Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Tiada Senyuman Bagi Para Pendengki
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Tiada Senyuman Bagi Para Pendengki

Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc

» لاَ رَاحَةَ لِحَسُوْدٍ وَلاَ إِخَاءَ لِمُمِلٍّ وَلاَ مُحِبَّ لِسَيِّءِ الْخُلُقِ «

“Tiada istirahat bagi jiwa yang dengki. Tiada kata persaudaraan bagi jiwa yang bosan (kecewa) dan tiada cinta bagi orang yang berakhlak tercela.” (Perkataan Ali bin Abi Thalib r.a, dikutip oleh Shalih Ahmad al-Syami dalam kitab Mawa’izh as-shahabah).

Saudaraku,
Jika kita biarkan hati kita dialiri kedengkian, perasaan iri hati atas keberhasilan dan kesuksesan orang lain dalam masalah duniawi, itu artinya kita telah membiarkan diri kita terjatuh pada kebinasaan; dunia maupun akherat. Jiwa kita didera kegelisahan berkepanjangan, kegalauan yang tak kunjung surut, kecemasan terus menerus dan bahkan tensinya naik setiap detiknya. Kita akan terombang ambing dalam kehampaan, kegelapan bathin, kelelahan jiwa, yang sejatinya kita ciptakan sendiri. Bukan dari orang lain.

Dengan kata lain, hasad akan merenggut kebahagiaan kita dalam hidup. Menghilangkan keceriaan di wajah. Menyirnakan senyuman dari bibir kita. Jika kita biarkan hasad tumbuh di jiwa kita, berarti kita menghadirkan tangisan tanpa air mata. Mengundang penyakit yang akan menggerogoti jiwa. Ketenangan menjauh, menerbangkan kedamaian dan kenyamanan menghilang dari hidup seiring bergantinya musim kemarau dengan musim penghujan.

Untuk itu saudaraku,
Jika kita melihat orang lain mendapatkan keluasan rezki. Dimudahkan untuk menemukan pasangan hidup yang seiring sejalan. Allah karuniakan anak-anak yang mungil dan manis. Terbentang untuknya medan bisnis yang menjanjikan. Popularitas dan elektabilitas yang terus meroket. Terbuka jalannya untuk menjadi pemimpin.

Idealnya yang kita lakukan adalah mendo’akan keberkahan untuknya dan kita membantunya taat kepada Allah serta mensyukuri nikmat pemberian-Nya. Bukan mengadakan propaganda negatif, kampanye hitam, apalagi memfitnahnya.

Orang yang menyimpan hasad dalam dirinya, maka ia akan mendapati langit kehidupannya senantiasa mendung dan berawan, jiwa menjadi gelap dan pekat, kesangaran wajah, tindakan ngawur dan jauh dari berkah.

Saudaraku,
Ikatan bathin yang kuat. Persahabatan hakiki terwujud. Persaudaraan iman menjelma sebagai bentuk keta’atan kita kepada Allah s.w.t. Ia tidak dibangun di atas dasar kepentingan duniawi sesaat. Bukan pula diikat karena profesi, jabatan, rupa menarik, kepentingan, poilitik, bisnis dan yang senada dengan itu.

Jika iman yang menjadi asasnya dalam berukhuwah, maka persaudaraan akan terus langgeng hingga ke akherat sana. Ia tiada lapuk diguyur air hujan dan tak lekang disapa sengatan panas matahari. Ia tetap terpatri di jiwa, walau harus dipisahkan oleh jarak dan waktu. Ia tak berubah seiring pergantian musim dan beranjaknya usia.

Saat seseorang hadir di kala memerlukan bantuan kita. Ia merapat di saat kita sehat, lapang, berkecukupan, memiliki jabatan strategis, calon kuat memenangi Pilkada dan yang seirama dengan itu. Sementara ia menghilang dan menjauh dari kita di saat kita sakit, pailit, sempit, berduka, miskin, kalah dalam Pilkada dan seterusnya. Berarti ukhuwah yang terjalin hanya semu belaka. Yang akan membuat kita merana di dunia fana ini.

Oleh karena itu jika kebosanan menyapa persaudaraan dan ukhuwah imaniyah, kita perlu mengevaluasi perjalanan ukhuwah dan persaudaraan iman kita. Pasti di sana ada yang error. Mungkin niat yang tak lagi tulus dalam bersahabat. Atau barangkali iman kita yang sedang mengalami masalah. Dan yang pasti, kita sedang akrab dengan dosa dan kesalahan.

