Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc
» نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ «
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412).
Saudaraku,
Pada suatu pagi di kota Metro, tepatnya di taman kota, suasana yang begitu cerah karena sudah beberapa bulan hujan tidak menyapa kota tersebut. Terjadi dialog menarik antara sehat dan sakit. Masing-masing mengklaim bahwa dirinya lebih memberi warna manfaat bagi manusia.
Sehat berucap, “Karena aku, manusia semangat dalam bekerja dan beraktifitas, pantang menyerah saat gagal dan bergairah dalam menapaki tangga-tangga kehidupan.”
Sakit menyangkal, “Tapi karena-ku manusia tak memiliki angan-anagn panjang, dan optimis menatap hari-hari yang masih tersisa.”
Sehat menambahkan, “Denganku, ahli ibadah lebih bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, tidak mudah jemu dan terengah-engah saat menadki puncak ubudiyah.”
Sakit menimpali, “Tapi denganku, mereka mengikhlaskan niat (karena Allah semata) dalam ibadah mereka, tidak mengharap pamrih duniawi.”
Sehat membanggakan dirinya, “Karena-ku didirikan sekolah-sekolah kesehatan, akademik kebidanan dan perguruan tinggi kedokteran.”
Sakit tak mau kalah, “Tapi karena-ku penelitian medis berkembang dengan pesatnya di mana-mana.”
Sehat mengakhiri ucapannya, “Seluruh manusia mencintaiku, dan selalu membangga-banggakanku.”
Sakit menutup pembicaraannya dengan (sanggahan mematikan), “kalau bukan karena aku, mereka tak akan pernah mencintaimu.”
(terinspirasi buku ‘Hakadza ‘allamtnil hayat, karya Mustafa Siba’i).
Saudaraku,
Perbincangan antara sehat dan sakit di atas hanya sekadar selingan dan hiburan hidup kita, yang mudah-mudahan memberikan manfaat untuk kehidupan kita. Karena hiburan dan selingan tidak dilarang dalam agama kita. Persoalannya adalah terkadang kita salah dalam memilih hiburan dan selingan yang menyeret kita melanggar batasan-batasan-Nya. Bersungguh-sungguh bukan berarti selalu menampakkan wajah sangar, cemberut dan tatapan garang. Tanpa seulas senyum menghiasi wajah. Tiada gurauan dalam hidup dan seterusnya. Apakah hidup kita bermakna?.
Sehat dan sakit adalah teman hidup kita. Keduanya datang menyapa kita silih berganti. Dan terkadang mengunjungi kita secara beriringan dan bersamaan. Keduanya sangat berarti dalam hidup kita.
Sehat mengajari kita untuk selalu bersyukur atas segala nikmat pemberian-Nya. Sedangkan sakit, mendorong kita untuk selalu sabar menghadapi cobaan-Nya. Sehat menyimbolkan segala nikmat. Sedangkan sakit mewakili setiap warna cobaan dan tribulasi yang menyapa kita. Syukur dan sabar adalah dua pilar kesuksesan kita dalam menyisiri hidup dan kehidupan ini.
Bahkan Umar bin Khattab r.a pernah berujar, “Seandainya sabar dan syukur adalah sebuah kendaraan, maka aku tidak tahu mana yang harus aku naiki terlebih dahulu. Karena kedua-duanya menjadi kendaraan yang akan menghantarkan kita ke surga.”
Saudaraku,
Sehat adalah nikmat besar h yang dikatakan oleh Abu Darda, “Sehat adalah ghina jasad (yaitu bentuk kecukupan yang ada pada badan kita).”
Sementara Wahb bin Munabbih berkata bahwa telah tertulis dalam hikmah keluarga Daud, “Sehat itu bagaikan kerajaan yang tersembunyi.”
Bahkan Ibnu Mas’ud r.a mengatagorikan rasa aman dan sehat ke dalam al-naim (kenikmatan) yang akan dipertanggungjawabkan seorang hamba di hadapan Allah s.w.t pada hari kiamat kelak sebagaimana tersebut pada ayat terakhir dari surat at-takaatsur.
