Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc
» وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ »
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal: 74).
Saudaraku,
Dalam ukhuwah ada kerinduan yang terpantul. Dalam persaudaraan iman ada kenangan terindah dalam hidup. Dalam persahabatan ada keeratan hati dan keterikatan bathin. Demikianlah yang dirasakan oleh mereka yang berjuang di jalan Allah s.w.t.
Ada kerinduan yang mengkristal di relung hati Asma’ binti Umais terhadap teman karibnya di Mekkah al-Mukarramah; Hafshah puteri Umar bin Khattab r.a. Terlebih keduanya telah berpisah cukup lama kurang lebih 15 tahun, setelah Asma’ hijrah bersama suaminya Ja’far bin Abu Thalib ke Habasyah, tepatnya di bulan Rajab tahun kelima bi’tsah, kenabian.
Maka setelah Asma’ tiba di Madinah pasca takluknya Yahudi Khaibar tahun ke 7 H, ia berkunjung ke rumah Hafshah. Setelah bertemu dan keduanya pun melepas rindu yang menggumpal di dada. Sebuah reuni yang mendulang berkah. Kegembiraan berkilauan dari bola mata keduanya.
Di sela-sela perbincangan keduanya, Umar r.a yang baru tiba di rumah puterinya dan sadar ada tamu di rumah itu, ia bertanya kepada Hafshah,
“(Hafshah), siapakah perempuan ini?.”
Hafshah menjawab, “Asma’ binti Umais.”
“Apakah ia sahabiyah yang hijrah ke Habasyah lewat jalur dermaga laut itu?.” tanya Umar.
“Iya.” Jawab Asma.”
Umar bermaksud bercanda, “Kami telah mendahului kalian hijrah (ke Madinah), maka kami lebih berhak untuk mengambil tempat di hati Rasulullah daripada kalian.”
Saudaraku,
Asma’ memutar kembali CD kenangan di benaknya. Sebuah episode kehidupan yang penuh dengan romantika hidup. Kisah yang mengharu biru tercipta bersama kaum muslimin yang lain di negeri Habasyah. Negeri yang asing bagi mereka. Jauh dari keluarga dan sanak saudara. Asing dalam bahasa, agama, adat istiadat dan yang seirama dengan itu.
Hari-hari yang jauh dari kata ‘cerah’. Berat dirasakan olehnya hidup di sebuah lingkungan yang beda keyakinan, walau pun sebaik apa pun penduduknya memperlakukan mereka.
Dan yang lebih pahit mereka rasakan adalah jauhnya mereka dari Rasulullah s.a.w, qiyadah (pemimpin), murabbi (pendidik) sejati mereka. Tapi mereka meninggalkan Rasulullah s.a.w, juga karena mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Ia putar kembali kaset rekaman hidupnya selama 15 tahun di negeri raja Najasyi. Hari-hari asing yang dialaminya. Perjuangan berat yang dilakukannya di sana membuat ketenangannya terusik dan ia pun marah mendengar perkataan Umar walaupun ia tahu bahwa Umar sekadar bercanda, berbasa basi membuka percakapan dengannya.
Sehingga ia berkata, “Tidak demikian demi Allah, kalian hidup bersama Rasulullah s.a.w. Beliau memberi makan orang yang lapar, menasihati orang yang jahil terhadap agama. Sedangkan kami berada di sebuah negeri yang tidak kami sukai di Habasyah. Yang demikian itu kami lakukan demi meraih ridha Allah dan rasul-Nya. Tersiksa bathin kami dan hati kami dialiri kekhawatiran dan dikungkung kecemasan.
Lalu ia bangkit dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menikmati makanan dan minuman kalian sehingga aku mengadukan apa yang engkau katakan kepada Rasulullah s.a.w.”
Setelah Nabi s.a.w mendengarkan curhat sahabiyah ini, beliau bersabda, “Ia (Umar) tidak lebih berhak berdampingan denganku daripada kalian. Ia dan sahabat lainnya hanya hijrah sekali (dalam hidupnya), sedangkan kalian (wahai) ahl al-safinah hijrah (karena Allah dan rasul-Nya) dua kali (ke Habasyah dan Madinah).” (HR.Bukhari: 4230).
Saudaraku,
Demikianlah apresiasi Rasulullah s.a.w kepada para sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah. Mereka memiliki kredit point lebih besar dibanding para sahabat yang hijrah ke Madinah. Bahasa verbal dari lisan beliau, merupakan ungkapan keridhaan beliau kepada mereka. Bahkan Abu Musa al-Asy’ari, sahabat terkemuka yang juga ikut serta dalam peristiwa hijrah ke Habasyah sering meminta Asma’ untuk mengulang-ulang sabda Nabi tersebut. Karena dengan mendengar sabda beliau itu, akan mengalirkan kebahagiaan dan ketenteraman di dalam hatinya.
