Oleh: Ust. Abdullah Haidir
Tabiat manusia itu berkelompok. Orang yang mengaku tidak ingin berkelompok ada dua kemungkinan; Dia keluar dari tabiatnya, atau dia mendustakan kenyataan dirinya. Jangankan manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan bebatuan pun berkelompok….Perhatikan saja.
Jadi, berkelompok itu wajar-wajar saja. Yang tidak wajar adalah berantem semata-mata karena kelompoknya. Ini yang oleh masyarakat arab jahiliyah sering diistilahkan dengan ungkapan
أُنْصُر أَخَاكَ ظَالِماً أَو مَظْلُوماً
“Tolonglah saudaramu, baik dia zalim atau dizalimi.”
Namun kemudian istilah ini diluruskan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman yang benar. Yaitu kita harus menolong saudara kita yang zalim, maksudnya kalau dia berbuat zalim hendaknya dicegah atau dlarang.
Latar belakang kelompok itu macam-macam, ada yang karena kepentingan, suku, daerah, profesi, misi, hobi, afiliasi politik, dll.
Siapa sih orang yang tidak mau berkelompok? kalau normal, pasti ada kelompok yang dia ikuti.
Jadi kalau ada orang yang dengan mudah begitu saja menuduh saudaranya ‘hizbi’ karena suka berkelompok, saya dapat pastikan, tuduhan itu sedikit atau banyak, juga akan kembali kepada dirinya. Bahkan bisa jadi dia lebih inklusif (tertutup) dengan ‘kelompoknya’ dibanding orang-orang yang dia tuduh ‘hizbi’ itu; Sulit bergaul dengan pihak lain, tidak mau dengar pengajian ustaz dari ‘luar kelompoknya’, bahkan sapa dan senyumpun kadang berat dengan orang-orang di luar kelompoknya.
Pada zaman Rasulullah saw, para shahabat juga ada ‘pengelompokkannya’, ada shahabat Al’Asyrah Al-Mubassyiruuna bil jannah, ada shahabat yg disebut Ahlu Badr, ada shahabat yang di sebut Ahlu Bai’atirridwan, bahkan ‘pengelompokan’ shahabat menjadi Muhajirin dan Anshar tidak dihilangkan begitu saja, walau Nabi telah mempersaudarakan mereka satu sama lain.
Bahkan, setelah Rasulullah saw wafat, dari segi alur pemikiran dan interaksi dengan teks wahyu, ada shahabat yang dikelompokkan sebagai ”Madrasah Ahlul hadits’ yg dikenal dengan ‘Madrasah Hijaz’ yang terpusat di Mekah dan Madinah, dan berikutnya melahirkan tokoh tabiin yang menjadi tokoh dalam madrasah ini, dan turunan berikutnya melahirkan mazhab fiqih seperti mazhab Maliki, Syafii dan Hambali. Tokoh shahabat yg dikenal memiliki aliran ini adalah ‘Abdullah bin Umar, Aisyah binti Abu Bakar, dll. Sementara sebagian shahabat lain dikelompokkan sebagai ‘madrasah Ahlulra’yi’ atau dikenal sebagai ‘madrasah ahlul kuufah; berikutnya melahirkan tokoh tabiin dari dengan aliran ini dan berikutnya lagi melahirkan mazhab Hanafi.
Ini artinya, semakin luas dan beragam dinamika kehidupan, semakin besar kemungkinan lahir pengelompokan. Maka, berkelompok, adalah sunatullah yang menyertai perkembangan dan dinamika kehidupan itu sendiri. Apakah kelompokkan itu diberi nama atau tidak, dilegalkan atau tidak, diresmikan atau tidak… akhirnya setiap orang pasti akan bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Bahkan, ketika ada orang mengaku tidak berkelompok, saat itu juga dia telah berkelompok, yaitu kelompok orang-orang yang tidak berkelompok… 🙂
Maka, sesungguhnya yang jadi permasalahan adalah bukan apakah seseorang boleh berkelompok atau tidak, tapi masalahnya adalah, apa, bagaimana dan untuk apa dia berkelompok?
Riyadh, Rabiul Tsani, 1434 H.
(AFS/Manhajuna)