Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Manhajuna – Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah kita termasuk yang benar-benar telah sukses puasa Ramadhan, ataukah belum dan masih harus introspeksi diri, mujahadah serta banyak belajar lagi dan lagi?
Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah kita telah tergolong para ahli ibadah sejati, ataukah baru sekadar penggembira amal dadakan dan musiman saja?
Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah ibadah istimewa sebulan penuh kemaren itu hanya karena faktor Ramadhan sebagai musim amal ibadah, yang serta merta usai dan “bubar” seiring berlalu dan “bubar”-nya bulan teristimewa? Ataukah telah benar-benar demi Tuhan-nya Ramadhan, yang berarti juga Tuhan-nya Syawwal, Tuhan-nya, Tuhan-nya Dzulqa’dah, Tuhan-nya Dzulhijjah, dan seterusnya?
Sehingga seseorang yang berilmu tapi tidak diamalkan, belum istiqamah. Dan yang beramal tanpa ilmu, juga tidak istiqamah. Demikian pula yang tidak ajeg dalam mengamalkan ilmu, sama saja, juga berarti belum atau tidak istiqamah. Jadi istiqamah adalah beramal dengan ilmu yang benar dan baik, secara kontinue dan berkesinambungan.Lalu masalahnya, apa dan bagaimana cara agar kita tetap dan senantiasa bisa istiqamah, khususnya pasca Ramadhan seperti sekarang ini? Secara singkat, kiat-kiat utama dan faktor-faktor penunjangnya antara lain sebagai berikut:Pertama: berilmu dan berpemahaman yang baik serta memadai.
Kedua, jujur dalam keikhlasan dengan senantiasa berusaha lepas dari dominasi nafsu.
Ketiga, tak melampaui batas atau tak melebihi porsi (ghulu), baik itu dalam ilmu dan pemahaman, amal dan perbuatan, dakwah dan pergerakan maupun sikap dan penilaian.
Keempat, mengkodusifkan diri dan lingkungan secara islami, utamanya dalam lingkup keluarga dan pergaulan, dengan selalu bermawas dan berevaluasi diri (muraqabah dan muhasabah).
Kelima, sabar berada dalam komunitas kesalehan, pertemanan kebaikan, kerja sama kebajikan dan kebersamaan taqwa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): Bekerja samalah kalian atas dasar kebajikan dan ketaqwaan, serta jangan bekerja sama atas dasar dosa dan permusuhan (QS. Al-Maidah: 2). Karena seseorang itu lemah kala sendirian, kuat dalam kebersamaan.
Dan contoh terdekatnya adalah, saat berpuasa Ramadhan sebulan penuh yang baru lalu, dimana karena saking “ringannya” sampai-sampai seolah tak terasa tiba-tiba berakhir begitu saja. Mengapa? Tak lain karena begitu dominannya nuansa kebersamaan dan demikian kentalnya iklim keguyuban dalam menunaikannya. Sementara itu, sebagai perbandingan, puasa sunnah Syawwal yang hanya enam hari saja, sebaliknya, bisa terasa begitu berat bagi umumnya kita, sehingga tak sedikit yang sampai gagal menuntaskannya, padahal niat semula bukannya tidak ada! Mengapa? Tiada lain sebabnya, adalah karena umumnya masing-masing kita hanya sendirian saja saat menjalankannya!
Akhirnya sebagai penutup, perhatikanlah firman Allah (yang artinya): Maka istiqamahlah sebagaimana engkau diperintah. Begitu juga orang-orang yang tobat bersamamu (para sahabat, hendaklah istiqamah pula bersamamu), dan janganlah kalian melampaui/melebihi batas. Sungguh Dia Maha Tahu terhadap semua yang kamu amalkan (QS.Huud:112).
(Manhajuna/GAA)