Oleh: Ahmad Musyaddad, Lc., MEI.*
Allah SWT menciptakan hambanya di muka bumi dengan satu tujuan, yaitu beribadah dengan penuh ketundukan kepadanya. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah yang disyari’atkan oleh Allah SWT kepada segenap munusia adalah semata-mata demi kemaslahatan manusia itu sendiri, bukan menjadi hajat dan kebutuhan yang diinginkan oleh Allah SWT. Setiap ibadah yang dipersembahkan oleh seorang hamba kepada Allah pada dasarnya memberikan pengaruh dan manfaat positif baginya, baik secara langsung yang dirasakan di dunia ataupun berupa pahala yang menjadi investasinya di sisi Allah SWT.
Jika diperhatikan dengan seksama, hampir seluruh ibadah yang disyai’atkan oleh Allah SWT kepada hambanya memiliki dimensi vertikal (hubungan antara hamba dengan Allah) dan dimensi horizontal (hubungan manusia dengan manusia lainnya). Shalat yang dilakukan rutin lima waktu setiap hari, selain merupakan ketaatan kepada Allah, juga memiliki manfaat sosial yang tinggi, di mana Allah menegaskan bahwa shalat itu dapat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar. Puasa yang dilakukan satu bulan penuh di bulan Ramadhan adalah bagian dari cari Allah menempa seorang yang beriman untuk dapat merasakan secara langsung betapa fakir miskin pedih merasakan lapar dan dahaga. Demikian dengan zakat, Allah mensyari’atkan ibadah ini dalam rangka menjadikan harta yang ada di tangan orang-orang kaya mengalir hingga dapat dirasakan oleh orang-orang fakir miskin. Adapun ibadah haji, tentunya menjadi momentum untuk memperluas hubungan secara internasional, di samping secara langsung juga terdapat syari’at menyembelih hadyu (hewan ternak) untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Selain ibadah haji, di bulan Dzulhijjah yang mulia ini Allah juga mensyari’atkan kepada kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta untuk melaksanakan ibadah qurban. Ibadah ini merupakan syari’at yang telah berlaku semenjak zaman Nabi Ibrahim alaihi as-salam ketika beliau hendak mengorbankan putera beliau yang sangat disayangi, yaitu Isma’il. Ibadah yang dilakukan secara serentak oleh kaum muslimin di seluruh dunia dari tanggal sepuluh hingga berakhirnya hari tasyriq pada tanggal tiga belas Dzulhijjah ini pun memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang sangat luas.
Efek Multiplayer Ibadah Qurban
Sudah tidak asing disaksikan setiap tahunnya, jika mulai masuk bulan Dzulhijjah atau setidaknya tujuh hari sebelum hari raya Iedul Adha menjelang, di sepanjang trotoar kota, kiri dan kanan diramaikan hewan ternak, kambing, domba dan sapi. Hewan ternak ini ditambat untuk ditawarkan kepada setiap orang yang ingin melaksanakan ibadah qurban. Bahkan di satu sudut wilayah Kelapa Dua Depok, seorang penjual hewan qurban sampai menyulap sebuah showroom mobil miliknya untuk dijadikan kandang sapi selama hari-hari iedul adha. Data statistik menunjukkan bahwa angka permintaan terhadap hewan qurban mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di tahun 2014, di sejumlah daerah, jumlah permintaan hewan qurban meningkat sebesar 5 sampai 10% dari tahun sebelumnya dan diperkirakan tahun ini meningkat sampai 11% dari tahun 2014.
Setidaknya ada empat hal yang menarik diperhatikan terkait ibadah ini dilihat dari sudut pandang sosial dan ekonomi.
