Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc.
» وَجَدْنَا الْكَرَمَ فِي التَّقْوَى، والْغِنَى فِي اليقينِ، وَالشَّرَفَ فِي التَّوَاضُعِ «
“Kami temukan kemuliaan pada ketakwaan. Kami dapatkan kekayaan (hakiki) pada keyakinan (yang benar). Dan kami rasakan ketinggian pekerti pada sikap tawadhu’ (rendah hati).” (Perkataan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a).
Saudaraku,
Peradaban Islam yang luhur tegak di atas di atas pondasi aqidah yang suci dan kokoh. Mengikis segala perbedaan ras, tidak memandang warna kulit, suku, bahasa, kebangsaan dan yang lainnya.
Semakin berwarna afiliasi kita terhadap agama yang suci ini, maka semakin terangkat harkat dan martabat kita sebagai seorang hamba. Iman yang benar dan tulus berperan sebagai perekat interaksi (hubungan) antara para penguasa dengan rakyat jelata. Karena parameter kemuliaan seseorang diukur dari ketakwaan dan keshalihan pribadi, bukan karena pangkat, kedudukan, harta benda dan menjadi juragan sapi.
Rasulullah s.a.w telah menyampaikan pesan-pesannya yang abadi pada saat haji wada’, ”Seluruh manusia adalah keturunan Adam, dan Adam berasal diciptakan dari tanah. Tiada kemuliaan orang arab atas non arab, dan tidak pula orang berkulit putih atas kulit hitam melainkan dengan ketakwaannya.” (HR. Ahmad).
Rasulullah s.a.w memilih Bilal bin Rabah pada peristiwa fathu Mekkah untuk mengumandangkan adzan dan menggemakan kalimat tauhid di atas Ka’bah, padahal Ka’bah adalah sesuatu yang sangat dihormati kesuciannya oleh bangsa arab, namun kedua kaki Bilal sahabat yang berkulit hitam kelam telah menginjakkan kakinya untuk kali pertama di atasnya dan inilah yang tidak akan pernah kita saksikan pada masa sekarang.
Bahkan Rasulullah s.a.w memberikan teguran yang cukup keras terhadap Abu Dzar Al-Ghifari, karena ia telah memanggil Bilal dengan ucapan : “Yabna as-sauda” (wahai putera si hitam) dengan sabdanya, ”Wahai Abu Dzar, apakah engkau menghinanya karena kehitaman ibunya?, sungguh telah ada pada dirimu budaya jahiliyah.”
Ini adalah potret perbedaan yang nyata antara ilmu dan kebodohan, antara peradaban insani yang luhur dengan peradaban tirani jahiliyah.
Saudaraku,
Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab r.a, ketika kaum muslimin datang ke Mesir untuk menaklukan negeri piramida itu. Maka setelah mereka mengepung benteng Babilon, Mukaukus berkeinginan untuk berdialog dengan mereka. Amru bin Ash panglima kaum muslimin mengutus 10 orang sahabat yang dipimpin oleh Ubadah bin Shamit. Ia seorang sahabat yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi menjulang, di mana ketinggiannya mencapai 10 jengkal. Ia ditunjuk Amru bin Ash sebagai juru bicara.
Ketika sampai di hadapannya, Mukaukus berkata, “Menjauhlah engkau dariku karena aku tak sanggup menatap wajahmu yang hitam kelam.”
Maka ketika ubadah melihat rasa takut yang menggenang di wajah Mukaukus, dengan penuh izzah dan diplomatis ia berkata, “Apabila engkau takut melihat kehitamanku, ketahuilah bahwa di belakangku masih ada 1000 pasukan yang kulitnya lebih hitam dariku.”
Dan pada akhirnya sejarah mencatat, Mesir pun futuh di tangan kaum muslimin. Suatu negeri yang pernah melahirkan Fir’aun dan Haman dengan segala kecongkakan dan kepongahannya ternyata tunduk dan takluk hanya oleh seorang Ubadah bin Shamit r.a.
Begitulah, kehormatan dan kemuliaan yang dimiliki sahabat agung ini, lantaran keilmuan, ketajaman pikiran dan kepahlawanannya. Ubadah hanya merupakan salah satu dari mutiara berkilau yang telah mengangkat kemuliaan Islam dan kaum muslimin hingga ke puncak keharumannya.
Saudaraku,
Di zaman setelah itu, tepatnya di era kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, sang khalifah bani Umayyah ini menobatkan ‘Atha’ bin Abi Rabah sebagai satu-satunya mufti di musim haji pada masa itu. Di mana tidak diperkenankan seorang ulama pun memberikan fatwa kepada manusia selain ‘Atha’.
Padahal bila dilihat dari postur tubuhnya sangatlah tidak meyakinkan. Ia seorang yang berkulit hitam, matanya tidak sempurna, pincang kakinya dan kriting ikal rambutnya.
Apabila ia duduk di tengah-tengah muridnya yang berjumlah ribuan orang, seolah-olah ia seperti burung gagak hitam yang berada di tengah kebun kapas nan putih bersih. Tetapi ia menjadi rujukan terhadap permasalahan agama, menjadi imam dalam fatwa. Dan sejarah telah menulis dengan tinta emas bahwa madrasah ‘Atha’ bin Abi Rabah telah melahirkan berpuluh-puluh ribu ulama handal yang berkulit putih. Ia senantiasa dihormati, dicintai dan dihargai oleh murid-muridnya.
Saudaraku,
Pada tahun 100 H, atau sekitar 13 abad yang lalu, ada seorang wanita berkulit hitam yang bernama Fartuna mengirim surat kepada khalifah Umar bin Abdul Azis, mengadukan riak-riak hatinya. Di mana rumahnya dikelilingi oleh tembok rendah yang menyebabkan suatu ketika seorang pencuri dapat melompati tembok tersebut dan mencuri beberapa ternak piaraannya.
Setelah membaca surat tersebut, ia langsung menulis surat kepada gubernurnya di Mesir yang bernama Ayyub bin Syarhabil, yang kandungan suratnya, memerintahkan kepada sang gubernur untuk meninggikan tembok wanita tersebut dengan tangannya sendiri tanpa bantuan orang lain agar keamanan dan kedamaian serta kesejahteraan rakyat dapat tercipta dalam kehidupan.
Saudaraku,
Apabila kita masih membanggakan wajah rupawan, suku dan marga ningrat, warna kulit, bahasa, kebangsaan, kedudukan, jabatan, profesi, popularitas, harta kekayaan dan yang seirama dengan itu. Lalu kita congkak dan pongah serta merendahkan orang lain, maka berarti kita termasuk umat yang buta dengan nilai-nilai Islam yang luhur.
Ingatlah bahwa kebesaran dan kesombongan adalah pakaian Allah yang sangat tidak pantas dikenakan oleh kita sebagai hamba-Nya yang lemah dan dha’if.
Jika kita ingin kehormatan sejati dan kemuliaan yang abadi, tentunya kita perkuat iman dalam diri kita. Perbalut akal kita dengan ilmu. Dan perindah penampilan kita dengan akhlak dan pekerti yang luhur. Wallahu a’lam bishshawab.
(Manhajuna/GAA)