Oleh : Dewi Nur Aisyah
Seringkali kumenatap hangat wajah anakku yang tengah tertidur lelap di malam gelap, sembari terbersit doa agar Allah menjaganya senantiasa. Jika teringat perjuangan masa kehamilan, melahirkan hingga membesarkan buah hati di tengah kesibukan kerja dan studi, tak henti lisan ini berucap hamdalah atas izin Sang Maha Pemberi. Kutuliskan notes ini untuk setiap ibu, yang di dalam letih kesehariannya masih terbersit asa untuk menuntut ilmu, yang dalam penat lelahnya masih berupaya keras untuk mengikuti kajian atau sekedar membaca buku, dan untuk mereka yang tengah berusaha keras menimba ilmu di sekolah-sekolah bermutu.
Aku adalah istri dari seorang imam yang selalu mendukung apapun pilihanku, menyediakan pundak untuk berbagi keluh, memberi semangat saat terjatuh. Aku adalah seorang ibu muda dari anak perempuan shalihah berusia 2 tahun, yang sejak dalam kandungan terus mengikuti gerak aktif segala aktivitasku, yg dalam kandungan tak henti ikut letih bergadang mengerjakan thesisku, yg saat usianya 5 bulan dlm kandungan ikut menemani diri sidang viva demi mendapat gelar MSc, yg pd tahun-tahun pertamanya rela ikut terbang kemana saja menemani kerja dan riset sang bunda, yg saat ini rela waktu bersama bundanya terbagi karena sang bunda sedang menimba ilmu kembali sebagai calon PhD.
Flashback 3.5 years ago…
Masih teringat perjalanan hidup berumahtangga kami dahulu, diawali dengan sebuah pernikahan di bulan Mei 2011, berlanjut pada kisahku menuntut ilmu di Imperial College London September 2011, hanya berselang 4 bulan dari usia pernikahan kami. Di tengah studi, kami rutin menghadiri pengajian-pengajian Indonesia, mengisi pesantren kilat dan acara tahunan KIBAR, kegiatan PPI, bahkan konferensi tingkat internasional. Hingga tak terasa, Allah menitipkan janin di dalam rahimku yang bahkan baru aku sadari saat usianya sudah menginjak 8 minggu. Menjalani full time study berarti menghabiskan 5 hari dalam 1 minggu untuk belajar di kampus, berangkat sejak pukul 07.00 dan baru kembali ke rumah pukul 18.00. Demikianlah janin dalam rahimku mengikuti perkuliahan ku. Hingga akhirnya masa-masa submit disertasi pun datang, dan terpaksa ku lalui malam-malam lelah dgn bergadang hingga pukul 8 pagi, masih dgn bayi dlm rahim menemani. Di bulan September, saat perutku terus membesar dan janin dalam kandungan terus tumbuh, iapun menemani saat diri harus presentasi di hadapan internal dan external examiner, mempertanggungjawabkan penelitian yang sudah ku tulis. Hingga akhirnya di bulan Januari 2013, di tengah putihnya salju yg turun, engkaupun terlahir di dunia, untuk pertama kalinya dapat menatap ayah dan bunda.
Ternyata perjuangan menjadi seorang ibu tidak berhenti disitu. Saat aku sudah harus kembali mulai bekerja di Indonesia saat usianya yg ke 3 bulan. Tak bosan setiap hari membawa breastpump demi ASIX (ASI eksklusif) yang mencukupi. Botol-botol stok ASIP pun tidak ketinggalan menemani. Tidak pernah bosan melewati waktu malam sebagai quality time bermain bersama anak dan weekend untuk jalan-jalan. Mengajarinya kata, menumbuhkan iman, memelihara akhlaq dalam semaian kasih dan cinta. Lalu saat usianya yg ke 7 bulan, aku dengan ikhlas harus merelakan kepergian sang suami untuk menuntut ilmu kembali di Newcastle University, yang berarti, tanggung jawab terbesar mengurus dan membesarkan anak saat ini berada dalam pundak satu orang.
Ternyata menjadi seorang Program Development Manager dan researcher membuat diri ini harus pergi ke luar kota bahkan negara. Sebisa mungkin pulang pergi ke luar kota hanya dalam satu hari agar dapat kembali pulang dan tidur bersama sang buah hati. Sebutlah PP ke Bali dan Medan dalam satu hari menjadi hal yang biasa, meniatkan diri berangkat sejak pukul 02.00 dini hari dan kembali ke rumah pukul 22.00 malam. Jika perjalanan tugas tidak mungkin dilaksanakan dalam satu hari, akhirnya kami memutuskan bahwa aku akan membawa anak kami kemanapun aku bertugas, dengan konsekuensi biaya pesawat dan perjalanan orang tua menjadi pengeluaran ekstra kami. Jadilah ia sebagai baby traveler yg di usia 2 tahunnya sudah pernah menginjakkan kaki di Pulau Belitung, Duri, Dumai, Pekanbaru, Kebumen, Jogja, Solo, Makassar, Thailand, Koh Chang, Vietnam, Hanoi, Na Thrang, Singapore, Malaysia, Xiamen, Wuhan, Kunming, dan Ho Chi Minh. Merasakan berjam-jam perjalanan darat, laut dan udara. Bukan pengeluaran yang kecil, management waktu yang mudah diantara padatnya tugas dan turun lapangan, tapi inilah pilihan yang aku ambil, hanya demi melewatkan waktu bersama dengan sang anak. Hanya mengharap keberkahan, agar Allah senantiasa menjaga ikatan antara anak dan bunda, agar ia merasakan perjuangan yg sama, agar ia belajar memahami makna kerja serta memberi manfaat untuk sesama.
Tibalah masa dimana kesempatan studi doktoral kembali terbuka. Masih mengikuti life plan pertama, ku bulatkan tekad untuk melanjutkan sekolah hingga Allah izinkan diri ini memulai studi S3 sejak November 2014 di University College London. Terus ku ingat pesan Nabi dan janji Allah dalam lembaran kitab-Nya yg suci:
“Allah mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu, sedangkan orang-orang yang diberi ilmu (Allah angkat) beberapa derajat.” (Al Mujaadilah 11).
“Barang siapa menempuh jalannya untuk mencari ilmu, maka Allah mempermudah kepadanya jalan ke surga.” (H.R.Muslim)
Menjalani S3 seorang diri relatif lebih mudah karena tidak ada tanggung jawab lain yang harus dipikul, menjalani S3 dengan pasangan menambah tanggung jawab lain karena harus melayani dan meluangkan waktu untuk suami, lalu bagaimana jika menjalani S3 dengan anak? Sudah pasti lebih banyak tanggung jawab yg harus dipikul. Namun ingat, limpahan pahala atas setiap amanah pun datang bersamaan, diiringi dgn posisi spesial dan meningkatnya derajat di sisi-Nya. Jika ada yang menanyakan kenapa lebih memilih menjadi seorang student mom yg pada usia ke 25 nya sudah melanjutkan PhD sembari harus menjaga anak, the answer is simple! Hanya untuk mencari keridhoan-Nya. Jika menuntut ilmu mendatangkan pahala dan menaikkan derajat di sisi-Nya, sedangkan menjadi istri yang melayani suami dan mengurus anak pun mendatangkan pahala, bagaimana dgn yg mengerjakan ketiga-tiganya?
Jika ada yang bertanya bagaimana bisa? Jiddiyah lah jawabannya. Kesungguh-sungguhan dalam merajut ikhtiar dan beramal. Sudah pasti a student mom harus memiliki tenaga esktra, kesabaran dan keikhlasan ekstra, serta kemampuan untuk mengatur waktu dan dirinya agar seimbang senantiasa. Bukankah surga lebih dekat pada mereka yang lebih besar perjuangannya, lebih indah kesabarannya, lebih terjal mendaki perjalanannya. Maka berlombalah kita agar menjadi hamba yang spesial di mata Rabb-Nya, yg bersinar karena iman, yg mulia karena keikhlasan, yg menaiki anak tangga ketaqwaan dengan perjuangan dan kesabaran menghadapi ujian. Sudah pasti di tengah-tengah perjalanan akan hadir begitu banyak rintangan dan tantangan, hanya ketaatan dan ketaqwaan lah yang menjadi sebaik-baik bekal. Semoga pilihan hidup kita mampu mengantarkan diri pada surga-Nya yang didamba. Semoga setiap bulir penat, letih keringat, sedihnya air mata, khusyuknya sujud-sujud panjang meminta, akan menjadi hujjah di hadapan Yang Maha Kuasa. Maka bersemangatlah wahai bunda, karena ilmu-mu akan menjadi pelita, kasihmu menyemai bahagia dalam keluarga, dan perjuanganmu akan berbuah surga, insya Allah…
Terus merenda asa, menggenggam kuat cita.
London, 24 Maret 2015
*Penulis adalah Mahasiswi S3 (Ph D candidate) di University Collage London