Pertama, syari’at qurban yang menekankan seorang muslim yang memiliki kelebihan rezeki untuk menyembelih hewan ternak, baik kambing, sapi ataukah unta membuat nilai permintaan (demand) menjadi naik. Hal ini menuntut ketersediaan (supply) hewan tersebut di pasar setiap tahunnya. Dengan kata lain, sesungguhnya syari’at ini membuka lebar peluang bekerja bagi para peternak dengan lebih progresif dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar yang sangat besar dan bersifat jelas (real market). Di sisi lain, peluang ini juga dapat dimanfaatkan oleh setiap muslim yang memiliki modal dengan cara membangun kerjasama dengan para peternak kecil. Tentu, keuntungan yang di dapat oleh masing-masing pihak selanjutnya dapat dikelola pada sektor yang lain sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Kedua, syari’at qurban juga tidak hanya membuka peluang bisnis bagi para pemodal besar yang bergerak di bisnis hewan ternak saja. Para pedagang kecil pun mendapatkan berkah yang sama dalam mengambil peluang dari syari’at yang agung ini. Sebagai contoh, pedagang arang, tusukan sate, bumbu masakan khas kambing dan sapi kebanjiran permintaan di hari-hari Idul Adha. Belum lagi pedagang pisau, kampak dan parang atau yang lainnya. Tentu, hal ini akan berakibat positif terhadap keseimbangan usaha mereka di hari-hari berikutnya. Begitu juga dengan lapangan kerja yang lain, seperti penyedia jasa sebagai penjaga kandang, pemasok pakan hewan ternak, hingga jasa transportasi yang menjadi satu paket dalam menyempurnakan aktivitas bisnis hewan qurban ini. Dan bahkan jika lebih luas kita berbicara pada konsep pengalengan daging kurban dan pendistribusiannya ke spektrum wilayah yang lebih luas lagi, sungguh efek multiplayer ekonomi qurban sangat luar biasa.
Ketiga, secara sosial, syari’at qurban ini memberikan kesempatan peningkatan kualitas asupan makanan bagi faqir miskin yang boleh jadi selama satu tahun sangat jarang mencicipi nikmatnya daging. Perlu diingat kembali bahwa jumlah penduduk negeri ini yang memiliki penghasilan dibawah Rp.10.000/hari masih di atas 27 juta jiwa. Alih-alih untuk membeli daging, boleh jadi untuk makanan pokok dengan lauk sederhana pun mungkin tidak cukup. Momentum qurban ini adalah ruang yang terbuka luas untuk berbagi, memberi dari sebagian rezeki yang Allah berikan kepada mereka yang membutuhkan. Banyak cara yang ditempuh untuk dapat memperluas jangkauan pendistribusian hewan qurban, salah satunya adalah dengan pengolahan daging qurban menjadi kornet. Dengan cara ini, daging kurban dapat terdistribusi hingga pelosok dan dapat dinikmati pula dalam jangka waktu yang lebih lama.
Keempat, secara makro, ekonomi qurban akan memperkuat ketahanan perekonomian nasional. Tentunya hal ini dapat terealisasi jika pasokan hewan kurban mengandalkan supply dalam negeri, bukan mengandalkan pasokan dari luar negeri, seperti Australia dan yang lainnya, di mana angka kuota hewan ternak yang diimpor dari luar negeri mencapai angka 264.000 ekor per tahun, belum termasuk pasokan daging yang sudah dibekukan. Maka supply sapi lokal ini menjadi sebuah pemikiran yang harus diseriusi oleh pemerintah lembaga-lembaga sosial seperti BAZNAS dan LAZ, agar dampak langsung (direct effect) ekonomi qurban ini dapat dirasakan secara lebih besar.
Alhasil, syari’at qurban ini semakin menguatkan keyakinan kita bahwa segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kepada hambaNya, memiliki pengaruh positif secara langsung bagi yang melaksanakannya dan memiliki aspek kemaslahatan bagi segenap hambaNya yang lain. Islam dengan seluruh dimensi hukum syari’at yang ada di dalamnya hadir untuk menjadikan kehidupan manusia menjadi sejahtera.
*Ketua Umum KONEKSI (Komunitas Ekonomi Islam Indonesia)