Oleh: Aji Teguh Prihatno, S.T.
Musuh musuh Islam, dari kaum kafir hingga kaum liberal tiada henti-hentinya menghembuskan stigma negatif kepada Dunia bahwa Islam adalah agama teroris penyebar kekerasan dan peperangan. Dari konspirasi gerakan terorisme yang mengesankan seolah-olah Islam adalah agama perang dan penebar teror hingga memutarbalikkan makna ayat-ayat suci Al Quran agar menanamkan imej kepada benak dunia bahwa pelaku teror dan penyebab peperangan adalah Ummat Islam.
Jika kita berbicara data dan fakta, maka sesungguhnya siapakah para pelaku teror dan penyebab perang dalam sejarah peradaban manusia?
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa terorisme dan penyebab perang didominasi oleh Non-Islam. Di Amerika saja, menurut laporan globalresearch, dari 2400 tindakan teror hanya 60 dilakukan olah orang Islam atau hanya sebesar 2.5% saja, yang artinya 97.5 % sisanya terorisme dilakukan oleh Non-Islam.
Perang dalam sejarah peradaban manusia juga sama, dari perang yang tercatat, pembantaian dan penyebab peperangan didominasi oleh orang orang non-Islam. Perang dunia pertama dan kedua yang memakan korban lebih dari seratus juta orang disebabkan oleh non-Islam. Tragedi pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menelan korban lebih dari 129 ribu jiwa dilakukan oleh Amerika yang notabene non-Islam. Korban ratusan ribu etnis Bosnia dibantai oleh Serbia yang non-Islam, korban tewas ribuan rohingya dibantai oleh orang non islam. Perang salib yang memakan waktu selama 4 abad diawali dari serangan dari Paus Urbanus II ke Timur, negeri Islam.
Dan tentu saja, kita tidak perlu jauh-jauh mencari bukti, ummat manakah yang telah menjajah Indonesia selama ratusan tahun yang telah memperbudak, membunuh, dan memperkosa rakyat Indonesia? Apakah dari bangsa arab (muslim)? Tentu tidak, merekalah bangsa Eropa dan Jepang yang non-Islam!
Jadi tampaklah jelas, peperangan dan pembantaian terbesar sepanjang sejarah peradaban Ummat Manusia disebabkan oleh non Islam. Dari secuil data sejarah ini saja, Ummat Islam jauh dari kenyataan stigma “agama perang”.
Menjawab Tuduhan atas “Ayat Perang”
Ada beberapa ayat yang digunakan para pembenci dan musuh Islam untuk memberikan stigma Islam adalah agama terorisme dan Perang yaitu Al Baqarah 191 dan 193, dan Al Anfal 39.
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. (Al Baqarah 191)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al Baqarah 193)
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (Al Anfal 39)
Beberapa pakar tafsir ulama klasik, kata “fitnah” dalam ketiga ayat tersebut adalah syirik dan kufur. Mujahid dan Adh-Dhahak mengatakan,”Fitnah berarti Syirik”. Ibnu Zaid mengatakan “Fitnah berarti kekufuran”. Hal ini mengandung pengertian bahwa pembunuhan seperti ini dianjurkan hingga kemusyrikan musnah dari muka bumi dan seluruh alam semesta tunduk kepada Allah Subhanahu wata’ala.
DR Yusuf Al Qaradhawi dalam Fikih Jihad, mengambil tafsir dari Syaikh Al Allamah Al Qasami terkait “ayat ayat perang” ini. Menurut Syaikh Al Qasami, dalam menakwilkan “Dan bunuhlah mereka” maksudnya membunuh “orang orang yang memerangi kalian“.
Adapun firman Allah “di mana saja kamu jumpai mereka” maksudnya dimana saja kamu mendapati mereka. Sedangkan firman Allah, “dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah)” maksudnya dari Makkah, karena kaum Quraisy telah mengusir umat Islam darinya, dan umat Islam mengusir mereka pada waktu Fathu Makkah.
Maksud dari “dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan” (Al Baqarah 191) cobaan dan penderitaan yang menimpa seseorang hingga merasakan sakit lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. Hal ini mengandung pengertian: Tidak ada cobaan yang lebih berat bagi seseorang daripada pelecehan terhadap keyakinannya yang tumbuh dari kesadaran akal dan jiwanya, yang diyakininya sebagai kebahagiaannya di kemudian hari.
Pada surah Al Baqarah ayat 193, “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu)” maksudnya dari memerangi kamu di Tanah Suci, “maka tidak ada permusuhan (lagi)” maksudnya tidak ada alasan bagimu untuk perang, “kecuali terhadap orang-orang yang zhalim” maksudnya orang orang yang memulai perang terhadapmu.
