1. Di beberapa group, tak sedikit teman yang berbeda keyakinan bertanya-tanya tentang sekian postingan saya terkait doa dan corona. Apakah doa saja cukup untuk mengatasi Corona? Bukankah itu bukti bahwa agama tidak kompatibel dengan science?
2. Sebenarnya saya ingin menjawab tegas: “Cukup!”. Jika Allâh Ta’âlâ berkehendak meng-ijabahi doa tersebut, maka itu lebih dari cukup. Karena tiada sesuatu yang terjadi di semesta ini, kecuali atas izin-Nya (QS. At-Taghâbun: 11). Setidaknya itu keyakinan saya. Tapi tentu tidak akan memuaskan mereka. Namanya juga beda keyakinan.
3. Doa adalah ranah teologis. Bagian dari keimanan seseorang, yang siapa pun tidak berhak untuk mencibirnya. Meminjam istilah Al-Qur’an dalam Al-Kahfi ayat 29, “Faman syâ-a fal-yu’min waman syâ-a fal yakfur” (Siapa yang mau percaya silakan, yang mau ingkar juga terserah). Biar waktu nanti yang membuktikan kebenarannya. Baik tersegera di dunia, atau tertunda nanti di akherat sana.
4. Apakah Doa pasti terkabul? Belum tentu. Syarat dan ketentuan berlaku. Merupakan hak prerogatif Allâh Ta’âlâ untuk mengabulkan atau tidak. Tetapi sebagaimana pemaparan Ibnul Qoyyim, bahwa doa seorang hamba yang tulus pasti akan bermuara pada: pengabulan seketika, atau pengabulan tertunda, atau diganti dengan yang lebih baik, atau menjadi tabungan untuk kelak dinikmati di akherat.
5. Tanpa berpikir pengabulan pun, bagi kami doa sendiri adalah ibadah. Bahkan inti ibadah. Jelas berpahala. Karena ia mengandung setidaknya empat unsur penghambaan: Tauhîd (pengesaan), Tawakkal (kepasrahan), Rojaa’ (pengharapan) dan Tawâdhu’ (rendah diri). Kata ‘Umar bin Khathâb, “Yang menjadi obsesiku bukan pengabulan doa, tapi keistiqomahan untuk terus meminta kepada-Nya” (Al-Iqtidhâ’: 2/706).
6. Secara kejiwaan, doa – yang terkandung di dalamnya komunikasi spiritual dan curahan hati – mempunyai efek yang dahsyat untuk menenangkan hati dan menangkal rasa panik, cemas, resah dan ketakutan yang berlebihan. Kondisi mental seperti ini tentu sangat berpengaruh pada imunitas atau daya tahan tubuh dalam menghadapi serangan penyakit. Riset selama 20 tahun di Carnegie University dan Ohio University telah mengkonfirmasi hal itu.
7. Apalagi dalam Islam, doa tidak menafikkan usaha, dan tawakkal tidak menihilkan ikhtiar. Karena kedua sisi itu hakikatnya adalah dua kewajiban yang berbeda. Dalam Al-Qur’ân telah ditegaskan, “Sesungguhnya Allâh tidak akan mengubah keadaan sebuah kaum, hingga mereka berusaha mengubah diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11).
8. Perintah untuk berusaha menghadirkan sebab (Al-Akhdzu bil Asbâb) dalam menghadapi wabah, terwujud dengan seruan “Hajr” dari Rasulullah: “Jika kalian mendengar ada wabah di suatu wilayah, maka janganlah memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kalian berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR. Bukhâri). Itu 1400 tahun yang lalu, sebelum umat manusia sekarang mengenal istilah: Karantina, Isolasi, Social Distancing, dan Lockdown.
9. Hadits-hadits terkait dengan hal itu juga banyak, seperti larangan berinteraksi dan sering melihat ke orang yang sedang terkena wabah penyakit (HR. Bukhâri) dan larangan mencampurkan antara yang sehat dan yang sakit (HR. Muslim).
10. Saat banyak negara masih terlelap, jauh-jauh hari Al-Harâmain Asy-Syarîfain sebagai pusat Dunia Islam, telah memberi contoh kesigapan dalam menghadapi Corona. Diantaranya dengan menutup Umroh dari dalam dan luar negeri, membatasi waktu buka, larangan membawa anak kecil, mempersering pembersihan dengan disinfectant, membuat jarak yang lebih jauh antara shaf depan dan belakang, mengganti galon air zam-zam dengan layanan keliling, dan memutus akses ke titik-titik kerumunan seperti: Ka’bah, Mas’â, Raudhah dan Makam Rasulullah.
11. Itu belum termasuk anjuran pola hidup bersih dan sehat, semisal: mandi besar minimal sepekan sekali, berwudhu minimal sehari lima kali, makan yang halal dan thayyib, tidur malam lebih awal, memotong kuku, menutup mulut ketika menguap dan lainnya. Dimana syariat-syariat itu telah menunjukkan hikmahnya dan terbukti punya kontribusi positif dalam pencegahan wabah penyakit.
12. Berbagai kaidah dalam hukum Islam pun memberi solusi dan kelonggaran beragama dalam kondisi seperti sekarang ini, seperti: “Al-Masyyaqqah tajlibut taisîr” (Kesulitan menghasilkan pemudahan), “Lâ dharara walâ dhirâr” (Larangan membahayakan diri dan orang lain), “Dar-ul mafâsid muqoddam ‘alâ jalbil mashâlih” (Mencegah kerusakan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan), “Taqdîmul mashlahah al-‘âmmah ‘alal mashlahah al-khâsshah” (Mendahulukan kemaslahatan umum di atas kemaslahatan pribadi), “Yutahammalu adh-dharar al-khâsh lidaf’i adh-dharar al-‘âm” (Menanggung bahaya yang bersifat khusus demi mencegah bahaya yang bersifat umum).
13. Adapun untuk menangani wabah secara lebih detail – yang dari zaman ke zaman selalu muncul varian atau mutan baru – secara umum Al-Qur’ân telah men-stimulasi umatnya untuk terus berpikir, mendalami, dan melakukan riset, dengan berbagai diksi seperti: “Afalâ ta’qilûn“, “Afalâ tubshirûn“, atau “Afalâ tatafakkarûn“. Selagi tidak melanggar batasan halâl-harâm, maka itu termasuk dalam kategori “Antum a’lamu bi umûri dunyâkum” (kalian lebih paham dengan urusan dunia kalian) (HR. Ibnu Hibbân).
Jadi plizz dech, jangan ada lagi yang nyinyirin seruan doa ya, apalagi menuduh kaum beragama tak berdaya menjawab kegentingan Corona. Orang yang gagap si dia, kenapa yang jadi kambing hitam kita? 🙂
(Manhajuna/IAN)