Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc.
« إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا «
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Fath: 8-9).
Saudaraku,
Perjalanan hidup Rasulullah s.a.w bukanlah sekadar cerita dan dongeng sebagai penghantar tidur anak-anak menuju ke alam mimpi. Dan bukan pula hanya sebatas menjadi bahan perbincangan dan penuturan tanpa menghasilkan apa-apa. Dan juga bukan kisah yang hanya memenuhi lembaran-lembaran sejarah. Tidak juga hanya sekadar sebagai bahan diskusi yang berapi-api tanpa bukti.
Akan tetapi ia berperan sebagai pelita yang menerangi perjalanan hidup kita. Memberikan cahaya bagi kehidupan. Ia merupakan kisah yang penuh dengan makna, pelajaran dan nasihat. Memberikan pencerahan bagi kehidupan, menerangi langkah kita di atas jalan kebaikan dan bahkan ia mampu menjadi inspirasi dan hikmah. Na’am, perjalanan hidup yang beliau lalui adalah cermin kehidupan yang tidak akan pernah retak dan kusam.
Sungguh indah Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan surat al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”, ‘Ayat ini merupakan dasar pijakan yang agung dalam bertaassy (meneladani) kehidupan Rasulullah s.a.w baik dalam ucapan, perbuatan dan pada setiap sudut kehidupannya…’
Tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga ia lebih mencintai Rasulullah s.a.w dari pada kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tua dan seluruh manusia.
Nabi s.a.w bersabda,
» لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ «
“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 70).
Saudaraku,
Mungkinkah seseorang dapat merealisasikan hal ini tanpa pernah membuka lembaran-lembaran sirahnya? tanpa pernah menapak tilasi jalan yang pernah beliau lalui?. Mungkinkah cinta akan hadir memenuhi relung hati kita tanpa mengenal orang yang kita cintai?. Dan bukankah ada satu pepatah yang mengatakan, “tak kenal maka tak sayang dan tak sayang maka tak cinta?.” Oleh karena itu pada edisi bulletin kali ini khusus kita kaji hari kelahiran Rasulullah s.a.w.
Nasab Nabi s.a.w yang disepakati kebenarannya oleh pakar nasab dan biografi adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib (namanya Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya Amru) bin Abdi Manaf (yang bernama Al Mughirah) bin Qushay (yang bernama Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fahr (yang bergelar Quraisy dan menjadi cikal bakal kabilah) bin Malik bin Nadhr (yang bernama Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (yang namanya Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan, dan Adnan adalah keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim a.s .
Rasulullah s.a.w dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Mekkah pada hari Senin, yang masyhur 12 Rabi’ul Awwal (walaupun para peneliti kontemporer justru menyebut kelahiran Nabi s.a.w adalah tanggal 9 Rabi’ul Awwal, yang dikuatkan dengan data yang valid), pada tahun gajah dan 40 tahun kekuasaan Kisra Anusyirwan. Bertepatan tanggal 22 April 571 M. Hal ini berdasarkan penelitian ulama terkemuka Muhammad Sulaiman al-Manshurfury dan pakar astronomi Mahmud Basya.
Saudaraku,
Ada berbagai peristiwa yang membuktikan keagungan hari kelahirannya. Di antaranya seperti yang diriwayatkan Ibnu Sa’ad, bahwa ibunda Rasul s.a.w (Aminah) menceritakan, ‘Sewaktu bayiku lahir, aku melihat ada kilatan sinar cahaya benderang dari rahimku, menyinari istana-istana raja di Syam. ‘
Abdurrahman bin Hammad Ali Umar dalam karyanya Dien al-Haq menuliskan; Pada malam kelahiran Rasulullah s.a.w yaitu di saat beliau keluar dari rahim ibunya, alam semesta tersinari oleh cahaya cemerlang yang membuat manusia berdecak kagum dan ditulis di dalam kitab-kitab sejarah, berhala-berhala Quraisy yang mereka sembah di sekitar Ka’bah daerah Mekkah bergoncang, singgasana Kisra raja Persia bergetar hebat, lebih dari sepuluh kebesarannya runtuh berjatuhan dan api Persi (api majusi) yang mereka sembah tiba-tiba padam, padahal belum pernah api itu padam selama dua ribu tahun sebelumnya.
Setelah Aminah melahirkan, ia mengirim utusan ke tempat kakeknya Abdul Muthalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Dengan perasaan berbunga-bunga Abdul Muthalib datang ke rumah Aminah lalu membawa cucunya menuju Ka’bah seraya berdo’a kepada Allah dan melantunkan kata pujian dan syukur kehadirat-Nya. Dia memilihkan nama “Muhammad” bagi cucunya. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan nama ini belum dikenal di kalangan bangsa Arab kala itu. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, sebagaimana biasa dilakukan oleh orang-orang Arab.
Ketika Muhammad telah lahir, Tsuwaibah menyampaikan kabar gembira ini kepada Abu Lahab (Tsuwaibah adalah hamba sahayanya). Setelah mendengar kabar tersebut maka perasaan bahagia memenuhi relung hatinya, dan Abu Lahabpun memerdekakannya.