Saudaraku,
Pertanyaan yang menggelayut di dalam hati kita, sudahkah kita mempergunakan nikmat sehat itu untuk memaksimalkan keta’atan kepada Allah, mengukir amal shalih dan memperbuat kebaikan? Atau justru sebaliknya, kesehatan tubuh kita identik dengan dosa-dosa dan maksiat, yang tanpa sadar terus berulang kita perbuat dalam hidup kita. Wak iyadzu billah.
Demikian pula dengan sakit yang terkadang menyapa kita, sudahkah kita jadikan ia sebagai sarana untuk senantiasa merapat kepada-Nya. Mengenang keagungan-Nya, banyak menyebut nama-Nya, mengharap kesembuhan dari-Nya, menyadarkan kita akan hakikat kehidupan yang sementara. Banyak beristighfar dan mengakui kelemahan kita dan kekurangan kita dalam ibadah dan seterusnya.
Atau justru sebaliknya, sakit yang kita derita menyebabkan kita semakin menjauh dari-Nya. Tak ridha dengan ketetapan-Nya. Membenci takdir-Nya atas kita. Banyak mengadu kepada selain-Nya. Semakin kurang menyebut nama-Nya dan merintih, mengaduh pertanda ketidaksiapan ruhani kita untuk menjalani ujian-Nya dan seterusnya, wal iyadzu billah.
Saudaraku,
Mari kita belajar dari pengalaman hidup orang-orang shalih terdahulu, agar kita bisa bercermin dari keshalihan mereka, bagaimana keadaan mereka sewaktu sakit, yang merenggut nyawa mereka.
• Sewaktu Abdullah bin Idris al-Udi sakit keras dan berada di ambang kematian, puterinya menangis tersedu-sedu. Ia berkata, “Wahai puteriku, jangan engkau menangis, karena sesungguhnya aku telah mengkhatamkan al-Qur’an di rumah ini sebanyak empat ribu kali khatam.”
• Kala puteranya menangis melihat sakit yang diderita orang tuanya semakin kritis, maka syekh Abu Bakar bin Ayash berkata, “Wahai anakku, apakah kamu kira Tuhanmu akan menyia-nyiakan amalan ayahmu yang selama 40 tahun mengkhatamkan al-Qur’an setiap malam dalam shalat malam?.” Ia berkata, “Wahai anakku, ayahmu ini tak pernah melakukan dosa besar selama hidupku.”
• Disuatu sore syekh Ibrahim bin Hani’ memanggil puteranya seraya berkata, “Wahai anakku, apakah matahari telah terbenam?.” Jawab anaknya, “Belum, wahai ayahku Allah telah memberikan keringanan bagi orang sakit untuk berbuka puasa (wajib), apalagi engkau sedang puasa sunnah.” Ia berkata, “Tenanglah duhai puteraku, bukankah Allah berfirman, “Limitsli hadza fal ya’malil ‘amiluun (untuk kemenangan serupa ini hendaknya berusaha orang-orang yang bekerja (mencari surga-Nya).” (QS. Ash Shaffat: 61).
• Abu Sufyan bin Harits berkata kepada keluarganya saat sakit yang ia derita berujung sakaratul maut, “Kalian jangan tangisi kepergianku, sebab lisanku ini tak pernah melakukan dosa selama hidupku.”
Saudaraku,
Itulah kisah salafus shalih, bagaimana dengan kisah hidup kita? Pernahkah kita menghitung, berapa kali kita telah mengkhatamkan al-Qur’an dalam hidup kita? Berapa hari kita melakukan puasa Sunnah dalam satu tahun? Berapa malamkah kita tidak menghidupkan malam dengan qiyamul lail dalam satu pekan?. Tentu hal itu sudah masuk dalam buku catatan harian kita?.
Sekiranya amalan baik dan perbuatan buruk tercatat dalam buku catatan harian kita, kira-kira mana yang lebih dominan menghiasi buku tersebut saudaraku? Apakah amalan yang baik atau justru amalan buruk, dosa dan maksiat yang lebih dominan?. Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang. Bertanyalah pada hati nurani kita yang paling dalam.
Terima kasih pada-Mu ya Allah yang telah mendatangkan sehat dan sakit dalam hidup kami, agar kehidupan kami indah berseri, lebih berwarna dan berpelangi. Wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)