(Qurban Bukan Sedekah Daging: Bagian 5)
Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
7. Larangan Menjual Kulit Dan Menjadikannya Upah Jagal/Biaya Operasional
Diantara ketentuan ritual ibadah penyembelihan hewan qurban adalah larangan bagi pequrban untuk menjual kulit atau bagian apapun dari hewan qurbannya yang disembelih, begitu pula larangan menjadikannya sebagai upah jagal atau beaya operasional. Dan tentu saja hukum larangan inipun tertuju kepada para panitia qurban atau pihak manapun yang menjadi wakil pequrban. Karena, kaedahnya, setiap wakil terikat dengan setiap hukum yang mengikat yang diwakilinya.
Dalam hadits Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurus onta-onta sembelihan (sebagai hadyu atau qurban) milik beliau, dan agar aku membagi-bagikan dagingnya, kulitnya dan bahkan “baju”-nya kepada orang-orang miskin, serta agar aku tidak memberikan sesuatupun dari bagian hewan qurban itu kepada jagal (sebagai ongkos/upah) (HR. Muttafaq ‘alaih). Dan dalam hadits itu pula, beliau bersabda kepada Ali: “Sedekahkanlah “baju” penutupnya dan tali ikatannya , serta janganlah Engkau berikan upah jagal dari bagian hewan sembelihan tersebut”. Dan dalam sebuah hadits yang diperselisihkan derajat riwayatnya: “Barangsiapa menjual kulit hewan qurbannya, maka (seolah-olah) tiada qurban baginya.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan lain-lain dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Al-Albani).
Memang masalah inipun khilafiyah diantara para ulama. Dimana minimal ada madzhab Imam Abu Hanifah yang membolehkan jika kulit hewan qurban dijual dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin. Namun madzhab jumhur (Maliki, Syafi’i dan Hambali) lebih mentarjih keharaman hal itu dan menjadikannya sebagai faktor pengurang kesempurnaan ibadah qurban. Selanjutnya khusus masalah ini silakan baca: Bagaimana Memperlakukan Kulit Hewan Qurban ?
8. Larangan Mencukur Rambut/Memotong Kuku
Termasuk dalam syarat kesempurnaan ibadah qurban adalah dengan mematuhi hukum larangan bagi pequrban untuk mencukur rambutnya atau memotong kukunya, sejak tanggal satu bulan Dzulhijjah dan sampai hewan qurbannya disembelih. Meskipun dalam hal inipun terdapat perbedaan pendapat antar madzhab. Dimana madzhab Hambali misalnya menyatakan bahwa, tindakan melanggar larangan itu berhukum haram, sementara madzhab Maliki dan Syafi’i menghukuminya makruh saja. Namun bagaimanapun tentu saja semua sepakat sebaiknya hal itu tetap dihindari, agar ibadah qurban bernilai ibadah lebih sempurna.
Baginda Sayyiduna Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang diantara kalian hendak berqurban, maka janganlah ia mengambil (mencukur) rambutnya dan (memotong) kukunya sedikitpun sampai qurbannya disembelih).” (HR. Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha).
9. Pemanfaatan Dan Pendistibusian
Sedangkan terkait dengan aspek pemanfaatan dan pendistibusian hewan qurban setelah disembelih, maka sifatnya sangat longgar sekali. Dimana sang pequrban dan keluarganya boleh (bahkan sunnah) menikmati bagian daging qurbannya, boleh menyimpannya, boleh menghadiahkannya kepada orang yang paling kaya misalnya, bahkan boleh juga termasuk membagikannya kepada anggota masyarakat non muslim sekalipun.
Meskipun tentu saja cara terbaik dalam pemanfaatan dan pendistribusian hewan qurban, adalah dengan membagikan dan mensedekahkannya kepada masyarakat fakir miskin dan kaum duafa yang lebih membutuhkan, atau cara-cara lain yang intinya dengan tingkat kemanfaatan dan pemberdayaan yang lebih tinggi, baik dari aspek sosial maupun dari sudut kemaslahatan dakwah Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (tentang pemanfaatan daging hewan qurban): “Makanlah (sebagian dari daging qurbanmu), bagikanlah (sebagian yang lain), dan simpanlah (sebagian yang lainnya lagi).” (HR. Al-Bukhari dari sahabat Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu). Dan dalam riwayat lain: “Makanlah (sebagian), sedekahkanlah (sebagian yang lain), dan simpanlah (sebagian yang lainnya lagi).” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Sahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Biasanya dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berangkat shalat pada idul fitri sebelum beliau makan terlebih dahulu, dan tidak makan pada idul adha sampai beliau pulang (seusai shalat id), lalu baru beliau makan dari daging qurban beliau.” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Dulu aku pernah melarang kalian untuk menyimpan (daging qurban) lebih dari tiga hari (karena suatu kondisi tertentu). Akan tetapi (sejak sekarang) simpanlah sekehendak kalian.” (HR. Muslim).
