Ghirah atau semangat beragama itu dibutuhkan, tapi tetap harus tetap terkontrol dan terukur agar tdk keluar dari rambu-rambu syariat.
Beberapa sikap yang berangkat dari ghirah beragama terkait wabah corona layak dikritisi, di antaranya;
1- Wabah corona adalah kerjaan illuminati. Kaum muslimin tidak mungkin terkena corona, kalaupun dia terkena pasti ahlul maksiat.
Ini berlebihan. Kita tdk memungkiri ada pihak yg memusuhi Islam. Tapi membuat tuduhan besar seperti ini jelas butuhkan bukti valid. Kalau ternyata landasannya hanya pengakuan jin atau setan, sungguh sangat gegabah. Benar atau tidaknya ada pengakuan tersebut pun masih layak dipastikan lagi. Kalaupun benar ada, jelas tdk dapat dijadikan patokan. Manusia saja susah dipegang omongannya, apalagi jin!
Memastikan bahwa yang tertimpa corona adalah ahli maksiat juga berlebihan, bahkan tuduhan jelek kepada kaum muslimin. Corona adalah penyakit yang Allah takdirkan dengan hukum sebab akibat. Selagi sebabnya ada, maka hukumnya akan berlaku, kepada siapapun.
Kalangan salaf dahulu yang dikenal ketakwaannya, ada yg tertular wabah penyakit menular, bahkan di kalangan sahabat ada yang terkena. Adanya info bahwa corona tidak menimpa muslim Uighur juga tidak benar. Tetap ada yg terkena, walau jumlahnya tidak sebanyak di Wuhan.
2- Kita hanya boleh takut kepada Allah, jangan takut sama penyakit.
Takut kita kepada Allah, tidak harus dibenturkan dengan takut kita kepada perkara-perkara yang dapat membahayakan. Justeru itu yang diajarkan Rasulullah saw agar kita lari dari penyakit menular sebagaimana larinya kita dari singa (HR. Bukhari). Siapakah yang lebih takut kepada Allah dibanding Rasulullah saw?
Ungkapan di atas dapat jadi benar kalau ketakutan kita jadi kepanikan tdk terkendali. Atau membuat kita justru jauh dari Allah.
3- Virus corona adalah virus ahlussunah, karena dapat menghentikan bid’ah bersalaman setelah shalat.
Ini tidak kalah keblingernya. Sebab bisa dibalik, virus corona adalah virus berpaham khawarij, karena dia menyerang seorang menteri yang nota bene ulil amri. Jangan bodoh-bodohi umat dengan pernyataan dungu seperti ini.
4- Jangan tidak ke masjid, shalat jamaah dan jumat itu harus. Justeru kita harus berlindung ke masjid.
Wabah corona ini, bukan lagi masalah lokal, bahkan nasional, bahkan global; pandemi. Maka sikap kitapun khususnya dalam perspektif agama harus merujuk pada figur atau lembaga yang memiliki otoritas kuat. MUI sudah keluarkan fatwanya. Silakan simak baik-baik. Bisa jadi acuan. Dan secara umum lembaga-lembaga fatwa kredibel, baik di Saudi, Mesir atau timur tengah secara umum, atau di Eropa, umumnya sama substansinya dengan fatwa MUI.
Adapun merujuk kepada sumber-sumber yang kadang tidak jelas siapa orangnya, atau argumentasinya lemah, baik dari sisi dalil atau istidlalnya, khususnya jika ingin dibenturkan dengan upaya ikhtiar manusiawi menghadapai virus ini, harusnya dihentikan. Agar masyarakat tidak bimbang. Khususnya jika seseorang memiliki posisi di tengah masyarakat. Kecuali jika tulisan tersebut menguatkan pandangan-pandangan otoritatif tadi. Kalau ikuti perdebatan fiqih tidak akan ada habisnya.
Wallahu a’lam
(Manhajuna/IAN)