk aktifitas kita di hari berikutnya. Dan hal itu tidak tergantikan dengan istirahat di siang hari seberapa pun lama dan waktunya.
Memberikan istirahat yang cukup untuk badan kita merupakan bukti kefaqihan kita dalam beragama. Itulah pesan yang tersirat dari praktek imam Syafi’i rahimahullah. Mari kita bercermin dari imam mazhab terbesar ini.
Saudaraku,
Sudahkah kita bercermin dengan orang-orang shalih hari ini?. Wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)