Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Kajian / Aku Tak Seperti Yang Engkau Sangka
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Aku Tak Seperti Yang Engkau Sangka

Oleh: Ust. Abu Ja’far, Lc.

مَا أَنَا بِخَيْرِ النَّاسِ وَلاَ ابْنِ خَيْرِ النَّاسِ, وَلَكِنِّيْ عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ. أَرْجُو اللَّهَ تَعَالَى وَأَخَافُهُ. وَاللَّهِ, لَنْ تَزَالُوا بِالرَّجُلِ حَتَّى تُهْلِكُوْهُ.

“Aku bukanlah orang terbaik dari manusia dan bukan pula putera manusia terbaik. Tetapi aku hanyalah hamba Allah swt, yang mengharap kucuran rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya. Demi Allah, tidaklah kalian terus menerus menyanjung seseorang sehingga kalian membinasakannya.” (Ucapan Abdullah bin Umar terhadap orang yang melayangkan pujian terhadapnya).

Saudaraku,
Jika kita memiliki prestasi gemilang di hadapan manusia atau kelebihan dan keunggulan lain di mata mereka. Baik itu di bidang ubudiyah, ilmu pengetahuan, kelebihan fisik, ketajaman akal pikiran, kemudahan dalam usaha dan bisnis, kecemerlangan dalam meniti karir, kelancaran dalam komunikasi dan yang seirama dengan itu.

Maka pada saat itu, pujilah Allah swt dan agungkan Dia dan kembalikan segala kemudahan, keluasan dan berbagai warna anugerah kepada-Nya. Jangan kita biarkan setan memperdaya kita lewat lisan orang-orang di sekitar kita. Dengan pujian, sanjungan, dan julukan menggiurkan yang dialamatkan kepada kita.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.” An Nashr: 1-3.

Berwawasan luas. Piawi dalam berkomunikasi. Simple dalam pergaulan. Tawadhu’ dalam keluasan ilmu. Ringan tangan membantu beban orang lain. Panutan dalam ibadah. Penampilannya cool banget. Jago dalam berorganisasi. Perhatian dengan keluarga. Menyentuh hati saat membaca al Qur’an. Indah dalam berperilaku. Prestasi membanggakan di dunia pendidikan. Pedagang yang jujur dan amanah. Pejabat yang merakyat. Orang kaya yang membumi.

Siswa teladan, mahasiswa berprestasi, anak cerdas dan santun, karyawan rendah hati, ulama panutan, ustadz favorit, pemain terbaik, mertua pilihan, orang tua kebanggaan, menantu idola, Yusuf-nya zaman ini, pegawai professional, pengusaha sukses, petani unggulan dan seterusnya.

Itu sekadar contoh dari pujian, sanjungan dan gelar yang mungkin pernah orang sematkan kepada kita. Yang apabila kita salah dalam mensikapinya, akan menjadi bencana bagi kita. Di dunia kini. Terlebih di akherat sana. Dan sejarah telah mencatat, bahwa tidak sedikit orang yang terpuruk dengan segudang prestasi yang pernah diraihnya lantaran terlena dengan pujian dan julukan baik yang disematkan orang kepadanya.

Saudaraku,
Nafi’ pernah menceritakan bahwa ada seseorang datang menemui Ibnu Umar ra seraya berkata, “Ya khairannas wa ya ibna khairinnas”, wahai manusia terbaik dan putera manusia terbaik.”

Ibnu Umar berkata:
“Aku bukanlah orang terbaik dari manusia dan bukan pula putera manusia terbaik. Tetapi aku hanyalah salah seorang dari hamba Allah swt, yang mengharap kucuran rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya. Demi Allah, tidaklah kalian terus menerus menyanjung seseorang sehingga kalian membinasakannya.”

Saudaraku,
Sungguh kita telah terpedaya, jika kita terlena dengan pujian dan sanjungan dari manusia. Yang lebih buruk dari itu jika kita justru menikmati pujian dan sanjungan mereka. Di mana kita beribadah, beraktifitas, belajar, berjuang, bekerja dan beramal baik, hanya untuk mendapat pujian, sanjungan, mendapat tempat dan meraih penghargaan dari manusia serta ingin menjadi orang yang terkenal dan memburu popularitas semu. Wal ‘iyadzubillah.

Saudaraku,
Rasulullah saw mengajari kita do’a, saat kita mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain:

اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ، وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ

“Ya Allah, janganlah Engkau hukum diriku karena apa yang mereka katakan, ampunilah aku terhadap apa yang tidak mereka ketahui (tentang diriku), dan jadikanlah diriku lebih baik daripada apa yang mereka kira.” H.R; Bukhari dalam kitab Al adabul mufrad.

Sedangkan dalam riwayat Baihaqi, disebutkan:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari sangkaan mereka, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui tentang diriku, dan janganlah Engkau hukum diriku karena apa yang mereka katakan.”

Saudaraku,
Dari ucapan Nabi saw di atas, kita dapat mengambil tiga rumusan penting, saat kita mendapat pujian dari orang lain.

• Waspada dengan pujian dan sanjungan orang yang dilontarkan untuk kita. Jangan sampai membuat kita terbuai, terlena, terperosok, apatah lagi sampai lupa diri dan hilang control. Kaidah ini diambil dari ucapan beliau, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum diriku karena apa yang mereka katakana itu.”

• Kita sadar bahwa pujian pada hakikatnya sekadar sebagai tirai penutup dari sisi gelap kehidupan kita yang tidak diketahui orang lain. Karena setiap kita pasti memiliki sisi gelap. Yang mungkin luput dari pandangan manusia. Untuk itu kita memperbanyak istighfar, memohon ampunan dan kemaafan dari-Nya. “Ampunilah aku terhadap apa yang tidak mereka ketahui (tentang diriku).”

• Kita lantunkan do’a dan harapan agar kita menjadi lebih baik dari sangkaan manusia. Tentunya dibarengi dengan ikhtiyar maksimal dan berada di puncak kesungguhan. Artinya kita memiliki amal-amal rahasia yang tak diketahui, kecuali oleh kita sendiri dan Zat Yang Maha Mengetahui. “Dan jadikanlah diriku lebih baik daripada apa yang mereka kira.”

• Kita tak perlu sungkan untuk mengingatkan orang yang biasa memuji kebaikan kita di hadapan kita. Sebab hal itu merupakan awal dari kebinasaan kita dan juga dirinya sendiri. Seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Umar kepada kita. Setelah ia dipuji setinggi langit, dia justru menyadarkan orang yang memujinya perihal hakikat dirinya sebagai seorang abdi Allah. Yang berusaha untuk selalu mendapat kucuran rahmat dan menghadirkan neraka di depan mata.

Saudaraku,
Setelah kita berupaya menyelamatkan diri kita dari kemilaunya pujian dan sanjungan. Maka kitapun harus berupaya melindungi orang lain dari segala warna kebinasaan. Sebab pujian kita terhadap orang lain dapat menghapuskan amal shalih dan kebaikannya.

Nabi saw pernah bersabda kepada orang yang memberikan pujian di hadapan orang lain, “Engkau telah memenggal leher saudaramu.” (Muttafaq alaih)

Maksudnya dengan pujian itu, ia telah menghanguskan kebaikan dan memakan amal shalih saudaranya itu.

Ada beberapa kaidah dalam memberi pujian terhadap orang lain, yang semestinya kita pelihara dengan baik.

• Kita boleh memberikan pujian terhadap seseorang, tapi tidak langsung di hadapannya. Melainkan di hadapan orang lain. Dengan tujuan untuk memotivasi mereka. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya kepada Nabi saw tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi saw memujinya di hadapan para sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah orang (Badui) tadi.”

• Pujian kita terhadap orang lain, kita salurkan lewat do’a. Saat Nabi saw melihat ketekunan Abu Hurairah ra dalam meriwayatkan hadits, maka beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra dikaruniai kemampuan menghafal dan agar tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah swt. Sehingga jadilah Abu Hurairah ra sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi saw.

• Jika terpaksa kita memberikan pujian di hadapan orang secara langsung, maka pujilah ia seperti fakta yang ada di alam realita. Tanpa harus ditambahi dengan gula, garam dan penyedap rasa. Artinya tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas.

Saudaraku,
Mari kita terus berbenah dan mengadakan perbaikan diri. Tanpa menghiraukan pujian orang lain terhadap kita.

Demikian pula, jangan sampai kita berperan aktif dalam mengikis pahala orang lain dengan memberikan pujian terhadapnya. Yang membuatnya Ge-er dan terpesona dengan kebaikan dan keunggulan diri sendiri. Wallahu a’lam bishawab.

(AFS/Manhajuna)

(Visited 2.457 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Tahun Baru = Jatah Usia Kita Semakin Berkurang

Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc » يا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ ، وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *