Para ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa jika hari Id berbarengan dengan hari Jumat, maka tidak dibolehkan bagi mereka yang shalat Id untuk meninggalkan shalat Jumat. Ad-Dusuqi berkata, “Sama saja, apakah dia shalat Id di perkampungannya atau di luar kampungnya (dia tetap wajib shalat Jumat).”
Sedangkan ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa jika hari Id berbarengan dengan hari Jumat, lalu mereka shalat Id dan shalat zuhur maka hal itu dibolehkan dan gugur baginya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang shalat Id. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat Id, lalu beliau bersabda,
مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ
“Siapa yang mau melakukan shalat Jumat, silakan shalat Jumat.” 1)
Mereka mengatakan bahwa gugurnya shalat Jumat adalah gugur kewajiban menghadirinya, bukan gugur kewajiban shalatnya itu sendiri. Maka hukumnya seperti orang sakit dan semacamnya yang memiliki uzur atau kesibukan yang membolehkannya meninggalkan shalat Jumat. Maka tidak gugur kewajibannya sehingga shalat Jumat tetap sah dilakukan dan sah menjadi imam padanya. Tapi yang lebih utama adalah menghadiri shalat Jumat agar keluar dari perselisihan pendapat. Dikecualikan dalam hal ini seorang imam, maka tidak gugur baginya kewajiban hadir untuk shalat Jumat, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata,
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Telah berkumpul pada hari ini dua id (Idul Fitri dan Hari Jumat). Siapa yang mau maka shalat Idnya dapat menggantikan shalat Jumat, adapun kami tetap melakukan shalat Jumat.” 2)
Karena, jika imam meninggalkan shalat Jumat, maka akan terhalang melakukannya bagi orang yang wajib melakukannya atau orang yang ingin tetap melakukannya walaupun gugur baginya kewajibannya. Mereka juga berkata, ‘Jika shalat Jumat didahulukan dan dilakukan pada waktu shalat Id, maka diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia berkata, ‘Yang dianggap sah adalah yang lebih pertama dari keduanya’ maka dengan demikian shalat Jumat yang dia lakukan itu dapat menggantikan shalat Id dan Zuhur dan tidak ada yang wajib dia lakukan hingga masuk waktu Ashar. Pendapat ini bagi siapa yang membolehkan mempercepat shalat Jumat pada waktu shalat Id.
Adapun ulama dalam mazhab Syafii berpendapat bahwa apabila hari Id berbarengan dengan hari Jumat, maka dibolehkan bagi penduduk kampung yang mendengar panggilan untuk shalat Id untuk pulang ke perkampungannya dan tidak shalat Jumat.
Maksudnya hal tersebut karena jika mereka hadir untuk shalat Id, seandainya mereka kembali ke perkampungannnya, maka mereka tidak sempat lagi untuk kembali shalat Jumat, maka mereka diberi rukhshah (keringanan) meninggalkan shalat Jumat untuk meringankan mereka. Pemahaman kebalikannya, jika mereka tidak datang shalat Id, maka mereka wajib hadir untuk shalat Jumat. Disyaratkan pula, dalam kebolehan meninggalkan shalat Jumat, untuk segera pulang ke perkampungannya sebelu masuk waktu shalat Jumat.
• Diterjemahkan dari kitab: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, jilid 27, hal. 209.
Kesimpulan:
Ada perbedaan pendapat para ulama jika hari Id berbarengan dengan hari Jumat, apakah boleh meninggalkan shalat Jumat atau tidak. Yang lebih hati-hati adalah tetap shalat Jumat, apalagi kalau dia seorang imam (juga khatib dan siapa saja yang memiliki tanggungjawab terkait terlaksananya shalat Jumat). Namun jika ada yang tidak shalat Jumat, juga tidak perlu diingkari dengan catatan dia telah shalat Id dan dia harus melakukan shalat Zuhur. Wallahu a’lam.
—————————————-
1- HR. Ahmad, 4/372, cet. Al-Maimaniah, dari hadits Zaid bin Arqam. Ibnu Hajar mengutipnya dalam kitab Talkhishul Habir, 2/88, cet. Syarikah Thiba’ah Al-Fanniya. Ibnu Munzir menyatakan bahwa hadits ini memiliki illat (cacat) karena para perawinya tidak mengetahuinya dari Zaid bin Arqam, namun dia menyebutkan riwayat-riwayat yang menguatkannya, di antaranya adalah hadits yang akan disebutkan kemudian.
2- HR. Abu Daud, 1/647, tahqiq Izzat Ubaid Da’as, Daruquthni menyatakan bahwa haditsnya mursal sebagaimana disebutkan dalam kitab Talkhisul Habir oleh Ibnu Hajar, 2/88, akan tetapi beliau menyebutkan beberapa riwayat yang menguatkannya
(Manhajuna/IAN)