Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc.
» أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ . تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ «
“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24 – 25).
Saudaraku,
Seorang da’i dari Siria yang bernama DR. Mustafa as-Siba’i, negeri yang hingga hari ini masih terus bergejolak, pernah membagikan pengalaman hidupnya untuk kita. Baik tidaknya amalan yang kita perbuat, bisa diukur dari pengaruh positif yang memantul dari amalan tersebut.
Setiap ukiran kebaikan akan memberikan buah kebaikan yang lain,
- Buah dari iman adalah amal shalih.
- Buah dari cinta ialah ketundukan.
- Buah dari ilmu pengetahuan yaitu kekhusyu’an.
- Buah dari ukhuwah adalah saling mengasihi dan menyanyangi.
- Buah dari keikhlasan adalah istiqamah.
- Buah dari jihad (kesungguhan) ialah pengorbanan.
- Buah dari zuhud adalah kemuliaan.
- Sedangkan buah dari keyakinan yang benar adalah kerelaan dalam penerimaan.
“Jika tiada buah dari benih kebaikan-kebaikan yang kita tanam, maka hal itu merupakan kebaikan palsu.” (dikutip dari buku “hakadza ‘alamatnil hayat”, karya DR Mustafa Siba’i rahimahullah).
Saudaraku,
Berapa banyak benih kebaikan yang telah kita tanam dalam hidup ini?. Dan sudakkah kita menancapkan bibit-bibit kebaikan itu sesuai dengan prosedur yang ada?. Dan sudahkah kita memilih lahan dan tanah yang subur untuk akar-akar kebaikan kita?.
Jika kita mengaku beriman, tapi tiada amal shalih yang mengiringinya. Tiada kebaikan yang membuktikannya, maka iman yang kita punyai adalah keimanan yang sakit dan bahkan mati.
Tanpa ada ketundukan untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Bahkan terkadang kita merasa enggan dan terpaksa untuk mendaki puncak ubudiyah kepada-Nya. Dan terkadang malah kita tidak mentaati-Nya. Itu artinya cinta yang selalu kita dengungkan dan kita ucapkan di hadapan-Nya, adalah cinta palsu dan gombal belaka.
Ilmu pengetahuan yang benar akan mengantarkan kita pada derajat khusyu’, tawadhu’ dan dekat terhadap orang lain. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling khusyu’ (takut) kepada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya kepada Allah.” (Tafsir Ibni Katsir).
Semakin kita berilmu, semakin kita memiliki rasa takut pada Allah. Rasa takut inilah yang akan membentengi kita dari dosa dan maksiat. Oleh karena itu, jika kita semakin berilmu tapi rasa takut dan khusyu’ kita kepada Allah semakin berkurang dan bahkan terkuras. Maka pohon ilmu yang kita tanam, sudah layu dan bisa jadi akan mengalami kepunahan.
Saudaraku,
Pernahkah kita menghitung jumlah orang-orang yang menjadi sahabat dan saudara kita di jalan Allah s.w.t?. benarkah mereka adalah saudara dan sahabat kita di jalan Allah? Atau barangkali kita menanam pohon ukhuwah dengan tujuan meraih pamrih dan manfaat duniawi. Dan bukan karena kita ingin memetik buahnya di akherat.
Jika kita tidak memiliki perhatian terhadap keadaan mereka. Lidah kita kering dari mendo’akan mereka. Tidak saling menguatkan dalam perjuangan menegakkan agama-Nya. Tiada tegur sapa. Tiada saling menutupi kelemaan dan bahkan saling membeberkan aib masing-masing. Itu maknanya pohon ukhuwah sekadar menjadi penghias di tepi-tepi jalan ukhuwah kita.
Saudaraku,
Semangat ubudiyah kita menurun saat ada kritikan dari orang lain. Perjuangan kita menjadi lumpuh ketika ada orang yang mencela kita. Kita menjadi lesu saat ada orang yang mencibirkan kebaikan kita. Dan yang senada dengan itu. Ketahuilah wahai saudaraku, itu pertanda amalan dan kebaikan yang kita ukir, masih jauh dari kata “ikhlas”.
Kita salah dalam menabur benih. Karena yang kita tanam adalah bibit riya’ dan sum’ah. Sehingga yang tumbuh bukanlah pohon ikhlas, tapi pohon riya’ dan sum’ah.
Pohon riya’ dan sum’ah, tidak membuahkan kebaikan apapun dalam hidup kita. Yang ada justru racun yang akan mematikan amal shalih kita. Menjadi penyakit kronis bagi kebaikan kita.
Saudaraku,
Yang membedakan seorang pejuang dengan seorang pecundang adalah pengorbanan. Artinya kita hanya menjadi seorang pecundang, jika perjuangan kita hanya mengharapkan kedudukan, jabatan, popularitas, harta kekayaan, pendamping hidup yang cantic jelita dan seirama dengan itu.
Pejuang sejati, justru mengorbankan harta, waktu, tenaga, pikiran, dan jika pada saatnya nanti dibutuhkan, rela dan tulus memberikan nyawa sebagai taruhannya. Karena ia tahu, bahwa mahar surga sangat mahal harganya. Karena gadis yang dipersuntingnya, bukan perempuan biasa. Tetapi bidadari yang tersimpan bagaikan mutiara dan permata.
Saudaraku,
Zuhud, bukan berarti kita tidak mengenal dan memiliki dunia. Tiada harta dan kekayaan. Tapi zuhud pada hakikatnya, adalah kemampuan diri memandang dan menjadikan dunia sebagai jembatan menuju kebahagiaan kita di kampung akherat.
Ada sebuah atsar dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa ia pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas Ali berkata, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri yang ghani (yang kaya) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat.” (Ibnu Rajab, Jami’ul ulum wal hikam).
Saudaraku,
Mereka yang tidak menerima hukum Allah diberlakukan di permukaan bumi. Enggan menjalankan perintah agama. Berat dalam menjalankan Sunnah Nabi-Nya. Tidak memberikan loyalitasnya terhadap orang-orang yang beriman. Menolak untuk melepaskan diri dari segala ikatan kekufuran, panji kemunafikan dan warna kekufuran. Karena mereka memiliki keyakinan yang bengkok, akidah yang menyimpang dan keimanan yang ternoda.
Karena keimanan yang benar akan membuahkan ketulusan dalam perjuangan. Kerelaan dalam amalan. Kegairahan dalam menjalani kehidupan dalam bingkai keta’atan. Demi mewujudkan harapan keyakinan yang benar, menggapai surga Firdaus yang penuh dengan kenikmatan.
Saudaraku,
Setelah ditanam dan ditancapkan bibit dan benih kebaikan itu, kita perlu merawatnya dengan sabar. Menunggu waktu yang lama. memupuk dan membersihkan rumput-rumput pengganggu dan mewaspadai hama-hama yang dapat menghambatnya sampai waktu panen tiba. Mudah-mudahan hasil dan buah yang kita petik di masa panen sesuai harapan kita dan bahkan lebih berlimpah lagi. Amien.
(Manhajuna/GAA)