Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Husnul Khatimah
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Husnul Khatimah

Oleh: Isra’ Athif
Alih bahasa: Muthahhir Arif

Seorang syekh mengundang kami untuk hadir. Lalu meminta kami menceritakan kisah terindah yang pernah kami dengar tentang Husnul Khatimah.

Mayoritas dari kami terdiam. Kecuali beberapa saat kemudian dua orang pria di antara kami mengacungkan tangannya. Bersedia untuk bercerita. Keduanya tersenyum.

Selang beberapa menit syekh meminta salah satu dari keduanya untuk berdiri di depan untuk bercerita.

Ia maju ke depan. Tersenyum. Senyumnya panjang. Menunjukkan kalau ia sangat bahagia.

Ia pun mulai bercerita:

“Yang mau aku ceritakan di sini adalah tentang saudara kandungku sendiri. Ia tak seperti kebanyakan kita. Saudaraku ini sangat mengagumkan. Saking mulianya, sampai-sampai Surgalah yang merindukannya.
Ia banyak melakukan shalat. Pernah ia dipanggil oleh ibuku. Namun adzan shalat sudah berkumandang. Ia menjawab ibu dengan takzim: “Maaf, Bu, (panggilan) Tuhan kita dulu, baru kemudian engkau wahai ibuku.”

Tak lupa ia menyetir ayat :

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan sembahlah Tuhan kalian dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”

“Allah yang pertama. Kemudian engkau wahai ibu surga dunia.” Lanjutnya.

Pernah aku bangun untuk shalat shubuh. Aku mendapatinya sedang duduk di depan mushaf. Ia membaca Al-Quran.

Sering pula aku mendapatinya saat ia sedang shalat atau pun membaca Al-Qur’an.

Suatu hari di bulan Ramadhan. Sebelum adzan Maghrib beberapa jam. Ia memberitahuku bahwa dirinya mencium bau yang sangat wangi. Saat itu ia sedang duduk menyimak suara tilawah Al-Qur’an. Aku memberi tahu kalau bau wangi itu mungkin saja bersumber dari pakaian yang aku pakai ke masjid.

Ia menjawab dengan cepat: “Aku mencium wangi Surga Firdaus, saudaraku”.

Aku pun tersenyum lalu menepuk pundaknya. Sambil berdoa “Semoga Allah menyampaikan kita kepadanya (Surga Firdaus).”

Ia berdiri untuk berwudhu. Lalu datang duduk di sampingku. Menyandarkan kepalanya di pundakku. Beberapa lama ia melakukan itu padaku. Hingga kemudian bangkit untuk membaca Al-Qur’an di kamarnya.

Dua jam kemudian aku masuk kamarnya. Untuk memintanya bersiap karena adzan Maghrib sebentar lagi berkumandang. Aku mendapati dirinya sedang sujud. Sambil memegang mushaf di tangannya.

Aku keluar karena tak mau mengganggunya.
Saat kembali. Posisinya tak berubah. Aku pun duduk di sudut kamarnya. Saat itu aku mencium bau harum semerbak memenuhi kamar. Membuat hatiku bergetar bahagia.

Beberapa menit yang panjang berlalu. Saudaraku tidak bergerak dari posisinya. Aku pun mencoba menggerakkannya. Ternyata … aku mendapatinya telah wafat… telah kembali ke sisi Rabb-nya.

Ia condong sebagaimana condongnya hati. Di mana kematian yang indah menyambutnya.

Ia sedang puasa, sedang sujud, sedang shalat, membaca Al-Qur’an, saat kematiannya datang.

???

Kemudian tiba giliran orang kedua untuk berdiri bercerita.

Ia mulai bercerita: “Yang aku mau kisahkan kepada kalian ialah tentang kekasih jiwaku, ibuku…

Beliau adalah orang yang telah bersabar menderita penyakit selama 17 tahun. Tak pernah mengeluh sama sekali. Bahkan ia pernah berkata kepadaku “Yang menciptakanku tidak akan membahayakanku atau membuatku merasa sakit”.

Beliau tak pernah menjawab pertanyaan orang lain kecuali orang itu jatuh hati dan simpati pada jawabannya.

Beberapa bulan sebelum beliau wafat. Beliau memintaku mendatangkan seorang pemudi ‘muhaffizhah’ untuk membimbingnya menghafal Al-Qur’an.

Ibuku buta matanya. Buta karena penyakit.

Mulailah ibuku menghafal dengan mendengarkan tilawah Syekh Al-Minsyawi lalu mengulang-ulangi dan mengikuti bacaannya.

