Oleh: Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA.
((فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ))
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (QS. Al An’aam [6]: 44).
Ketika membimbing haji kemarin, di Tanah Suci seorang jama’ah haji bertanya, “Ustadz, mengapa ada orang atau keluarga yang tidak taat beragama; tidak shalat, tidak puasa, tapi rizkinya melimpah? Usahanya sukses, kaya dan sekilas kelihatannya bahagia”. Pertanyaan ini mewakili sekian banyak orang yang penasaran melihat fenomena di masyarakat tentang adanya orang yang ahli ibadah namun hidupnya pas-pasan dan serba kesulitan. Sementara di sisi lain, ada orang atau keluarga yang ahli maksiat, koruptor dan tidak taat menjalankan agama, tapi hidup dengan bergelimang dunia. Kelihatannya rizkinya mudah dan melimpah.
Dalam konteks global, banyak di antara kita yang bertanya-tanya ketika menyaksikan banyak negara dengan penduduk mayoritas muslim dengan ribuan masjid tersebar di seantero negeri, sekian juta kali lantunan takbir, tahmid, tahlil dan dzikir serta doa dikumandangkan, tapi mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, tidak sedikit negara yang kafir, yang penduduknya selalu tenggelam dalam beragam bentuk kemaksiatan dan kemungkaran; zina, khamr, judi, narkoba dan lain-lain, namun kok sepertinya maju dalam banyak aspek kehidupan; ekonomi, militer, pendidikan, teknologi, informasi dan lain sebagainya. Kenapa hal ini bisa terjadi??Ayat di atas menjawab pertanyaan tersebut dengan gamblang.
1. Ujian Kesejahteraan Hidup bagi Pendosa
Di dalam ayat di atas, Allah menceritakan umat-umat terdahulu yang di utus kepada mereka, para rasul, kemudian Allah siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Namun, ketika datang siksaan Allah kepada mereka, mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri, bahkan hati mereka semakin menjadi keras dan syaitan pun menampakkan kepada mereka keindahan/kebagusan apa yang mereka kerjakan.
Maka, di tengah kedurhakaan mereka kepada Allah dengan mendustakan Allah dan Rasul-Nya, melakukan segala bentuk kemusyrikan dan kemaksiatan, Allah menguji mereka dengan kemakmuran dan kesejahteraan hidup. “Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka” demikian penegasan Allah swt tentang kehidupan dunia dan kesejahteraan hidup yang melimpah yang diterima para pendosa tersebut. Menurut Imam Ibnu Katsir, “Maksudnya; Kami membukakan untuk mereka pintu-pintu rizki dari segala hal (dalam semua aspek kehidupan) yang mereka pilih. Dan ini adalah istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa’ (penangguhan) dari Allah Ta’ala bagi mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir II/259).
Imam Malik menafsirkannya dengan kemakmuran dunia dan kemudahannya (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir II/259).
Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya (IV/145) meriwayatkan hadits dari Uqbah bin ‘Aamir ra dari Nabi saw
« إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا على معاصيه ما يحب . فإنما هو استدراج »
“Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang Ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj”, kemudian Rasulullah saw membaca ayat tersebut. Hadits ini oleh Imam As Suyuthi dinilai sebagai hadits hasan. (Al Jaami’ Ash Shaghir I/97 no. 629).
Begitulah sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Bahwa, terkadang Allah swt membukakan beragam pintu rizki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayatnya, “Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka“; kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya. Dan ini merupakan istidraj dan imlaa’ dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, “Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan Ini (Al Quran). nanti kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh”. (QS. Al Qalam [68]: 44-45).
Maka, ketika ada seseorang yang tidak shalat, tidak puasa di bulan Ramadhan, hidup dalam kubangan maksiat, namun hidupnya makmur dan sejahtera, ini adalah istidraj. Ketika ada keluarga yang jauh dari Allah dan memanage rumah tangganya dengan nilai-nilai yang tidak islami, namun rizkinya melimpah dan hidupnya bergelimang dengan beragam kenikmatan dunia, maka ini pun termasuk istidraj.
Ketika ada ormas atau jama’ah yang menghidupi organisasi dan jama’ahnya dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju dengan semakin bertambah banyaknya anggota dan pendukungnya serta semakin meluasnya pengaruh dan cabang-cabangnya, maka ini juga termasuk istidraj. Ketika ada seseorang atau partai yang memenangkan pilkada atau pemilihan legislatif atau pemilihan umum dengan melanggar syarat-syarat kemenangan hakiki yang digariskan oleh Allah, baik dalam fundraising (pendanaan) nya maupun dalam menarik simpati dukungan menggunakan hal-hal yang haram dan menghalalkan segala cara, namun mendapatkan dukungan suara dan kursi yang sangat signifikan, maka ingatlah yang demikian ini pun adalah istidraj.