Saudaraku,
Ada beberapa buah faedah yang dapat kita petik dari sepenggal kisah di atas, di antaranya:
• Rasulullah s.a.w selalu memberikan apresiasi kepada para sahabat yang berprestasi di hadapan Allah dan rasul-Nya. Seperti ucapan beliau perihal para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Jika kita ingin menjadi pemimpin dan pendidik yang sukses, maka kita jangan bakhil untuk memberikan pujian kepada orang-orang yang telah memberikan kontribusi nyata dalam perjuangan. Peran yang tidak sederhana dalam pengabdian. Selama mereka berprestasi dan tidak melampaui batas dalam pujian. Hal itu menjadi motivator bagi mereka untuk meningkatkan prestasi. Baik di bidang ilmu, perjuangan maupun kepribadian.
• Anjuran untuk selalu mengunjungi saudara karena Allah. Bukan berarti kita bersilaturahim setiap hari. Atau memperbanyak jumlahnya. Karena terlalu sering kita berkunjung, justru menghilangkan makna silaturahim. Sebab terkadang hal itu malah menyudutkan orang yang dikunjungi. Atau mewariskan su’uzhan terhadap orang lain.
• Umar, Asma’, Abu Musa dan sahabat lainnya, yang bergelar generasi terbaik umat ini, mereka tetaplah manusia biasa. Dan mereka tidak pernah keluar dari tabiat mereka sebagai manusia biasa. Ada kebanggaan atas prestasi yang pernah diraih. Ada ketersinggungan saat mendengar ucapan yang melukai perasaan. Ada perasaan ingin mendapatkan pembelaan dan seterusnya. Maka kita belajar dari mereka, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain. JP (jaga perasaan), tidak melukai hati, memberikan apresiasi, tidak merendahkan kwalitas orang lain dan seterusnya.
• Sehebat dan sekuat apapun kerja-kerja dakwah kita, tanpa bantuan dan peran orang lain di sekitar kita, tidak akan memperoleh hasil yang kita harapkan dan cita-citakan.
• Mereka telah mendapatkan keridhaan Allah dan rasul-Nya lantaran hijrah yang telah mereka lakukan. Kesempatan hijrah, yakni berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, telah sirna untuk kita. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syaukani rahimahullah, “Tiada hijrah setelah Mekkah takluk.”
• Yang ada sekarang adalah hijrah secara maknawi. Berpindah dari kebodohan kepada ilmu. Dari maksiat kepada taat. Dari dosa dan kesalahan kepada amal shalih. Dari bermusuhan kepada persaudaraan. Dari kekasaran hati kepada kelemah lembutan. Dari yang hidup menyendiri kepada pintu pernikahan. Bagi yang sudah menikah kepada……(silahkan dilanjutkan). Inilah yang pernah disinyalir Nabi saw dalam sabdanya, “Orang hijrah sejati adalah yang berhijrah meninggalkan apa yang dilarang Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari).
• Bercanda tawa dan bersenda gurau boleh-boleh saja, untuk mencairkan suasana, tetapi dalam batasan yang dibenarkan; tidak melukai perasaan, tiada dusta di dalamnya dan untuk tujuan yang baik.
• Bangga dengan prestasi pribadi. Memandang kecil peran orang lain dalam hal-hal yang baik dan positif, dapat menyeret kita ke jurang ghurur (terpedaya). Dan hal itu membahayakan dakwah dan perjuangan kita.
• Salah komentar, gesekan-gesekan lembut, celetukan-celetukan ringan, dan guyonan ukhuwah menjadikan perjuangan menegakkan panji-panji Ilahi terasa renyah dan bermakna.
• Di sepanjang ruang dan waktu, kita memerlukan perempuan-perempuan muslimah yang vokal menyuarakan kebenaran dengan pendekatan hati nurani. Bukan diam dalam kepura-puraan dan anggukan kepalsuan.
Saudaraku,
Sungguh indah pelayaran hidup di atas samudera dakwah dan perjuangan yang tak kenal lelah. Karena setiap nafas yang kita hirup dan kita lepaskan bernilai ibadah. Karena setiap langkah yang kita ayunkan, ada harapan dan kepastian. Karena setiap khilaf dan salah ada yang memaafkan. Dan setelah ruh meninggalkan jasad kita, ada pahala dalam keabadian di sana, dalam Jannah dan surga-Nya.
Allahummar zuqnaa al-istiqamah, ya Allah karuniakan kami istiqamah di atas jalan-Mu. Amien. Wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)