Ibnu Umar Radhiallahuanhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan” Tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan semua itu, maka darah dan harta benda mereka berhak mendapat perlindungan dariku kecuali hak Islam dan pahala mereka menjadi urusan Allah”
Dari pemaparan penjelasan “ayat ayat perang” ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya Islam melakukan peperangan karena, pertama diperangi. Kedua, Islam melarang keras membunuh sesama Muslim yang masih bersyahadat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Hal ini menjawab tuduhan musuh-musuh dan pembenci Islam yang merujuk kepada ISIS (negara islam Syam dan Suriah) yang dengan mudahnya menumpahkan darah sesama umat islam.
Konsep Perang dan penaklukan di Zaman Nabi dan Sahabat (Khulafaur Rasyidin)
Argumen lain untuk memojokkan islam agar tercipta imej bahwa Islam adalah agama perang dan kekerasan adalah Islam ber-ekspansi hanya dengan pedang kepada negeri negeri yang ditaklukkan. Padahal, pada kenyataannya ada 3 alasan kenapa Umat Islam di zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin harus berperang seperti yang dijelaskan dalam Fikih Jihad (Yusuf Al Qaradhawi 2005).
Pertama, Perang diharuskan demi menghilangkan hambatan dan penghalang jalan dakwah Islam. Nabi Muhammad salallahu ‘alayhi wa sallam pernah mengirim surat secara baik-baik untuk mendakwahi kaum Persia, namun Kisra penguasa Persia, malah membalas sikap perdamaian dengan menyobek surat yang dikirimkan dan menantang perang.
Kedua, Perang dibutuhkan sebagai tindakan preventif untuk Melindungi Pemerintahan Islam. Saat itu Pemerintahan berbasis Islam di Madinah baru saja dibangun, maka perang demi mempertahankan kedaulatan Ummat sangatlah vital.
Ketiga, Perang membebaskan penduduk lemah yang terjajah. Berawal dari kekhalifahan Umar bin Khattab membebaskan Mesir dari cengkraman Romawi yang kemudian disambut dengan menerima dakwah Islam. Poin ketiga ini pula relevan dengan sejarah bagaimana Indonesia meraih kemerdekaan dari penjajahan, yang akan dibahas setelah ini.
Perang Demi Kemerdekaan
Islam tidak bisa didefinisikan dengan akal-akalan manusia, seperti islam adalah ‘agama nusantara’, ‘agama perdamaian’ yang butuh sertifikat pengakuan, ‘agama liberal’ (na’udzubillah), atau agama yang dibawa sahabat Ali bin thalib (syiah) saja, bukanlah itu. Islam adalah agama ketundukan dan penyerahan atas segala perintah dan larangan Allah. Apa yang Allah perintah dan apa yang Allah larang dengan cara mengikuti petunjuk Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam itulah Islam.
Seorang muslim adalah orang yang menyerahkan diri pada perintah dan larangan itu. Islam mengedepankan perdamaian, namun Islam juga mengajarkan untuk mengangkat senjata pada situasi dan kondisi yang mengharuskan demikian, demi tegaknya izzah dan menjaga kalimat Tauhid. Tak ada perdamaian tanpa kekuatan, dan tak akan ada kekuatan tanpa terjalinnya perdamaian. Jangankan membuat teror dan memulai peperangan, membunuh satu manusia (yang Allah haramkan) saja dalam islam, seolah membunuh manusia seluruhnya seperti yang difirmankan Allah pada surat Al Maidah ayat 32.
Kemerdekaan RI yang direbut pada tahun 1945 adalah salah satu bukti nyata bagaimana Ummat Islam yang mayoritas, berjihad melawan mengusir penjajah kolonial dengan berperang secara fisik, mengangkat senjata dan bergerilya, tidak hanya berdiplomasi secara politik di meja bundar. Ummat Islam yang mengorbankan jiwa dan raganya berjuang melawan penjajah saat itu distempel “ekstremis” oleh penjajah Belanda karena melawan dengan senjata, seperti halnya Hamas di Gaza, Palestina distempel oleh penjajah israel dan barat dengan sebutan ‘teroris’.
Maka, sebagai muslim, kita harus mendudukkan “perang dalam islam” harus sesuai dengan konteks ruang, waktu, dan situasi kondisinya. Jangan pernah mencari gara-gara untuk memulai berperang, dan sebaliknya, berperanglah kalau memang kita dituntut untuk berperang sesuai dengan koridor-koridor aturan syariat dan negara yang ada.
Karena, kalau kita menganggap perang itu hanyalah bagi pelaku terorisme dan ‘ekstremis’ yang suka membunuh manusia tak berdosa, sangat mungkin kita tidak kan pernah mengecap kemerdekaan yang lahir pada tahun 1945.
Hidup rakyat Indonesia,
Selamat HUT Kemerdekaan RI ke 71
Merdeka!
(Manhajuna/IAN)