Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Saya ingin bertanya tentang bagaimana hukumnya seseorang yang bekerja di bagian pajak baik itu yang menghitung pajak, sebagai saksi, dll. Sebelumnya saya sudah bertanya dengan guru agama di sekolah, bahwa bekerja di perpajakan diperbolehkan, alasannya karena pajak saat ini berbeda situasi & konteksnya dengan pajak di zaman Rasulullah SAW. Dimana pajak saat zaman Rasul, dilakukan secara paksa sedangkan sekarang dibebankan kepada segelintir orang yang memang memiliki penghasilan lebih dan tentu pajak saat ini telah digunakan sebagai sumber pendapatan negara.
Namun tak sampai disana, saya membaca pada sebuah situs yang membahas tentangg bekerja di bagian pajak tersebut. Penulis situs tersebut, mengatakan bahwa haram hukumnya bekerja sebagai penarik pajak baik itu yang menghitung, saksi, dsb. Terus terang saya masih ragu, dan memang sebagai muslim kita sebaiknya meninggalkan perkara yang meragukan kita. Namun saya minta kejelasan anda agar hati saya mantap bahwasanya apakah memang benar diperbolehkan ataukah haram. Terima Kasih.
Jawaban:
Waalaikumsalam Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertanyaan ini merupakan perkara cabang dari permasalah pokok, yaitu tentang hukum pajak atau cukai yang dipungut negara. Boleh atau tidaknya bekerja di dunia ini, berkaitan langsung dengan hukum boleh tidaknya pajak dan cukai yang ditetapkan negara.
Terdapat sejumlah nash hadits dalam masalah ini, seperti;
لاَ يَدْخُلُ الَجنَّةَ صَاحِبُ مُكْس ),رواه أبو داود وابن خزيمة في صحيحه والحاكم، كلهم من رواية محمد بن إسحاق وقال الحاكم: صحيح على شرط مسلم)
“Tidak masuk surga pengambil pungutan.” (HR. Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim)
صَاحِبُ الْمُكْسِ فِي النَّارِ) رواه أحمد والطبراني)
“Pengambil pungutan di dalam neraka.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Meskipun banyak ulama hadits yang melemahkan hadits ini, namun ada sejumlah hadits shahih yang menguatkannya. Di antaranya adalah hadits riwayat Muslim tentang wanita pezina yang bertaubah, lalu di katakan oleh Rasulullah saw, “Ia telah bertaubat, seandainya taubat seperti itu dilakukan oleh para pengambil pungutan (shohibul muksi) niscaya Dia (Allah) akan mengampuninya.”
Tidak sedikit yang menafsirkan kata “al-muksu” dalam hadits di atas sebagai pajak atau segala bentuk pungutan yang dikenakan pemerintah terhadap masyarakat. Hal ini tentu berpengaruh pada penetapan hukum tentang pajak dan berikutnya hukum bekerja dalam medan ini. Kesimpulan dari pendapat ini adalah karena pajak yang ada sekarang adalah termasuk katagori ‘al-muks’ yang disebutkan dalam hadits nabi, maka dia hukumnya haram dan bekerja dalam dunia ini dengan sendirinya menjadi haram.
Apakah masalah ini bersifat mutlak?
Untuk lebih jelasnya, kita awali dahulu kajian ini dengan mendefinisikan makna ‘al-muksu’ yang terdapat dalam hadits. Dari segi bahasa, al-muksu (المكس) berarti berkurang. Dikatakan demikian, karena ada sesuatu yang berkurang pada diri seseorang akibat diambilnya sesuatu yang dimilikinya apa yang bukan kewajibannya.
Ada dua makna ‘al-muksu’ yang disebutkan para ulama:
Pertama: Pungutan yang diambil dari seseorang atas barang dagangan yang dia perdagangkan.
Kedua: Upah yang diambil oleh petugas zakat dari orang yang berzakat, diluar harta zakat yang wajib dia berikan.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ‘shohibul muksi’ adalah orang yang mengambil sepuluh persen dari harta orang lain secara zalim. (Syarah Sunan Abu Daud, Abdul-Muhsin Abbad, 5/346)
Dari sini ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud ‘al-muksu’ yang dilarang dalam hadits adalah: Pungutan yang dibebankan kepada rakyat, bersifat zalim dan tidak ada kompensasi yang manfaatnya dikembalikan kepada rakyat. Ada juga yang menambahkan bahwa yang dilarang adalah apabila pemerintah memiliki dana yang cukup untuk melakukan penyelenggaraan negara dan menyediakan fasilitas yang cukup bagi rakyatnya, namun dia tetap mengambil pungutan dari rakyatnya.
Jika pemahaman ini dikaitkan dengan pajak yang umumnya dijadikan sebagai salah satu sumber pemasukan di berbagai negara di dunia ini, maka ‘al-muksu’ yang disebutkan dalam hadits di atas tidak serta merta dapat disamakan begitu saja dengan pajak, meskipun tidak tertutup kemungkinan menjurus masuk dalam katagori al-muksu, jika terdapat unsur seperti disebutkan di atas.
Adapun jika pajak tersebut diselenggarakan secara selektif oleh negara dan hasilnya digunakan untuk penyelenggaraan negara agar kuat dan baik, serta mempersiapkan berbagai sarana dan fasilitas publik yang berarti itu semua kembali kepada kebaikan masyarakat, maka kami berpendapat bahwa pajak yang dilakukan sekarang tidak mutlak dapat disamakan dengan al-muksu dalam hadits tersebut.
Dalam hal ini justeru yang sangat mendesak adalah kontrol dari penentu kebijakan agar pajak tidak dikenakan sembarangan dan benar-benar dapat dialokasikan secara maksimal. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah para petugas di lapangan yang melaksanakan tugas dengan jujur dan professional. Dalam point inilah kami berpandangan bahwa adanya petugas yang jujur dan professional justeru sangat dibutuhkan agar perkara ini tidak mudah disalahgunakan pihak-pihat tertentu.
Sebagai penutup uraian ini, cukup baik kita simak pandangan Imam Syatibi dalam kitabnya Al-I’tisham 2/12,
“Jika kita tetapkan, ada pemimpin yang dipatuhi tapi membutuhkan banyak prajurit untuk menjaga perbatasan dan melindungi pemerintahan yang semakin luas, sementara itu harta negara tidak ada sementara biaya untuk para tentara semakin meningkat hingga tidak cukup, maka jika sang pemimpin itu adil, dia dapat memanfaatkan orang-orang kaya (dengan memungut dari kekayaan mereka) hingga kas negara cukup. Kemudian diapun juga dapat memberlakukan hal itu terhadap barang dagangan dan buah-buahan atau lainnya. Perkara ini belum ada pada generasi pertama, karena kas negara (baitul mal) masih dianggap cukup untuk kebutuhan saat itu, berbeda dengan zaman kita sekarang. Karena jika pemimpin tidak memberlakukan peraturan tersebut, maka kekuatan Islam akan hilang dan negeri-negeri kita akan menjadi mangsa penjajahan orang-orang kafir. Jika bahaya yang besar ini dibandingkan dengan bahaya yang muncul dari adanya pungutan terhadap sebagian masyarakat atas sebagian harta mereka, maka dia tidak akan menguatkan bahaya kedua atas bahaya pertama apabila dia mengetahui tujuan syariat sebelum menngamati berbagai dalil.”
Substansinya adalah jika itu untuk kebaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dan dilakukan secara proporsional dan bertanggungjawab, maka pungutan semacam itu dibenarkan berdasarkan nilai dan tujuan syariat.
Kesimpulannya, bekerja dalam lembaga perpajakan dibolehkan dan gaji yang diterima juga dianggap halal sepanjang petugas tersebut melaksanakan tugasnya dengan jujur, adil dan professional. Bahkan keberadaan petugas seperti ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi penyelewengan atas keuangan negara yang notabena adalah keuangan rakyat.
Wallahu a’lam.
Sumber: Syariahonline.com