Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Manhajuna.com – Tasyriq adalah nama atau sebutan bagi tiga hari pasca hari raya Idul Adha, yakni hari-hari tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah. Hari-hari tasyriq termasuk yang lebih diutamakan dan diistimewakan diantara hari-hari mulia bulan suci Dzulhijah. Baik dari aspek fadhilah amal ibadah di dalamnya, maupun tentang adanya hukum-hukum syariah khusus yang terkait dengannya.
Secara umum hari-hari tasyriq masih termasuk dalam rangkaian hari raya idul adha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Hari Arafah, hari penyembelihan qurban (tanggal 10 Dzulhijah) dan hari-hari tasyriq semuanya adalah hari raya kita, Ummat Islam, dan merupakan hari-hari makan dan minum (artinya dilarang puasa padanya, tentu kecuali hari Arafah yang justru sangat disunnahkan berpuasa padanya)” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Majah).
Bagi jamaah haji, terdapat dua amalan dan manasik utama pada hari-hari tasyriq ini, yang wajib mereka tunaikan demi sempurnanya ibadah mereka, yakni mabit (menginap/bermalam) di Mina pada malam-malam harinya, dan melontar tiga jumrah (Jumrah Ula, Jumrah Wushtha dan Jumrah Aqabah) pada siang harinya. Namun disediakan dua opsi pilihan bagi mereka dalam menjalankan kedua kewajiban utama manasik haji tersebut. Pertama dengan ber-mabit (bermalam) di Mina dan melontar tiga jumrah hanya dalam dua malam dan dua hari saja, serta meninggalkan Mina menuju kota Mekkah pada hari kedua tasyriq tanggal 12 Dzulhijah, yang biasa dikenal oleh masyarakat umum dengan istilah nafar awal (pergi dari Mina lebih awal). Dan opsi kedua adalah dengan bermalam di Mina dan melontar jumrah pada tiga malam dan tiga hari secara penuh, yang umum dikenal dengan sebutan nafar tsani (pergi meninggalkan Mina pada kesempatan kedua), dan tentu saja opsi ini lebih baik, bagi yang mampu.
Adapun bagi selain jamaah haji, maka penting memperhatikan beberapa hal di bawah ini terkait dengan hukum dan amalan hari-hari tasyriq ini:
1. Seperti dalam hadits yang telah disebutkan di atas, tiga hari tasyriq termasuk dalam rangkaian hari raya idul adha. Maka perlu sekali tetap diramaikan dengan beragam bentuk kegembiraan dan keceriaan, dan lebih afdhal lagi dengan menebar dan berbagi kegembiraan serta keceriaan tersebut dengan orang-orang yang membutuhkannya. Begitu pula dengan bersilaturrahim, beranjang sana, dan lain-lain.
2. Hari-hari tasyriq masih merupakan hari-hari penyembelihan hewan qurban, sebagai lanjutan dari waktu utama berqurban, yakni hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijah. Namun terdapat perselisihan pendapat diantara para ulama tentang batas akhir waktunya. Sebagian madzhab membatasi waktu penyembelihan hanya tiga hari, yaitu hari raya Idul Adha dan dua hari tasyriq, sampai tanggal 12 Dzulhijah. Namun yang lebih kuat insyaallah madzhab Imam Syafi’i dan lain-lain bahwa, waktu pelaksanaan ibadah qurban adalah empat hari, yakni sejak bakda shalat Idul Adha dan berakhir sampai waktu maghrib hari terakhir tasyriq tanggal 13 Dzulhijah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Seluruh hari tasyriq adalah waktu penyembelihan hewan qurban” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Itu tentang batasan waktu penyembelihan yang merupakan esensi ritual ibadah qurban. Adapun tentang pendistribusian hasil sembelihannya dan penyimpanannya, maka tidak dibatasi dengan batas waktu tertentu. Melainkan longgar boleh sampai kapanpun. Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Aku dulu (karena suatu kondisi mendesak) pernah melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari tiga malam. Tapi (kini) tahan dan simpanlah sekehendak kalian (sampai kapanpun)” (HR. Muslim).
