Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Manhajuna – Peluang-peluang kebaikan dan kebajikan dalam hidup ini tidak hanya ada, tapi bahkan sangat banyak sekali, sampai tak terbilang. Kita saja yang lebih sering tidak menyadari dan tidak memanfaatkan peluang-peluang yang selalu datang dalam hidup kita dari waktu ke waktu.
Karena kaedahnya memang mengatakan bahwa, selama ada orang baik dan juga niat baik, maka peluang-peluang kebaikan dan kebajikan itu otomatis akan ada dan hadir bersamanya atau karenanya. Jadi mari semua fokus membaikkan dan membajikkan diri, baik diri sendiri masing-masing, maupun juga diri orang lain secara bersama-sama.
Nah, jika demikian halnya, lalu mengapa banyak peluang kebaikan dan kebajikan justru tidak termanfaatkan atau tidak teroptimalkan pemanfaatannya? Jawabannya bisa banyak dan bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:
- Karena potensi, semangat dan spirit kebaikan dan kebajikan dalam diri kita dan di masyarakat, masih minim dan lemah. Nah, jika potensi, semangat dan spirit kebaikan dan kebajikan dalam diri, minim dan lemah, maka jangankan untuk memanfaatkan atau apalagi mengoptimalkan pemanfaatan setiap peluang kebaikan dan kebajikan yang ada, bahkan sekadar untuk menyadari dan mengetahuinya sajapun tidak bisa. Karena jika semangat kebaikan dan kebajikan dalam diri seseorang lemah, apalagi tidak ada, maka tentu ia akan abai dan tidak peduli, apakah peluangnya ada ataukah tidak.
- Karena tanpa sadar ternyata kita masih sering diskriminatif tentang bidang-bidang kebaikan dan kebajikan. Begitu pula bidang dan jenis kebaikan dan kebajikan sering dibatasi hanya yang sesuai dengan mood dan selera sebagian kita saja. Dimana untuk jenis-jenis kebaikan, kebajikan dan ketaatan yang sesuai dengan mood, selera dan keinginan pribadi, tidak jarang sampai dipaksa-paksakan, meskipun sebenarnya peluang yang tersedia tidaklah cukup memadai, atau jenis kebaikan, kebajikan dan ketaatan yang diingini itu bukan termasuk yang utama. Sementara itu sebaliknya, untuk jenis-jenis kebaikan, kebajikan dan ketaatan yang kurang atau tidak sesuai dengan mood, selera dan keinginan pribadi, umumnya terabaikan dan tidak atau kurang terpedulikan secara memadai, meskipun peluang-peluangnya sebenarnya sangatlah besar dan banyak. Sebagai contoh misalnya, betapa sering berlebihannya mood dan semangat masyarakat muslim untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Sampai-sampai yang sebenarnya belum wajib karena belum berkemampuan pun memaksakan diri dengan beragam jalan dan cara untuk bisa sampai ke Tanah Suci. Sehingga tak sedikit dampak negatif dan akibat buruk pun terjadi, gara-gara semangat berlebihan dan pemaksaan diri tersebut. Di sisi lain banyak kaum muslimin berkemampuan finansial tinggi, yang juga “memaksakan diri” untuk berhaji dan berumrah berkali-kali, dengan beaya yang sangat besar. Padahal seandainya sebagian saja, tidak harus semua, dari beaya haji dan umrah sunnah yang berkali-kali itu, diinfakkan untuk menutup sebagian kecil kebutuhan yang sangat mendesak di jalur sosial, pendidikan dan dakwah, niscaya akan lebih besar manfaatnya dan lebih tinggi nilai dan pahalanya. Namun fakta dan realitanya, memang sangat sedikit sekali yang memiliki mood dan semangat berinfak dengan kadar separoh dari mood dan semangat berhaji dan berumrah, apalagi setara atau melebihi.
- Karena ternyata para pendukung keburukan dan kejahatan sering justru lebih gigih dan lebih “istiqamah” dalam membela dan memperjuangkan keburukan dan kejahatan mereka, serta menciptakan peluang-peluannya dan sekaligus mengoptimalkan pemanfaatannya, daripada para pegiat kebaikan dan kebajikan dalam menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang yang telah tersedia. Termasuk ikatan “wala’” dan jalinan kerja sama antar kelompok pertama itu, juga tak jarang lebih riil dan lebih kuat dibandingkan dengan ikatan dan jalinan yang sama yang ada dan terjadi di antara kelompok kedua.
- Karena kebanyakan orang baik dan saleh justru lebih memilih posisi pasif dan peran pengikut, yang baru mau bergerak untuk mendukung kebaikan dan kebajikan serta memanfaatkan peluang-peluangnya, hanya kala ada unsur penggerak dan pelopor yang memulai dan mengajak mereka. Nah, karena sikap pasif saling menunggu ajakan dan kepeloporan yang lain inilah, peluang-peluang kebaikan dan kebajikan seringkali terabaikan dan tidak termanfaatkan. Sehingga akibatnya, peluang-peluang itupun kebanyakan “menguap” begitu saja. Oleh karena itu, agar peluang-peluang kebaikan dan kebajikan senantiasa bisa teroptimalkan pemanfaatannya, adanya individu-individu penggerak dan pelopor adalah salah satu prioritas utama di dalam dakwah, dan bahkan merupakan sebuah keniscayaan dan kemutlakan. Sementara itu, untuk menjadi unsur pelopor dan penggerak kebaikan serta kebajikan di tengah-tengah masyarakat dan ummat memang berat sekali. Makanya nilai dan pahalanya pun berlipat-berlipat sesuai jumlah orang-orang yang digerakkan dan ikut.
- Faktor dan fenomena perselisihan ekstrem antar berbagai kelompok ummat. Harap dicatat bahwa, masalah yang dimaksud disini bukanlah sekadar faktor keragaman dan perbedaan kelompok serta golongan ummat. Namun yang dimaksud secara khusus adalah faktor perselisihan ekstrem. Sekali lagi: faktor perselisihan ekstrem, yang sudah tidak ditolerir, baik secara logika, maupun apalagi dalam ketentuan hukum syariah. Ya, akibat faktor perselisihan ekstrem dan perpecahan tercela antar kelompok, golongan, organisasi, jamaah dan harakah di dalam tubuh ummat inilah, seringkali kita saksikan atau kita dengar tentang berbagai peluang kebaikan dan kebajikan yang telah ada di depan mata, akhirnya justru terlewatkan secara sia-sia dan lenyap begitu saja entah kemana. Wallahul Musta’an!
(Manhajuna/GAA)