Kemuliaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah diabadikan dalam Al-Qur’an, Allah SWT. berfirman:
“Demi fajar, Dan malam yang sepuluh, Dan yang genap dan yang ganjil, Dan malam bila berlalu” (QS Al-Fajr 1-4).
Para ulama tafsir seperti, Ibnu Abbas ra, Ibnu Zubair ra, Mujahid ra. menafsirkan maksud malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Pada ayat di atas Allah SWT. bersumpah dengan 10 hari awal Dzulhijah. Menurut para Ulama mufassirin, Allah SWT. tidak bersumpah dengan sesuatu, kecuali hal itu memberikan isyarat tentang keagungan sesuatu tersebut. Maka, itu berarti keagungan sepuluh hari awal dzulhijah. Hal ini juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah Saw. yang secara khusus menjelaskan kepada umatnya.
Dari Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Tiada hari dimana amal shalih lebih dicintai Allah melebihi hari-hari ini –yaitu sepuluh hari pertama Dzulhijjjah.“ Sahabat bertanya: ”Ya Rasulallah Saw., tidak juga jika dibandingkan dengan jihad di jalan Allah?” Rasul saw.: menjawab, “Tidak juga dengan jihad, kecuali seorang yang berjihad dengan jiwa dan hartanya serta tidak kembali (gugur sebagai syahid).” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Tiada hari yang lebih baik dan lebih di cintai Allah SWT. untuk beramal baik padanya dari sepuluh hari Dzulhijah, maka perbanyaklah membaca tahlil (Laa ilaaha illallah), takbir (Allahu Akbar) dan tahmid (Alhamdu lillah)”. (HR. Imam Ahmad).
Optimalisasi amal saleh.
Secara khusus, setiap Muslim diperintahkan untuk mengoptimalkan sepuluh hari awal Dzulhijah dengan berbagai amal berikut :
Pertama, Melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Ini adalah amalan yang paling utama. Banyak sekali hadits-hadits Rasulullah Saw. yang menjelaskan keutamaan haji dan umrah, diantaranya riwayat dari Abu Hurairah ra.:
“Dari umrah yang satu ke umrah yang lain sebagai penghapus dosa-dosa diantara keduanya dan haji yang mabrur tidak ada balasannya, kecuali surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa ibadah ini disebut dengan jihad. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda: “jihad orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan perempuan adalah haji.” Dari Aisyah ra., beliau berkata: “wahai Rasulullah Saw. menurutmu jihad adalah amal yang paling utama, mengapa kita (perempuan) tidak berjihad? Rasul bersabda: “bagi kalian ada jihad yang paling utama yaitu haji mabrur.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, memperbanyak puasa sunah khususnya puasa Arafah.
Memperbanyak puasa sebagai bagian dari amal saleh yang dianjurkan untuk dikerjakan pada sembilan hari awal Dzulhijah, tidak termasuk hari Idul Adha. Tidak ada dalil keutamaan secara khusus memang, kecuali untuk pelaksanaan puasa Arafah pada 9 Dzulhijah. Kemuliaan puasa Arafah disebutkan dalam riwayat Abu Qatadah ra.: “Saya mengharap kepada Allah agar puasa pada hari Arafah menghapuskan dosa tahun sebelumnya dan tahun yang sesudahnya”. (HR. Muslim).
Secara umum keutamaan puasa disebutkan Rasulullah Saw. dalam haditsnya: “Tidaklah ada seorang hamba yang berpuasa sehari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka selama tujuh puluh tahun (jarak tempuh perjalanan selama tujuh puluh tahun) karena puasanya”. (HR. Bukhari Muslim). Sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan An Nasa’i dijelaskan bahwa “Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: “Puasa hari Asyura, Puasa 1-8 Dzulhijah, 3 hari tiap bulan dan dua rakaat sebelum fajar.”
Ketiga, memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid.
Allah SWT berfirman: “dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS Al-Hajj: 28).
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa makna hari-hari di atas adalah sepuluh hari awal Dzulhijah. Beliau juga meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ”Tiada hari-hari dimana amal saleh paling utama di sisi Allah SWT. dan paling dicintai-Nya, melebihi sepuluh hari pertama Dzulhijah. Perbanyaklah pada hari itu dengan tahlil, takbir dan tahmid.” (HR Ahmad dan Al-Baihaqi).
Imam Bukhari ra. menjelaskan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berdua pergi ke pasar pada sepuluh hari Dzulhijah untuk menggemakan takbir pada khalayak ramai, lalu orang-orang mengikuti takbir mereka berdua.