Jika kita menginginkan kesempurnaan dalam diri seseorang yang kita menjalinkan persaudaan iman dengannya, maka kita tidak akan pernah berdampingan dengan seorang pun. Karena kekurangan, kelemahan diri, kekeliruan dan kesalahan adalah tabiat manusia.

Seorang da’i dari Syiria (Mustafa Siba’i) pernah menasihati kita, “Kita bukanlah kafilah malaikat, yang tak pernah melakukan dosa dan kesalahan. Tapi kita bukan pula kafilah setan, yang selalu melakukan kesalahan dan dosa. Kita adalah kafilah manusia. Ada sifat-sifat malaikat yang kita miliki, tapi dominan sifat-sifat setan yang ikuti. Jika engkau mengharapkan memiliki sahabat tanpa salah dan dosa, maka engkau tak akan pernah mendapatkan sahabat dalam hidup ini. Ia akan hidup menyendiri tanpa sahabat.”

“Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar, serta tidak akan pernah mati kebaikannya,” demikian kata Sayyid Qutb dalam tafsirnya ‘fi zhilal al-Qur’an’.

Saudaraku,
Salah satu cara untuk meraih cinta Allah s.w.t dan ridha manusia adalah berbudi pekerti yang luhur. Karena tabiat dasar yang dimiliki manusia adalah senang melihat keelokan perangai dan keindahan pekerti orang-orang yang berada di dekatnya.

Hanya dengan budi pekerti yang luhur, kita dapat menarik hati orang lain. Artinya kecintaan orang terhadap kita, tak bisa ditukar dengan lembaran-lembaran real, dolar dan rupiah. Tidak pula dibeli dengan lempengan emas dan butiran mutiara. Tetapi ia hanya dapat kira raih dengan menampilkan budi pekerti mulia.

Untuk itu, kasar dalam berinteraksi terhadap sesama. Hilangnya rasa amanah. Sirnanya sebuah kelembutan hati. Sikap mendua dan banyak berbasa basi. Sulit memaafkan kekhilafan orang lain. Identik dengan kebohongan dan dusta. Dan yang seirama dengan itu. Yang demikian itu menjadikan manusia menjauh dari kehidupan kita.

Terlebih, budi pekerti yang menawan akan menjadi sebab kedekatan kita dengan Rasulullah s.a.w di surga kelak. “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kamu dan yang paling dekat majlisnya dariku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidi, no. 2018).

Jika Uwais Al-Qarni dilempari batu oleh anak-anak kecil, maka dia berkata, “Wahai saudara-saudaraku, jika memang tidak ada pilihan yang lain, maka bolehlah kalian melempari aku, tetapi dengan batu yang lebih kecil, agar betisku tidak berdarah sehingga menghalangiku untuk melaksanakan shalat.”

Adalah Ibrahim bin Adham pernah keluar di tengah lembah. Di sana, dia berjumpa dengan seorang prajurit perang. Kemudian dia bertanya, ”Di manakah tempat yang baik?.”

Maka Ibrahim menunjuk ke arah kuburan. Tentara itu langsung memukul Ibrahim karena geram. Namun, ketika ada seseorang yang memberi tahu bahwa orang yang dipukulnya itu adalah Ibrahim bin Adham, maka tentara tersebut memeluk tangan dan kaki Ibrahim, karena menyesali perbuatannya. Ibrahim berkata: “Ketika kepalaku dipukul, aku memohon surga kepada Allah untuk orang ini. Aku tahu bahwa aku diberi pahala karena pukulannya. Aku tidak ingin mendapatkan kebaikan karena orang itu, sedangkan dia mendapatkan akibat yang buruk dariku.”

Tanpa menampilkan budi pekerti luhur, maka memiliki kekasih dan sahabat sejati hanya sekadar ibarat panggang jauh dari api. Yang tak akan terwujud di alam realita kehidupan kita. Bagaikan fatamorgana. Menjadi mimpi di siang hari.

Saudaraku,
Jika kita ingin meneruskan perjalanan hidup menuju Allah dengan tersenyum, banyak sahabat setia menemani kita, dan dicintai banyak orang. Hendaknya kita melepaskan diri kita dari hasad dan iri hati. Melandasi persaudaraan dan persahabatan di atas pondasi iman. Dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji. Semoga kita mampu mewujudkannya. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

(Manhajuna/GAA)

(Visited 581 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *