Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul -Nya.
Tauhid di bagi atas 3 macam,
- Tauhid Rububiyah.
- Tauhid Asma wa Shifat. Dan kedua jenis tauhid ini berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan.
- Tauhid Uluhiyah atau tauhid Ibadah. Yang diungkapkan oleh sebagian ulama dengan nama Tauhid Thalab dan Qashd (Tuntutan dan tujuan).
Tauhid Rububiyah
Ulama menjelaskan definisi dari jenis tauhid ini dengan berbagai ungkapan, semisal apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ‘Dan tauhid Rububiyah itu ialah (menyakini) tidak ada pencipta selain Allah Shubhanhahu wa ta’alla. (Karena) tidak mungkin ada suatu apapun yang lepas dari -Nya, dalam hal penciptaan suatu benda atau urusan, bahkan, bila -Dia menghendaki pasti terjadi, dan bila tidak menghendaki maka tidak mungkin terjadi'[1].
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, “Nama Rabb terhimpun padanya makna yang mencakup bagi seluruh makhluk yaitu yang menguasai segala sesuatu dan menciptakan serta maha mampu untuk melakukan hal tersebut. Dan itu semua tidak mungkin bisa luput sedikitpun dari rububiyah -Nya, dan setiap apa yang ada di langit serta di muka bumi adalah hamba yang ada dalam genggaman -Nya serta dibawah kekuasaan -Nya”[2].
Seorang ulama yang bernama Safarini[3] menyebutkan, “Tauhid rububiyah yakni bahwa tidak ada pencipta, tidak ada pemberi rizki, tidak ada yang menghidupkan, tidak ada yang mematikan, tidak ada yang mengadakan sesuatu yang tadinya tidak ada melainkan hanya Allah ta’ala” [4]. Dan berkata Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Wahab [5], didalam penjelasan tentang makna tauhid rububiyah tersebut, “Yaitu menetapkan bahwa Allah ta’ala adalah Rabb segala sesuatu, dan yang menguasainya, menciptakan serta memberinya rizki.
Bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla saja yang menghidupkan dan mematikan, memberi manfaat dan mara bahaya, yang tunggal dalam mengabulkan do’a tatkala terkena musibah, yang bagi -Nya segala urusan diserahkan, ditangan –Nya segala kebaikan berada, yang maha mampu atas segala sesuatu yang di inginkan -Nya, dan tidak ada satupun sekutu bagi -Nya, dan masuk dalam hal itu keimanan terhadap takdir”[6].
Dari sini maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa tauhid rububiyah ialah menetapkan serta mengakui bahwa Allah ta’ala semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, yang menciptakan seluruh makhluk yang ada atas maupun di bawah, yang bisa disaksikan maupun tidak.
Bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang mengatur alam semesta ini, tidak ada seorangpun yang bersekutu dengan -Nya, sebagaimana seluruh takdir makhluk berada didalam genggaman -Nya, dari memberi rizki, mematikan, menghidupkan, seluruh perkaranya makhluk.
Bahwasannya jikalau -Dia menghendaki sesuatu tinggal mengucapkan jadilah, maka terjadilah. Dan tidak ada sekutu pada semua itu dan tidak ada yang sepadan dan tidak pula yang serupa dengan -Nya. Bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mengurusi seluruh makhluk dengan berbagai macam kenikmatan, dan mengurusi makhluk-makhluk khusus milik -Nya yaitu para nabi dan pengikutnya, yang beriman kepadanya, membenarkan apa yang dibawa olehnya dari sisi Rabb mereka, dengan keyakinan yang benar, dan akhlak yang luhur, serta ilmu yang bermanfaat, dan amal sholeh.
Dan memungkinkan untuk mengetahui tentang tauhid ini dengan sebuah ungkapan yang ringkas seperti yang diucapkan oleh Ibnu Qoyim, yakni meng –Esakan Allah azza wa jalla dalam penciptaan dan menghukumi [7]. Ucapannya, meng –Esakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam penciptaan, maka mencakup dalam hal ini menciptakan pada pertama kalinya, yaitu memulai penciptaan manusia dan yang lainnya. Kemudian pada penciptaan kedua, yaitu kebangkitan dari kubur. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firman -Nya:
“Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru”. (QS Qaaf: 15).
Dan ini merupakan kekhususan Allah azza wa jalla.
Dan ucapannya, mengesakan dalam menghukumi, mencakup dalam hal ini menghukumi dalam memberi manfaat dan mara bahaya terhadap makhluk, mengurusi urusan mereka, memberinya rizki, maka Allah azza wa jalla adalah pemberi manfaat dan mara bahaya, yang mengurusi urusan dan memutuskannya, yang memberi rizki, dan inilah yang dinamakan hukum takdir dan kauni yaitu apa yang diputuskan oleh -Nya baik sesuai dengan takdir dan penciptaan [8].
Demikian pula mencakup hukumnya secara syar’i, yaitu yang Allah Shubhanahu wa ta’alla takdirkan dalam bentuk syari’at [9]. Maka seluruh hukum-hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla secara syar’i terhadap ciptaan -Nya adalah termasuk dari kandungan rububiyah -Nya. Yang memiliki hak mutlak dalam memutuskan, Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan didalam firman -Nya:
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (al-Qur’an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS al-An’aam: 57).
Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah pemutus hukum dan hanya kepada -Nya kembali hukum tersebut“[10].
Kesimpulannya, tauhid rububiyah ialah menetapkan bahwa Allah azza wa jalla adalah rabb segala sesuatu, pencipta dan pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkan, memberi manfaat dan mara bahaya, yang maha mampu atas perbuatan yang di inginkan kapanpun waktunya, dan tidak ada sekutu, yang sepadan dan pembantu bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam masalah itu semua [11].
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala didalam firman -Nya:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui“. (QS al-Baqarah: 21-22).
Demikian pula didalam firman -Nya:
“Allah -lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rizki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS ar-Ruum: 40).
Dan ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak walaupun perlu dipahami bahwa menetapkan tauhdi ini bukan berarti secara otomatis masuk dalam kategori ikhlas didalam beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata dan menjadikan pelakunya tidak menyekutukan –Nya dengan yang lain baik secara dhahir maupun batin, dan penetapan tauhid jenis ini tidak serta merta menjadikan seseorang menjadi muslim, karena Allah tabaraka wa ta’ala merekam tentang eksistensi orang musyrik pada zaman dahulu yang telah menetapkan jenis tauhid ini. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla didalam firman -Nya:
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada -Nya)?” (QS Yunus: 31).
Dalam ayat lain Allah ta’ala menyebutkan:
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah?” (QS az-Zukhruf: 87).
Dengan penetapan yang mereka lakukan terhadap tauhid ini tidak menjadikan serta merta menjadi seorang muslim, hal tersebut dikarenakan kekosongan mereka dalam keikhlasan ketika beribadah kepada –Nya semata.
Catatan Kaki:
[1] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 10/331. 14/380.
[2] Madarijus Salikin 1/34.
[3] Beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Salim bin Sulaiman as-Safarini, an-Nablusi, al-Hanbali. Abul Aun, Syamsudin. Ahli hadits, fakih, ahli ushul, sejarahwan, ikut serta dalam ilmu pengetahuan yang banyak. Lahir pada tahun 1114 H, dan meninggal pada tahun 1188 H. Diantara karya tulisnya yang sangat banyak ialah al-Buhur Zaakhirah fii Ulumil Akhirah. Lawami’ul Anwaril Bahiyah li Syarh Mandhumah ad-Durah Madhiyah fii Aqidah Firqotun Najiyah dan yang lainnya. Lihat biografinya dalam Mu’jamul Mu’alifiin 8/262.
[4] Lawami’ul Anwaril 1/128-129.
[5] Beliau adalah Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdul Wahab, dari keluarga Alu Syaikh. Fakih ahli Nejed, lahir Di Dir’iyah pada tahun 1200 H. beliau termasuk ulama besar dalam ilmu Tafsir, hadits dan fikih. Pernah diadukan dengan kejelekan oleh sebagian orang munafik kepada Ibrahim Basya setelah masuk dan mampu menguasai Dir’iyah. Kemudian Ibrahim Basya memanggilnya dan menyuruh tentaranya untuk menembak dirinya secara bersama-sama, kemudian beliaupun tersungkur meninggal, inalillahi wa ina ilahi raji’un, dan kejadian itu bertepatan pada tahun 1233 H. diantara karya tulisnya ialah Taisirul Azizil Hamid fii Syarh Kitabut Tauhid. Lihat biografinya dalam al-A’lam karya Zarkali 3/129.
[6] Taisirul Azizil Hamid fii Syarh Kitabut Tauhid hal: 17.
[7] Madarijus Salikin 1/410.
[8] Syarh Aqidah Washitiyah karya Ibnu Utsaimin hal: 15.
[9] Ibid .
[10] HR Abu Dawud no: 4955. Nasa’i 8/226. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’ no: 2615.
[11] Lihat dalam Taisirul Azizil Hamid hal: 33. Syarh Thahawiyah 1/25, Syarh Fiqhul Akbar hal: 15, Dha’ul Ma’ali hal: 10-11, Qaulus Sadid hal: 13, al-Kasyaaful Jaliyah hal: 417, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 1/34-35, 2/34, 74.
Sumber: Macam-macam Tauhid أنوع التوحيد, Syaikh Abu Bakar Muhammad Zakaria, Penerjemah: Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad, IslamHouse.com
(Manhajuna/IAN)