Suatu hari beliau bertanya padaku: “Wahai Muhammad, apakah Allah akan menghisabku atas nikmat pendengaran dan penglihatan yang tak aku gunakan untuk menghafal Al-Qur’an??”

“Sekarang, penglihatanku telah hilang. Aku mulai kesulitan untuk menghafal. Padahal aku takut mati sebelum mendapatkan cahaya yang bisa menemaniku di alam kubur, wahai anakku.”
Lanjutnya lagi.

Jadilah Al-Qur’an sebagai hidupnya. Sering aku terbangun, mendapatinya sedang mendengar tilawah Syekh Al-Minsyawi dan ikut mengulang-ulangi bacaan syekh.

Ibuku selalu menasihatiku dengan hadits Nabi SAW:

ما لي وما للدنيا؟ ما أنا في الدنيا إلا كراكب استظل تحت شجرة ثم راح وتركها”

“Apa urusanku dengan dunia ini?! Tidaklah aku di dunia ini kecuali seorang musafir yang singgah berteduh di bawah sebuah pohon lalu pergi melanjutkan perjalanan”.

“Apa urusanku dengan semua dunia fana ini?
Dunia ini sementara, Surgalah tempat tinggal yang abadi!. Wahai anakku, yang aku inginkan hanyalah agar saat kematian mendatangiku di waktu yang sekiranya bisa aku yang memilihnya.” Lanjut nasihatnya.

Suatu waktu ia ingin sekali menyentuh mushaf Al-Qur’an. Aku datangkan untuknya. Lalu aku meletakkan kepalaku di atas pangkuannya untuk berbincang dengannya. Sementara ia sibuk mendengarkan Al-Qur’an. Sambil memegang mushaf. Memainkan jari jemarinya di antara lembaran-lembaran mushaf, mencium bau mushaf sambil membolak-balik lembarannya.

Aku tak merasakan apa-apa kecuali tetesan air mata yang tumpah di wajahku. Dan pula suara ibuku yang sedang mengulang-ulangi bacaan syekh. Aku bertanya .. namun beliau tak menjawabku. Aku mengangkat kepalaku. Beliau tersenyum indah. Dan air matanya mengalir.

Saat itu .. beliau meninggal dunia..  Saat beliau sedang mendekap Al-Qur’an. Dan wajahnya seperti purnama. Badannya pun sangat wangi.

Beliau nampak bercahaya, indah sekali! Seakan-akan aku ingin membiarkannya terus dengan posisi demikian, agar bisa melihatnya seperti itu selamanya.

???

Syekh terhenyak dengan kedua kisah tadi.
Lalu kemudian berkata:

“Wahai saudara-saudaraku tercinta lagi mulia. Hendaklah kalian memperhatikan Al-Qur’an. Bacalah dan hafalkanlah Al-Qur’an!Tidak ada orang yang bersahabat dengan Al-Qir’an kecuali Allah memuliakannya saat meninggal dunia!!! Akhir hidupnya adalah wangi semerbak (Kesturi). Ayo segera Hafal Al-Qur’an sebelum kalian wafat.”

“Jika kalian belum selesai menghafalnya tapi Allah mewafatkan kalian, Allah akan mencatat kalian telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an!. Bukan yang terpenting mengkhatamkannya. Tapi yang terpenting adalah kalian tidak pernah menyia-nyiakan nikmat pendengaran dan penglihatan yang Allah muliakan kalian dengan keduanya kecuali menikmati Al-Qur’an.” Lanjutnya lagi.

“Ketahuilah. Kalian tak akan selamat kecuali dengan amalan-amalan rahasia. Dan yang paling agung di antaranya adalah duduk bersama Al-Qur’an, Kalamullah, menghibur diri dengan Allah. Inilah Al-Qur’an, yang menjadikan generasi sahabat yang mulia RA, sebagai generasi terbaik. Al-Qur’an mampu membuatkan untukmu jalan di dunia untuk merasakan kebahagiaan hidup dan ketenteraman jiwa. Dan jalan lain yang lebih agung yaitu jalan menuju Surga. Bahkan Al-Qur’an jalan menuju Surga Firdaus yang paling tinggi.” Demikian nasehat beliau.

(Manhajuna/IAN)

(Visited 124 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

ETIKA MENDENGAR, KAEDAH ‘8-M’ (Tafsir Qurtubi 11/176)

Bersama Buya (Dr.) Ahmad Asri Lubis (غفر الله له ولوالديه وللمؤنين). Menurut Imam Qurtubi, Ibnu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *