Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Hadits no. 969
وَعَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ . إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Dari beliau (Anas bin Malik) dia berkata, “Rasulullah memerintahkan untuk menikah dan sangat mencegah sikap meninggalkan nikah. Beliau bersabda, “Nikahilah (wanita) yang penuh kasih sayang dan (berpotensi) banyak keturunan. Sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya kalian di kalangan para nabi pada hari kiamat.”
(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Makna kalimat
• (الباءة) Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan hadits sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan (الباءة) adalah kemampuan finansial. Akan tetapi dalam hadits yang dimaksud (الباءة) dalam hadits ini adalah menikah berdasarkan konteks hadits.
• (التبتل) secara umum maknanya adalah total dalam beribadah, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Muzammil
وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلاً
“Dan beribadahlah kepada Tuhanmu dengan penuh ketekunan.” (QS. Al-Muzammil: 8).
Akan tetapi yang dimaksud ‘tabattul’ dalam hadits ini adalah sengaja tidak menikah untuk tujuan beribadah.
• (الودود) berasal dari kata (الود) yaitu cinta. Diungkapkan dengan wazan (bentukan) فَعُول yang dikenal sebagai salah satu bentukan yang bermakna ‘sangat’ (للمبالغة). Maka (الودود) adalah orang yang sangat mencinta.
• (الولود) berasal dari kata (الولد), juga dengan wazan فعول. Yang dimaksud adalah orang yang memiliki banyak anak. Yang dimaksud dalam hadits ini adalah wanita (gadis) yang diperkirakan akan memiliki banyak keturunan dengan memperhatikan kondisi kerabatnya atau faktor lainnya.
Pelajaran Dalam Hadits:
• Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan menikah merupakan fitrah manusia. Mengabaikan perkara fitrah ini bukan hanya melanggar hak manusiawi, tapi juga melanggar aturan syari, walaupun untuk alasan beribadah. Karena itu, pernikahan diperintahkan dan sengaja meninggalkannya dilarang keras.
• Adanya sejumlah orang saleh atau ulama besar yang tidak menikah sepanjang hidupnya, hendaknya dilihat sebagai alasan pribadi. Bukan sebagai dalil dibolehkannya meninggalkan pernikahan. Atau kalaupun mereka memiliki pendapat tentang kebolehannya, maka “Semua ucapan dapat diambil dan ditolak, kecuali ucapan penghuni kubur ini (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).”
• Hadits ini merupakan bantahan terhadap bid’ah yang terkandung dalam ajaran rahbaniah (kependetaan) yang diajarkan para pendeta Nashrani dengan meninggalkan pernikahan sebagai cara untuk fokus beribadah (QS. Al-Hadid: 27).
• Di antara kriteria pasangan yang dianjurkan adalah ‘al-wadud’ (penuh cinta) dan ‘alwaluud’ (berpotensi banyak keturunan). Hal ini setidaknya memberikan 2 makna:
– Sebelum menikah, hendaknya seseorang berusaha mengenali ‘kualitas’ pasangannya. Tentu dengan cara yang dibenarkan syariat. Seperti mencari informasi dari orang yang tsiqah (terpercaya) atau dengan cara lainnya.
– Berkeluarga harus memenuhi dua sisi utama; Kehangatan cinta dan tanggung jawab. Masing-masing pasangan hendaknya dapat mendatangkan suasana kasih sayang dalam berkeluarga, juga siap bertanggung jawab dengan menyambut kelahiran anak serta mendidik dan merawatnya.
• Berbangga-bangga yang dimaksud dalam hadits ini bukan berlatar belakang kesombongan, akan tetapi kecintaan terhadap amal saleh dan semakin banyak hamba Allah yang beriman kepadanya. Karena, semakin banyak orang yang mengikuti ajarannya, semakin banyak pula kebaikan yang didapatkan dari dakwah yang disampaikan.
• Hadits ini juga dijadikan landasan para ulama tentang dilarangnya tindakan pembatasan kelahiran, apalagi jika bersifat permanen seperti vasektomi, kecuali ada alasan yang sangat mendesak. Karena berdasarkan hadits ini, yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kehendaki adalah jumlah umatnya yang banyak, bukan sedikit. Adapun mengatur kelahiran anak, dengan pertimbangan agar dapat lebih mudah merawat dan mendidiknya, sepanjang disetujui suami dan dengan cara yang tidak membahayakan sang ibu, maka hal tersebut dibolehkan.
Wallahua’lam…
(AFS/ Manhajuna)