Dzikrullah pada sepuluh hari awal Dzulhijah ini bisa dibagi menjadi dua bentuk:
1. Dzikr mutlaq (bebas): yaitu berdzikir secara umum dan tanpa terikat waktu khusus, sebagaimana disebutkan petikannya dalam Al-Quran dalam surat Al-Ahzab 35: “laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bgi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
2. Dzikir Muqayyad (yang terikat) : yang dimaksud adalah takbir hari Raya yang memiliki lafadz secara khusus, dan waktu pembacaan yang tertentu pula. Bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji, waktu takbir di mulai sejak fajar hari Arafah, sedangkan bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji, waktunya di mulai dari Zhuhur hari qurban hingga Ashar hari tasyriq yang terakhir.
Keempat, menjalankan dan mensyiarkan Shalat Idul Adha.
Hari raya Idul Adha adalah salah satu syiar dalam agama Islam. Karenanya, sudah sepatutnya seorang muslim menyambutnya dengan kegembiraan dan mengagungkannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an : “ dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar (agama) Allah, maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati “ (QS. Al-Haj 32). Secara khusus Allah memerintahkan kita untuk menjalankan sholat Idul Adha. Allah SWT berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS Al-Kautsar 1-3).
Dari Abu Said, beliau berkata, “Rasulullah saw. keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha ke musholla. Yang pertama dilakukan adalah shalat, kemudian menghadap manusia – sedang mereka tetap pada shafnya- Rasul Saw. berkhutbah memberi nasehat dan memerintah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai sebuah syiar, maka setiap muslim harus berusaha untuk mengikuti sholat Idul Adha dengan sepenuh hati, bergembira dan beramai-ramai dalam menjalankannya. Bahkan dalam hadits juga disebutkan tentang isyarat untuk mengoptimalkan sholat id dengan mengumpulkan semua Muslimin untuk hadir, meski dalam keadaan haid sekalipun. Dari Ummi ‘Athiyah, ia berkata, ”Kami diperintahkan agar wanita yang dalam kondisi suci dan yang sedang haidh keluar pada dua Hari Raya, hadir menyaksikan kebaikan dan khutbah umat Islam dan orang yang berhaidh harus menjauhi musholla.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kelima, berkurban.
Allah SWT. mensyariatkan berkurban dalan firmanNya:
“Sesungguhnya kami memberikan kamu rizki yang banyak. Maka shalat dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu terputus dari rahmat Allah. (QS. Al-Kautsar: 1-3).
Dalam ayat lain Allah SWT.berfirman:
“Dan unta-unta itu kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, dan kamu memperoleh banyak kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang tidak meminta-minta namun butuh dan orang yang meminta. (QS. Al-Hajj: 36).
Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berkurban dengan dua ekor kambing yang gemuk, beliau menyembelihnya dengan tangan sendiri, dengan cara membaca bismillah dan bertakbir seraya meletakkan kakinya pada kedua leher kambing. (HR. Bukhari dan Muslim).
Waktu berkurban sebagai ibadah sunah muakkadah (yang sangat dianjurkan) ini setelah terbit matahari pada hari raya, tepatnya setelah melakukan shalat id, dan berakhir pada hari ketiga tasyriq. Adapun hewan-hewan yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.
Keenam, memperbanyak amal ibadah dan kebaikan.
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Sebaik-baiknya hari dunia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijah.” Ditanya, “Apakah jihad di jalan Allah tidak sebaik itu?” Rasul saw. menjawab, ”Tidak akan sama jika dibandingkan dengan jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang menaburkan wajahnya dengan debu (gugur sebagai syahid).” (HR Al-Bazzar dan Abu Ya’la).
Memperbanyak amal ibadah dan kebaikan, baik yang bersifat ubudiyah mahdhah atau vertikal seperti sholat, puasa dan dzikrullah, juga yang bersifat sosial sebagaimana infak dan kebaikan lainnya cukup kondusif pada momen sepuluh hari awal Dzulhijah. Ini sesuai dengan grafik keimanan kita yang meningkat pada hari-hari ini, yang sudah seharusnya diekspresikan dengan menjalankan amal kebaikan yang beragam. Semoga Allah SWT memberikan kemudahan dan kekuatan untuk menjalani hari-hari mulia ini, dengan penuh kebahagiaan dan semangat menjalankan kebaikan. Amin.
Sumber: http://ikadi.or.id