Ibnu Katsir dalam kitabnya ‘al-bidayah wan nihayah’ mengutip sebuah atsar dari Abbas bin Abdul Muthalib, di mana ia pernah bertemu dengan Abu Lahab dalam mimpinya. Abbas bertanya, “Bagaimana keadaanmu?.”
Abu Lahab menjawab, “Aku berada dalam neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin (malam kelahiran Muhammad). Aku menghisap air di antara jari jemariku sekadar ini – ia menunjuk ujung ibu jarinya-. Itu aku dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad.”
Muhammad al-Hajjar dalam kitabnya ‘samir al-mukminin’ menyebutkan, Jika Abu Lahab yang kafir, kecamannya disebutkan dalam al-Qur’an, ia diberi balasan di dalam neraka (diringankan siksanya) karena kegembiraannya pada malam kelahiran Nabi Muhammad s.a.w, lalu bagaimana keadaan orang Islam yang bertauhid dari umat Nabi Muhammad, yang mana dia bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Saudaraku,
Mari kita temukan mutiara hikmah dan selaksa pelajaran berharga dari kisah kelahiran Nabi s.a.w,
• Islam sangat menghargai nasab baik seseorang, namun inilah yang tidak kita miliki. Di mana tidak ada satupun di antara kita yang sanggup menyebutkan nasabnya sampai silsilah yang kesepuluh. Paling banter hanya sampai bapaknya kakek. Padahal nasab merupakan kebanggaan bangsa arab, hingga Abu Bakar r.a terkenal sebagai pakar nasab, yang bukan hanya hafal nasabnya saja akan tetapi hafal nasab sahabat-sahabat Nabi yang lainnya. Bagi masyarakat Arab, aib jika seseorang tidak mampu menyebutkan silsilah nasabnya ke atas. Bahkan mereka meragukan nasab orang yang tidak bisa menyebutkan nasabnya.
• Pada saat kelahirannya s.a.w ada kilatan sinar cahaya benderang dari rahim ibunya, menyinari istana-istana raja di Syam, bergetarnya berhala-berhala Quraisy dan juga singgasana Kisra raja Persia bergetar hebat, lebih dari sepuluh kebesarannya runtuh berjatuhan dan api Persi (api majusi) yang mereka sembah tiba-tiba padam, padalah belum pernah api itu padam selama dua ribu tahun sebelumnya. Semua ini merupakan signal dari Allah bagi penduduk bumi bahwa telah lahirnya penutup para rasul yang akan menaklukan dunia dan memakmurkan bumi dengan cahaya petunjuknya dan disebarkan oleh pengikutnya.
• Tentang hari kelahirannya yang masyhur di kalangan kita adalah malam ke 12 Rabiul Awwal, walaupun para peneliti sejarah kontemporer, di antaranya Syafiur Rahman al-Mubarakfury, justru menemukan data akurat yang menegaskan bahwa hari kelahiran Nabi s.a.w adalah 9 Rabiul Awwal.
• Disunnahkan memberikan khabar gembira apabila ada kelahiran seorang bayi, dan bagi yang mendengarnya hendaklah mendo’akan keberkahan baginya. Hasan Bashri rahimahullah mengajarkan kita do’a bagi orang yang mendapatkan kebahagiaan dengan lahirnya sang buah hati :
بُوْرِكَ فِي الْمَوْهُوْبِ , شَكَرْتَ الْوَاهِبَ , وَبُلِّغْتَ رُشْدَهُ وَرُزِقْتَ بِرَّهُ
“Mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan bagimu atas hadirnya buah hatimu, menambah rasa syukurmu kepada Yang Mamberi (Allah), engkau bisa melihatnya hingga dewasa dan engkau diberikan karunia dengan keta’atan dan kebaktiannya padamu.”
Saudaraku,
Mari kita jadikan bulan kelahiran Rasulullah s.a.w, sebagai momentum perbaikan diri. Memuhasabah diri, tentang kadar kecintaan kita kepada Rasulullah s.a.w.
Cinta Rasulullah, bukan sekadar ucapan lisan belaka. Bukan pula sekadar melantun shalawat Nabi dengan mendayu-dayu. Bukan pula sekadar menggelar acara gebyar maulid Nabi. Dan yang senada dengan itu.
Parameter cinta Rasul adalah semakin dekatnya kta dengan sunnahnya. Meneladani kelembutannya terhadap keluarganya. Mencontoh ibadah dan perjuangannya. Berkasih sayang dengan sesama muslim. Berdekatan dengan anak-anak yatim dan mengasihi orang-orang lemah.
Dan tentunya, dasar kita mencontoh dan meneladani Rasulullah s.a.w pada semua sisi kehidupan beliau adalah tulus dan ikhlas mengharap ridha-Nya. Bukan mengharap pamrih duniawi dan pujian semu manusia. Wallahu a’lam bishawab.
(Manhajuna/GAA)