3. Dilarang dan haram hukumnya berpuasa pada hari-hari tasyriq kecuali bagi jamaah haji tamattu’ yang tidak mampu menyembelih hewan hadyu/dam tamattu’-nya, dimana sebagai penggantinya diwajibkan agar berpuasa 10 hari dengan rincian: 3 hari dilakukan pada musim haji di Mekkah dan 7 harinya ditunaikan di kampung halaman masing-masing sepulang dari tanah suci (lihat QS. Al-Baqarah : 196). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum (maksudnya haram puasa) serta dzikir kepada Allah” (HR. Muslim dari sahabat Nabisyah Al-Hudzali ra.). Sahabat ‘Amru bin Al-‘Ash menghidangkan makanan bagi putranya Abdullah dan temannya yang sedang berpuasa pada hari tasyriq, seraya berucap: Makanlah! Karena ini adalah hari-hari dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita berbuka padanya, dan melarang kita berpuasa di dalamnya (HR. Abu Dawud dan Malik). Dan Ibnu Umar serta Aisyah ra. juga berkata: Tidak dirukhshahkan (diringankan/diizinkan) untuk berpuasa pada hari-hari tasyriq kecuali bagi (jamaah haji tamattu’) yang tidak dapat menyembelih hadyu/dam (HR. Al-Bukhari).
4. Disunnahkan memperbanyak dzikir dan doa pada hari-hari tasyriq ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan bilangannya” (QS. Al-Baqarah [2]: 203). Para ulama ahli tafsir mengatakan bahwa, yang dimaksud itu adalah hari-hari tasyriq. Dan diantara doa yang diutamakan agar lebih banyak dibaca pada hari-hari ini adalah doa dari Al-Qur’an sekaligus dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu: Rabbana atina fiddun-ya hasanah, wa fil-akhirati hasanah, wa qina ‘adzaban-nar (Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari siksa Neraka). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu telah menyelesaikan manasik haji kamu, maka berdzikirlah dengan menyebut-nyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berdzikirlah lebih dari itu. Maka diantara manusia ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan)di dunia”, sedang di Akhirat dia tidak memperoleh bagian apapun. Sementara itu diantara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari adzab Neraka”. Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Maha Cepat perhitungannya” (QS. Al-Baqarah [2]: 200-202). Imam ‘Abd bin Humaid meriwayatkan bahwa ‘Ikrimah dulu suka sekali membaca doa ini selama hari tasyriq. Dan Imam Al-Hafidz Ibnu Rajab juga menyebutkan bahwa, banyak ulama salaf dulu senang dan menganjurkan untuk memperbanyak doa ini pada hari-hari tasyriq.
5. Sebagai lanjutan dari hari Arafah dan Idul Adha, pada hari-hari tasyriq ini juga disunnahkan dan dianjurkan agar kaum muslimin memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid, khususnya pada setiap usai shalat fardhu (bahkan juga shalat sunnah, menurut praktik sebagian ulama salaf dalam riwayat Imam Al-Bukhari), sampai asar hari ketiga tasyriq, yakni tanggal 13 Dzulhijah. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya bahwa, Ibnu Umar ra. dulu biasa bertakbir di Mina pada hari-hari tasyriq, baik selepas shalatnya, di tempat tidurnya, di tempat duduknya, maupun saat beliau berjalan-jalan. Begitu pula kaum wanita dulu bertakbir (di rumah-rumah) demi mengikuti dan menirukan lantunan takbir Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. Nah, dalam praktiknya sekarang, jika di masjid-masjid sudah terbiasa adanya kumandang takbir ini pada setiap usai shalat jamaah, maka bagaimana dengan kaum putri dan lainnya, apakah mereka juga melantunkannya selepas shalat di rumah-rumah mereka?
Demikianlah beberapa poin pengingat terkait fadhilah dan amalan hari-hari tasyriq yang tengah kita lewati saat ini. Dan sebagai catatan penutup terakhir, kita dapati bahwa berbagai hukum dan amalan bulan Dzulhijah, hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq itu sangat dekat dan lekat sekali dengan amalan-amalan dan hukum-hukum khusus manasik haji dan umrah. Mengapa? Wallahu a’lam. Tapi sangat boleh jadi salah satu hikmahnya, adalah agar hati kita dan seluruh ummat muslim dimanapun berada, tetap terpaut dan ikut larut dalam nuansa, suasana dan iklim imani ibadah di tanah suci!
(Manhajuna/GAA)
One comment
Pingback: My Blog