10. Prosesi Penyembelihan
Berikut ini diringkaskan beberapa ketentuan, kesunnahan dan adab dalam prosesi penyembelihan hewan qurban, agar ibadah spesial ini bisa lebih sempurna:
a. Seperti yang disebutkan dimuka bahwa, esensi dari ibadah qurban terletak pada prosesi penyembelihannya. Sehingga tidak ada qurban tanpa penyembelihan. Oleh karenanya, maka tentang masalah penyembelihan ini haruslah benar-benar diperhatikan.
b. Syarat utama penyembelihan secara umum di dalam Islam, seperti yang telah diketahui bersama, adalah bahwa, sang penyembelih haruslah seorang muslim dan menyebut nama Allah saat melakukan penyembelihan.
c. Dalam qurban, dibenarkan bagi siapapun diantara kaum muslimin untuk melakukan penyembelihan hewan qurban milik siapapun. Namun yang terbaik adalah jika yang melakukannya sang pequrban sendiri. Tentu dengan syarat bahwa, yang bersangkutan memang bisa, mampu dan berkenan. Sementara itu bila pequrban tidak menyembelih sendiri hewan qurbannya, maka disunnahkan agar ia setidaknya tetap turut menyaksikan prosesi penyembelihannya, jika masih dimungkinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada putri beliau Fathimah radhiyallahu ‘anha (yang artinya): “Hadirilah prosesi penyembelihan qurbanmu, semoga dosamu diampuni (berbareng) dengan tetes pertama dari darahnya.” (HR. Al-Hakim).
d. Disunnahkan agar penyembelihan dilakukan oleh seorang muslim yang ahli dalam penyembelihan hewan dan sekaligus bertenaga kuat serta dengan pisau yang setajam mungkin. Karena cara terbaik dalam penyembelihan adalah dengan membuat agar hewan cepat mati dan tidak tersiksa atau tersakiti dalam proses penyembelihannya. Dalam sebuah hadits (yang artinya): “Sesungguhnya Allah telah menetapkan keharusan ber-ihsan (melakukan yang terbaik) dalam segala hal. Maka apabila kalian membunuh (dalam perang atau eksekusi qishash), hendaklah kalian melakukannya secara ihsan (dengan cara terbaik), dan jika menyembelih (hewan), maka sembelihlah secara ihsan (dengan cara yang terbaik) pula. Hendaklah seseorang dari kalian (yang hendak menyembelih) menajamkan pisaunya dan membuat hewan sembelihannya secepatnya bisa rehat (mati).” (HR. Muslim).
e. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan hewan qurban ke arah kiblat (untuk disembelih), beliau berucap: “Bismillah. Allahu Akbar. Allahumma hadza minka wa laka (Ya Allah, qurban ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu).” (HR. Abu Dawud). Beliau juga mengatakan: “Allahumma taqabbal ‘an Muhammad, wa aali Muhammad, wa min ummati Muhammad.” (Ya Allah, terimalah [qurban ini] atas nama Muhammad, atas nama keluarga Muhammad, dan juga atas nama ummat Muhammad).
Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan sabda Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Ya ‘Aisyah, coba ambilkan pisaunya! Lalu beliau juga bersabda: Asahlah ia (pisau) dengan batu (agar tajam). Kemudian beliau mengambil pisau, membaringkan kambing qurban lalu menyembelihnya seraya berucap: Bismillah, Allahumma taqabbal min Muhammadin, wa aali Muhammadin, wa min Ummati Muhammad.” (HR. Muslim).
Atau cukup bila sang penyembelih minimal berucap: “Bismillah, wallahu Akbar” (HR. Muslim).
f. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Hendaklah setiap orang ikut makan dari daging hewan qurbannya sendiri.” (Dishahihkan dalam Shahihul Jami’ 5349). Semoga manfaat sebagai pengingat.
(Manhajuna/GAA)