Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya manusia sangat bakhil karena kecintaannya terhadap hartanya.” (QS. Al-‘Aadiyaat: 8)
Ayat ini berbicara tentang sebuah kenyataan tentang tabiat manusia secara umum terkait dengan hartanya. Yaitu bahwa manusia sangat cinta terhadap hartanya.
Ada pula yang menafsirkan bahwa kecintaannya terhadap harta, mendorong manusia untuk bersifat bakhil, enggan mengeluarkannya di jalan Allah.
Yang menarik dari ayat tersebut adalah bahwa Allah menyebutkan harta dengan ungkapan (الخير) yang secara harfiah artinya ‘kebaikan’.
Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud ‘kebaikan’ dalam ayat di atas adalah harta.
Begitu pula kata yang sama untuk makna yang sama terdapat dalam Surat Al-Baqarah: 180.
?Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan bahwa harta disebut dengan istilah ‘kebaikan’ berdasarkan urf (kebiasaan), maksudnya sudah dikenal di tengah bangsa Arab bahwa yang dimaksud (الخير) adalah harta, juga karena dengan harta akan dapat dilakukan berbagai kebaikan jika dikeluarkan di jalan Allah. (Tafsir Muyassar, Al-Jazairi)
Dari sini setidaknya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya harta secara langsung bukanlah ‘sumber keburukan’, meskipun kenyataannya banyak manusia yang tergelincir karenanya.
Maka, enggan mencari harta dengan alasan agar tidak tergelincir bukanlah jawaban yang tepat, bahkan bisa jadi itu menjadi sebab ketergelinciran dari pintu yang lain.
Karena, banyak juga keburukan yang terjadi akibat kekurangan harta.
Namun yang harus diluruskan adalah sikap kita terhadap harta, bahwa dia bukanlah tujuan dan sumber kebahagiaan itu sendiri, tapi sarana untuk mendapakan kemuliaan dalam kehidupan dan merelisasikan kebaikan untuk meraih kebahagiaan.
Dengan paradigma seperti ini seseorang akan semangat berusaha meraih harta dan menyalurkannya dengan cara yang halal.
Bahkan dalam surat Al-Araf ayat 32, Allah mengisyarat kan bahwa tujuan Dia menciptakan harta (perhiasan dunia) pada hakekatnya adalah untuk orang beriman.
Maka, ‘cinta harta’ atau ‘mengejar harta’ tidak dapat secara mutlak dikatakan buruk.
Sebab, selain cinta harta memang dasarnya adalah fitrah, diapun dapat menjadi pintu kebaikan yang banyak selama digunakan dengan benar.
?Imam Bukhari meriwayat kan dalam Al-Adabul Mufrad-nya, dari Amr bin Ash, dia berkata,
“Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menemuinya dengan membawa perlengkapan pakaian dan senjata. Maka aku datang menghadap beliau saat beliau sedang berwudhu, lalu dia memandangiku dari atas hingga bawah. kemudian berkata,
“Wahai Amr, aku ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan, semoga Allah memberimu ghanimah dan aku ingin engkau mendapatkan harta yang baik.”
Maka aku berkata, “Sungguh, aku masuk Islam bukan karena ingin harta. Tapi aku masuk Islam karena Islam dan aku dapat bersama
Rasulullah saw.” Maka Rasulullah saw bersabda,
يا عَمْرو ، نِعْمَ المَالُ الصَّالِحُ للمَرءِ الصَالِحِ
“Wahai Amr, sebaik-baik harta, adalah milik orang yang saleh.”
Ucapan Rasulullah saw ini setidaknya memberikan dua pesan kepada kita;
Semangat membina diri agar menjadi orang saleh dan
Semangat berusaha agar menjadi orang kaya…
Abdullah bin Mubarak suatu hari menjamu makan orang-orang miskin, lalu setelah itu dia berkata,
لَوْلاَكَ وَأَصْحَابَكَ مَا اتَّجَرْتُ
“Kalau bukan kalian dan orang-orang seperti kalian, saya tidak akan berdagang….”
(Siyar A’lam An-Nubala..)
(AFS/ Manhajuna)