Hal ini juga berlaku bagi suatu bangsa dan negara. Ketika ada negara yang kufur kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat kepada Allah, memerangi orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktifitas dakwah dan hal-hal positif lainnya, namun secara zhahir tampak maju di banyak aspek kehidupan, maka hal ini termasuk istidraj.
Sebab, tidak setiap orang, keluarga, komunitas, ormas, partai, bangsa atau negara yang dianugerahi oleh Allah dengan kelimpahan rizki, kesejahteraan hidup, kemajuan dan kemenangan, berarti Allah mencintainya dan mendukungnya. Tidak. Karena, Allah memberi rizki orang yang mukmin dan kafir, yang baik dan jahat, bahkan bisa jadi Allah mengabulkan do’a dan permintaaan mereka lalu memberi mereka apa yang mereka minta di dunia, namun di akhirat mereka tidak mendapatkan bagian (pahala) apa pun, bahkan nerakalah tempat mereka.
Coba renungkan firman Allah berikut, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. AL Baqarah [2]: 126).
Dan firman-Nya, “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, Sebenarnya mereka tidak sadar”. (QS. Al Mukminuun [23]: 55-56). Juga firman-Nya, “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh kami kepada mereka [Yakni: dengan memperpanjang umur mereka dan membiarkan mereka berbuat dosa sesuka hatinya] adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan”. (QS. Ali Imran [3]: 178).
Jadi, menurut Sayyit Quthb, sesungguhnya kemakmuran dan kesejahteraan hidup merupakan ujian lain sebagaimana ujian kesulitan dan kesengsaraan hidup. Bahkan, kesejahteraan dalam ujian, kedudukannya lebih tinggi dari pada kesengsaraan. Dan Allah menguji hamba-Nya dengan kesejahteraan dan kesengsaraan, dengan kemudahan dan kesulitan. Dia swt menguji hamba-hamba-Nya yang ta’at dan maksiat (Fi Zhilal Al Qur’an II/1090). Bedanya, orang mukmin tidak terpukau terhadap nikmat, namun justru menyikapinya dengan syukur dan menyikapi ujian kesulitan dengan sabar sehingga karenanya semua urusannya menjadi baik dan bernilai pahala. Rasulullah saw bersabda, “Ajaib atau unik urusan orang mukmin itu. Sebab, semua urusannya itu baik, dan itu tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan (kemudahan) lalu bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesulitan, namun bersabar, maka hal itu pun menjadi kebaikan baginya” (HR. Muslim no. 5318).
2. Kebinasaan Datang pada Puncak Kesenangan
Setelah Allah mengulur-ulur (istidraj) dan memberi tangguh (imlaa’) dengan membukakan beragam pintu kesejahteraan dan kemakmuran serta kemenangan “sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.
Inilah yang harus selalu kita waspadai. Ternyata, kemakmuran dan kesejahteraan hidup di tengah gumulan maksiat kepada Allah bukanlah nikmat yang hakiki, melainkan istidraj dan mukaddimah kepada siksa. Ternyata, kemajuan dalam banyak aspek dan kemenangan yang diraih dengan menghalalkan segala cara adalah kemajuan dan kemenangan semu, karena bisa jadi merupakan istidraj dan justru pengantar bagi kehancuran, kemunduran dan kekalahan. Maka, waspadalah untuk berkomentar, “Saya tidak shalat saja, banyak rizki”. Atau “Pakai uang haram sedikit-sedikitkan tidak apa-apa untuk kemenangan dakwah yang lebih besar” dan lain-lain.
Kini, masihkah ada di antara kita yang bangga dan terhipnotis oleh kemilau kemajuan negeri adidaya Amerika dan negara Barat lainnya? Masihkah, kita asyik masyuk dengan beragam kemaksiatan dan kemungkaran, toh masih merasa banyak kemudahan rizki? Dan masihkah kita terus membiayai aktifitas rumah tangga atau organisasi atau partai kita dengan uang-uang haram, toh tetap saja keluarga atau simpatisan dan anggota kita tidak berkurang?
Ingat, kehancuran dan kebinasaan serta kekalahan itu datang secara tiba-tiba, bahkan bisa jadi datang pada puncak kebahagiaan, kemajuan dan kemenangan.