Oleh: Syekh Muhammad Abdul Karim Asy-Syaikh
Alih Bahasa: Kang Aher
Di antara kisah yang paling mengusik pikiranku ketika aku membaca Al-Quran adalah kisah Nabi Yahya alaihis salam. Seorang nabi yang masih muda. Allah menganugerahkannya kepada kedua orang tuanya saat mereka sudah lanjut usia. Dan Allah sendiri yang memberikan nama padanya. Allah pilihkan nama untuknya yang belum pernah dipakai oleh seorang pun sebelumnya. Allah ciptakan Yahya untuk kedua orang tuanya dengan pengawasan dari-Nya. Ia menjadi tanda kekuasaan Allah dalam hal penciptaan dan dalam hal agama. Allah menganugerahkan kenabian kepadanya.
Namun di usia yang masih muda itu beliau dipenggal lehernya oleh raja yang biadab nan jahat. Kepala beliau yang mulia itu dipersembahkan sebagai mas kawin oleh raja untuk menikahi seorang wanita lacur.
Bergejolaklah pikiran dalam benakku. Bukankah bumi dan manusia yang menghuninya lebih membutuhkan seorang nabi yang mulia ini ketimbang raja biadab dan para pengikutnya?!
Bukankah Allah memilihkan nama “Yahya” untuknya yang bermakna “hidup”?
Bukankah Yahya itu jauh lebih mulia di hadapan Allah ketimbang dijadikan sebagai barang murahan yang penggalan kepalanya dijadikan sebagai bahan mainan oleh seorang raja yang lalim atau digunakan oleh raja yang zalim?
Bukankah Yahya adalah seorang panutan dan berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu), berakhlak mulia serta dicintai oleh semua manusia karena wajahnya yang tampan dan sifatnya yang menawan? Kenapa ia harus mati mengenaskan, padahal ia adalah seorang nabi yang baru berusia tiga puluhan tahun namun memiliki kedudukan yang agung?
Akhirnya dalam perenumganku terhadap ayat-ayat Al-Quran, pelajaran dari riwayat hidup serta keelokan Sunnah, maka saya baru menemukan jawaban yang menenangkan hatiku dan mengobati gejolak jiwaku.
Saya temukan bahwa yang terpenting di sisi Allah bukanlah wajah Yahya yang tampan dan juga bukan kepala beliau yang mulia. Akan tetapi yang terpenting di mata Allah adalah penegakan hujjah dan penunaian amanah. Dan ini sudah beliau laksanakan. Sesudah itu, surga lebih layak dengan usia mudanya. Para penghuni surga lebih layak untuk berdampingan dengannya.
Baru aku sadari bahwa manusia yang miskin itu akan mematikan lentera dengan tangannya melalui raja-rajanya yang zalim atau melalui para rakyatnya yang berkhianat. Saya sadari bahwa tetap teguh di atas prinsip itu lebih utama di sisi Allah ketimbang kelangsungan hidup seorang nabi di muka bumi. Termasuk kelangsungan hidup seorang nabi bernama Yahya yang tampan.
Saya baru sadar bahwa kemenangan aqidah dan para pemilik aqidah ini adalah kemenangan yang hakiki, meskipun hal itu harus dibayar dengan kematian seribu nabi. Apa nilai dari kelangsungan hidup salah seorang di antara kita di dunia ini dibanding dengan agamanya? Pembunuhan terhadap Yahya, Zakariya, Ashabul Uhdud serta ribuan lebih hamba lainnya, tidak lain merupakan misi bagi penegakan aqidah tersebut.
Saya kemudian sadar bahwa ribuan pemimpin yang lalim dan melampaui batas semisal mereka yang membunuh Yahya, akhirnya musnah binasa dan tak lagi disebut namanya. Sementara itu hamba yang dibunuh karena menegakkan kebenaran itu namanya diabadikan oleh Allah di tengah para makhluk.
Seakan, melalui kisah kehidupan Yahya ini, Allah hendak berkata kepadamu: “Katakan yang benar dan tetap teguhlah di atasnya! Jangan pernah merasa lemah dalam menegakkan kebenaran. Meski engkau akhirnya dibunuh oleh manusia-manusia tak berharga. Tidaklah Aku ciptakan dirimu kecuali memang untuk itu. Adapun sesudah itu, dunia akan ditinggalkan.”
Orang-orang yang bekerja untuk mengarahkan umat manusia kepada Allah, yaitu para nabi, para ulama, para dai dan setiap muslim yang menunaikan kewajiban dakwah, serta orang-orang yang menilai murah kehidupan mereka untuk dipersembahkan kepada Rabb mereka, maka mereka itu akan hidup di dunia ini dalam waktu singkat saja pada galibnya. Sebab, kebathilan tidak akan sanggup bertahan dengan keberadaan mereka.
Sedangkan kehidupan mereka yang panjang adalah di surga sana. Bahkan di surga Firdaus yang tertinggi bersama para hamba Allah lainnya yang telah mendahului dirinya dan telah melakukan hal serupa. Yaitu terus berdakwah dan tetap teguh di jalan kebenaran.
Oleh karena itulah pemuda Ashabul Uhdud dapat menghinakan raja yang membunuhnya karena ia menganggap bahwa kematian itu bukan akhir dari segalanya. Demikian juga Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin Adi membuat marah pembunuh mereka di Mekah karena menganggap remeh sebuah kematian, padahal mereka sudah berada pada posisi tinggal dipenggal setelah sebelumnya disalib.
Andaikan yang menjadi tujuan adalah kelangsungan hidup orang-orang melakukan perbaikan, tentu Allah tidak mengizinkan pembunuhan terhadap Nabi Yahya sedemikian rupa. Namun yang menjadi tujuan adalah kelangsungan hidup agama-Nya, meski kita semua binasa karenanya.
Manusia yang melakukan perbaikan itu nilainya di sana, bukan di sini, di dunia ini. Tempat ruhnya di dunia yang fana ini pendek masanya. Oleh karena itu hendaklah ia selalu memperbaiki amalnya dan tetap teguh di atas agamanya. Kemudian hendaklah ia menyerahkan segala urusan kepada Rabbnya, yang berhak mengatur segalanya. Jika Dia menghendaki, terserah jika Dia mau cabut nyawanya, atau Dia beri kesempatan hidup lebih lama. Yang penting adalah kelangsungan agama, sekalipun ia harus mati seribu kali demi agama.
Adapun para pemimpin dan penguasa yang lalim, maka kematian mereka begitu lemahnya, seribu kali tak berarti dibanding ketinggian orang-orang yang beriman. Lebih keras bagi jiwa mereka ketimbang seribu kali tusukan pisau tajam.
Demikianlah pelajaran yang dapat kita petik dari kisah Nabi Yahya bin Zakaria alaihimas salam.
(Manhajuna/IAN)