Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Sakaratul Maut adalah kondisi dimana ajal seseorang sudah sangat dekat. Dari segi bahasa (سكرة الموت) adalah beratnya kematian. Allah Taala berfirman,
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ (سورة ق: 19)
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaaf: 19)
Adab Terhadap Orang Yang Sedang Sekarat
- Disunahkan orang yang sedang sekarat didampingi oleh keluarganya, diutamakan oleh yang saleh dan kuat jiwanya. Tidak disarankan didampingi wanita, karena biasanya mereka tidak sabar. Namun jika mereka berkeras untuk mendampinginya, janganlah dilarang.
- Hendaknya orang yang sedang sekarat dibaringkan di atas pinggang kanannya ke arah kiblat, jika sulit di atas pinggang kanan, maka dibaringkan di atas pinggang kiri. Jika sulit dibaringkan di atas pinggang, maka dapat dibaringkan dengan terlentang dengan ujung kaki mengarah ke kiblat lalu mengangkat sedikit kepalanya (dapat diletakkan di atas bantal) ke arah kiblat.
- Disunahkan melakukan talqin, yaitu membimbingnya untuk mengucapkan kalimat tauhid. Berdasarkan hadits Rasulullah saw,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
“Talqinkan orang yang menghadapi kematian (dengan ucapan) laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim)
Juga berdasarkan hadits Rasulullah saw,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang akhir ucapannya adalah laa ilaaha illallah, dia akan masuk surga.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
- Yang dimaksud (الموتى) dalam hadits ini adalah orang yang sedang mendekati ajal (sekarat). Dikatakan موتى /orang mati, karena kondisinya sangat dekat dengan kematian. Hal ini termasuk dalam bab, menamakan sesuatu dengan sesuatu yang akan terjadi padanya. Mazhab Syafii sebagaimana pendapat jumhur ulama berpendapat bahwa talqin disunahkan.
- Melakukan talqin di hadapannya.
Talqin adalah menuntun pasien yang sedang sakaratul maut untuk mengucapkan kalimat tauhid. Lakukan dengan lembut, tidak terkesan memaksa. Jika orang tersebut sudah mengucapkannya, tidak perlu diulangi lagi selama dia tidak berbicara dengan pembicaraan lainnya. Jika sudah mengucapkannya, namun setelah itu mengucapkan kata-kata lain, maka hendaknya diulangi lagi talqinnya hingga dia mengucapkan kalimat tauhid.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ucapan yang dituntun cukup ‘Laa ilaaha ilallah’, adapun tambahan ‘Muhammadurrasulullah’ jika talqin tersebut dilakukan terhadap non muslim yang diharapkan masuk Islam sebelum wafatnya, sebagaiman riwayat Rasulullah saw yang mentalqin anak Yahudi sebelum wafatnya.
Hendaknya yang mengucapkan adalah orang yang tidak berpotensi dituduh oleh pasien, seperti ahli warisnya, musuh atau orang yang hasud terhadapnya. Tapi kalau tidak ada selain mereka, maka dicari orang yang dikenal paling sayang dengannya.
Talqin hendaknya dilakukan ketika akal seseorang masih berfungsi dan mampu berkata-kata, juga ketika ruh belum sampai kerongkongan serta dilakukan dengan suara agak keras agar terdengar, namun tetap dengan kelembutan jangan ada kesan kasar atau bersuara terlalu keras.
Hendaknya orang yang mentalqin adalah orang yang dikenal kebaikannya dan dikenal baik oleh orang yang sedang sekarat, bukan orang yang tidak berpotensi dituduh oleh pasien, seperti ahli warisnya, musuh atau orang yang hasud terhadapnya. Tapi kalau tidak ada selain mereka, maka dicari orang yang dikenal paling sayang dengannya.
Talqin lebih diutamakan dibanding menghadapkan ke arah kiblat, karena dalilnya lebih kuat dan fungsinya lebih penting. Jika keduanya dapat diusahakan, itu lebih baik. Jika tidak, maka talqin didahulukan dibanding menghadapkan ke arah kiblat.
- Disunahkan membacakan surat Yasin di sisi orang yang sedang sekarat. Berdasarkan hadits Rasulullah saw,
أَقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس
“Bacakan (surat) Yasin terhadap orang yang sedang sekarat di antara kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
Sebagian kalangan tabi’in ada yang menyunahkan pula membaca surat Ar-Ra’d.
- Hendaknya diingatkan dengan lembut kepada orang yang sekarat agar dia lebih banyak berbaik sangka kepada Allah Taala.
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاَللَّهِ تَعَالَى
“Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali dia berbaik sangka kepada Allah Taala.” (HR. Muslim)
Maksudnya berbaik sangka bahwa Allah akan merahmati dan mengampuninya sebagaimana yang dijanjikan kepada orang-orang beriman. Adapun saat sehat, maka hendaknya sikap seorang mukmin berimbang antara roja’ (harap) dan khauf (takut).
Juga berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits qudsi, Allah Taala berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Aku tergantung persangkaana hambaKu kepadaKu.” (Muttafaq alaih)
- Hendaknya disampaikan juga kebaikan-kebaikannya dan harapan-harapan kebaikan yang akan dia dapatkan dari kebaikannya.
Karena itu, disunahkan bagi yang mendampinginya untuk menyampaikan ayat-ayat atau hadits yang dapat mendatangkan harapan, sehingga terbit dalam dirinya harapan yang besar akan rahmat dan ampunan Allah serta menghindar dari sikap putus asa.
Referensi:
- Syarhul Wajiz
- Al-Hawi Al-Kabir, 3/4
- Al-Majmu Syarah Al-Muhazzab
- Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarhil Minhaj
- Raudhatut-Thalibin
- Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarhil Minhaj, 8/29