Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Konsultasi / Seputar Wali Nikah dan Rujuk
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Seputar Wali Nikah dan Rujuk

Assalamualaikum ustad.. Saya ada 2 pertanyaan.

  1. Saya istri yg dinikahi secara siri dengan keadaan tdk direncana. Ketika pernikahan siri saya, wali sah (bapak saya) tdk didatangkan, tetapi hanya surat persetujuan wali dr bapak saya yg dibawa oleh salah satu tim perkawinan. Padahal keadaan ayah saya sehat dan bisa didatangkan jika dibutuhkan. Bagaimana hukum pernikahan saya? Apakah sah?
  2. Saya sudah tdk berhubungan badan dengan suami selama 1,5 tahun karena saya tdk nyaman dengan nafkah batin suami, kemudian ditengah tahun kami pisah ranjang dan terjadi talak 1. Dalam perjalanan masa iddah saya yg kedua, suami ingin rujuk dengan saya. Apakah saya bisa menolak urusan rujuk itu dengan alasan menyelamatkan agama dan batin saya demi kebaikan bersama? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalam.

Jawaban:

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:

Jawaban pertanyaan pertama:

Telah kita ketahui bersama bahwa wali merupakan syarat sah pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Nikah tanpa wali tidaklah sah.” (HR. Tirmidzi: 1020. Diriwayatkan oleh lima imam selain Imam Nasa’i. Al-Albani berkata, “haditsnya shahih,” no. 1839, Mukhtashar Irwaul Ghalil: 1/364).

Yang berhak menikahkan wanita adalah bapak dari wanita tersebut, lalu orang yang diwasiati untuk menikahkan wanita adalah bapak dari wanita tersebut, lalu orang yang diwasiati untuk menikahkan, lalu kakeknya dari jalur bapak, lalu anaknya, lalu saudaranya, lalu pamannya, lalu yang paling dekat dengan ashabah dari keturunannya, kemudian hakim. Seorang wanita tidaklah boleh menikahkan dirinya sendiri atau menikah tanpa seizin dari walinya.

Adapun apabila seorang wanita tidak punya wali, atau memiliki wali tetapi tidak berhak untuk menikahkannya karena berbeda agama, dan atau semua walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya, maka hakim boleh menikahkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa pun dari kalangan wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil. Apabila ia telah “masuk” (berjima’ -ed) kepadanya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar, sebagai ganti dari sesuatu yang ia halalkan dari farjinya. Apabila para wali berselisih (tidak mau menikahkan), maka sulthan (hakim) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud: 2083, Ibnu Majah: 1879, Tirmidzi: 1102). Dari sini, bisa kita ketahui bahwa wali hakim tidaklah boleh menikahkan seorang wanita, sementara wali wanita tersebut masih ada.

Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwasanya apabila wali berhalangan hadir di majelis pernikahan dari wanita yang ia menjadi walinya kepada orang lain yang boleh menikahkannya atau kepada pegawai pemerintahan yang berhak dan boleh untuk menikahkan wanita tersebut. Jadi jika ayah benar-benar sudah mewakilkan maka sah pernikahannya.

Jawaban pertanyaan kedua:

Ruju’ dimasa iddah pada talak kesatu atau kedua merupakan hak suami yang tidak disyaratkan adanya keridhoaan atau kerelaan istri, berdasarkan firman Allah swt :

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحً

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS. Al Baqarah : 228).

Diantara hikmah dari diadakan ruju’ didalam syariat islam adalah terkadang seorang suami setelah mentalak istrinya muncul penyesalan atas perbuatan tersebut sebagaimana diisyaratkan Allah swt di dalam firman-nya :

لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا

“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath Thalaq : 1), maka si suami membutuhkan waktu untuk menyadarinya dan seandainya tidak diteguhkan ruju’ maka tidak mungkin ia akan menyadari. Dan apabila si wanita tidak menyetujuinya untuk memperbaharui pernikahannya sementara si lelaki sudah tidak sabar (sanggup) maka bisa jadi ia akan terjatuh kedalam pezinahan. Karena itu disyariatkannya ruju’ adalah untuk kebaikan diantara suami istri dan inilah hikmah mulia, Maha Suci Allah, Hakim yang seadil-adilnya, demikian menurut Al Kasani.

Dengan demikian tujuan suami rujuk adalah untuk perbaikan dan kebaikan berdua serta tidak untuk memudharatkan istrinya maka suami berhak atasnya tanpa perlu adanya persetujuan atau keridhoan dari istri terhadapnya. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa keridhoan istri didalam ruju’ tidaklah diakui berdasarkan firman Allah swt :

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحً

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS. Al Baqarah : 228). Allah menjadikan—ruju—adalah hak bagi mereka (para suami). Allah swt berfirman :

فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

“Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah : 231). Ayat tersebut ditujukan kepada para suami sebagai sebuah perintah dan tidak memberikan pilihan bagi para istri. Karena ruju’ adalah menetapkan istri dengan hukum pernikahan maka tidaklah diakui kerdhoannya dalam hal ini dan ia bagaikan tulang rusuk pernikahannya. Hal ini merupakan ijma’ para ulama. (Al Mughni juz XVII hal 59).

Wassalamu Alaikum Wr Wb

(Tim Konsultasi Syari’ah Manhajuna)

(Visited 1.045 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *