Oleh: Kiki Barkiah
Di suatu siang saat makan Ali (11 tahun) berkata:
Ali: “ummi… meski kita sudah hidup sangat sederhana di Amerika, dan uang kita disedekahkan ke sekolah di Indonesia, tp aa masih merasa bersalah kalo makan daging”
Ummi tertawa heran dan bertanya : “kenapa a? Apa karena anak-anak Indonesia banyak yang gak bisa makan daging”
Aa: “iya mi, dulu kita pun lebih sering makan tahu tempe di Indonesia, kalo inget Rasulullah, Rasulullah itu makannya sederhana”
Ummi: “ya sudah, alhamdulillah kita bisa makan daging, sekarang aa yang sehat, belajarlah yang rajin, nanti pulang bangun indonesia supaya rakyatnya sejahtera dan bisa sering makan daging. Lagian aa, ummi beliin daging di Amerika bukan karena gak mau sederhana, karena tahu tempe disini lebih mahal, dan itu jadi makanan mewah buat kita”
Kami pun tertawa bersama…..
Begitulah sepenggal kisah kebijaksanaan seorang anak yang Allah beri cahaya kepedulian terhadap sesama. Bahkan ketika makan enak pun ia diliputi rasa bersalah. Jujur, kami memang lebih banyak menginfestasikan finansial dalam bentuk sarana pendidikan anak. Sementara kebutuhan dasar seperti pakaian dan makanan, sesederhana mungkin pemenuhannya. Meskipun makna sederhana menjadi relatif bagi setiap keluarga, serta menjadi relatif bagi setiap daerah di belahan dunia. Kami memang jarang sekali jajan. Jika menemui makanan enak dan mahal, kami lebih suka membuat sendiri dirumah sebagai kegiatan keluarga.
Mendengar pembicaraan ini saya jadi teringat peristiwa beberapa tahun lalu saat menemani tumbuh kembang Ali di masa kecil. Begitu banyak waktu kami lewatkan untuk membacakan buku, mendongengkan kisah, mengupas sirah kehidupan Rasulullah dan para sahabat, serta membahas berbagai hikmah baik dalam kisah maupun kejadian sehari-hari di sekitar kami.
Lalu saya menjadi bertanya, apakah pembicaraan ini akan saya temui di masa kini jika dulu kami lebih banyak memberinya film Naruto? Ben 10? Spiderman? Batman? Gundam? dan berbagai film superhero populer lainnya saat itu? Apakah pembicaraan ini akan saya temui jika dulu kami lebih banyak membiarkan pengasuhan anak di depan video games? Games online? Atau membiarkannya bermain di warnet bersama teman-teman yang sangat rentan terhadap pornografi dan kekerasan?
Fitrah anak memang terlahir suci, namun tugas kita sebagai orang tua untuk menjaga kesucian fitrah seorang anak. Kita memiliki amanah dalam menjaga apa yang dilihat dan didengar oleh anak-anak, karena dari sanalah berawalnya pola pikir mereka. Pola pikir yang akan menuntun mereka dalam bertindak, yang kelak membentuk kebiasaan. Lalu kebiasaan yang kelak akan membentuk karakter. Lalu karakter yang kelak membentuk kepribadian mereka. Begitu banyak hal yang ada dalam diri kita saat ini adalah cerminan masa lalu kita dan masa kecil kita. Meski selalu ada peluang bagi kita untuk berubah ke arah yang lebih baik lagi. Insya Allah.
San Jose, California