Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Manhajuna.com – Tentang penentuan malam lailatul qadar ini, diantara para ulama telah terjadi kesepakatan dalam beberapa hal, dan sekaligus perselisihan dalam beberapa hal yang lain.
Adapun hal-hal yang disepakati tentang waktu jatuhnya malam 1000 bulan tersebut adalah sebagai berikut:
PERTAMA, seluruh ulama sepakat bahwa, lailatul qadar terjadi di dalam bulan Ramadhan setiap tahun. Hal itu berdasarkan firman Allah (QS. Ad-Dukhan [44]: 2; QS. Al-Qadr [97]: 1) yang menegaskan bahwa, Al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadar. Sementara itu di dalam firman Allah yang lain (QS. Al-Baqarah [2]: 185) dinyatakan bahwa, wahyu terakhir itu diturunkan pada bulan Ramadhan. Jadi berarti lailatul qadar itu ada di bulan Ramadhan.
KEDUA, para ulama sepakat atau hampir sepakat bahwa, lailatul qadar terjadi di dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan penegasan banyak hadits sahih tentang itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Temukanlah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari).
KETIGA, mereka juga sepakat atau hampir sepakat bahwa, terjadinya malam termulia itu bertepatan dengan salah satu malam ganjil diantara sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Carilah lailatul qadar pada malam ganjil diantara sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan hal-hal yang diperselisihkan tentang penentuan malam lailatul qadar, adalah sebagai berikut:
PERTAMA, perselisihan apakah lailatul qadar terjadi pada satu malam yang sama setiap Ramadhan, ataukah ia berpindah-pindah tiap tahun diantara malam-malam ganjil dalam sepuluh malam terakhir? Dan madzhab kedua inilah madzhab jumhur yang insyaallah sekaligus lebih kuat dan rajih. Yakni bahwa, lailatul qadar itu tidak tetap terjadinya pada suatu malam tertentu saja setiap tahunnya, Melainkan, dari tahun ke tahun, bisa saja sengaja dibuat berubah-ubah dan berpindah-pindah diantara seluruh malam ganjil diantara sepuluh malam terakhir tersebut.
KEDUA, diantara sesama penganut madzhab tetapnya lailatul qadar pada satu malam tertentu yang sama setiap tahun, masih ada perselisihan lagi. Yakni mereka berselisih dalam menentukan satu malam yang tetap itu secara definitif. Apakah ia adalah malam ke-21, malam ke-23, malam ke-25, malam ke-27, ataukah malam ke-29? Dan jumlah madzhab mereka dalam hal ini persis sebanyak jumlah malam ganjil itu sendiri.
KETIGA, dan inilah yang mungkin paling membuat penentuan malam lailatul qadar secara definitif menjadi sangat relatif sekali. Yaitu faktor besarnya potensi perbedaan dalam penentuan yang ganjil dan yang genap, baik diantara malam-malam Ramadhan secara keseluruhan, maupun diantara sepuluh malam terakhirnya saja secara khusus. Dimana terdapat minimal dua penyebab utama untuk itu, sebagai berikut:
SATU, potensi perbedaan dalam penentuan yang ganjil dan yang genap diantara malam-malam bulan Ramadhan, dipicu oleh adanya perbedaan dalam penetapan awal puasa, yang masih sering terjadi di negeri ini. Dimana konsekuensinya tentu saja sudah jelas bahwa, malam ganjil misalnya bagi suatu kelompok, saat perbedaan itu terjadi, adalah justru merupakan malam genap bagi kelompok yang lain. Dan tentu saja begitu pula sebaliknya. Nah jika demikian halnya, lalu apakah mungkin berarti akan terjadi dua malam lailatul qadar dalam satu bulan Ramadhan, ketika terjadi perbedaan seperti itu, sehingga masing-masing kelompok akan “memiliki” lailatul qadar-nya sendiri yang berbeda dengan lailatul qadar kelompok lain?
DUA, perbedaan penetapan ganjil dan genap diantara malam-malam terakhir Ramadhan, yang dilatar belakangi oleh perbedaan dasar penetapan. Yakni apakah dasarnya adalah keseluruhan malam Ramadhan yang dihitung dari awal puasa? Sehingga yang ganjil diantara malam-malam terakhirnya, dengan demikian, adalah malam-malam ke: 21, 23, 25, 27, dan 29, seperti yang berlaku sesuai opini umum selama ini?
Ataukah dasar pembedaan ganjil dan genap tersebut adalah sepuluh malam terakhir itu sendiri? Dimana, dengan begitu, malam-malam terakhir ganjil tersebut adalah: malam pertama, malam ke-3, malam ke-5, malam ke-7, dan malam ke-9, tentu saja dari sepuluh malam terakhir. Dan itu belum tentu selalu bertepatan dengan malam-malam ke-21, ke-23 dan seterusnya. Kecuali bila usia bulan genap 30 hari, sehingga malam pertama dari sepuluh malam terakhirnya memang jatuh pada malam ke-21. Namun bila umur bulan, seperti prediksi kuat untuk Ramadhan kali ini, hanyalah 29 hari saja, maka malam ganjil diantara sepuluh malam terakhirnya justru mulai dari malam ke-20 dan bukan malam ke-21. Jadi malam-malam ganjil tersebut, atas dasar itu, justru bertepatan dengan malam-malam ke: 20 (malam pertama), 22 (malam ke-3), 24 (malam ke-5), 26 (malam ke-7), dan 28 (malam ke-9).
Dan penetapan ganjil serta genap dalam konteks prediksi malam lailatul qadar yang dihitung dari sepuluh malam terakhir saja, dan bukan dari keseluruhan malam bulan Ramadhan sejak awal puasa, memang cukup kuat. Karena, seperti dalam hadits shahih yang dikutip diatas, bahwa kita diperintahkan oleh Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar berupaya mencari dan menemukan lailatul qadar pada malam ganjil diantara sepuluh malam terakhir, dan bukan diantara seluruh malam bulan Ramadhan. Meskipun opini ini tentu saja masih relatif, seperti relatifnya opini-opini yang lain juga.
Jadi kesimpulannya, seperti yang telah saya tegaskan dalam tulisan yang lain, bahwa masalah penentuan malam lailatul qadar itu memang sangat relatif sekali. Maka dalam rangka menggapainya, tentu tidaklah tepat jika seseorang hanya “membidik” malam-malam ganjil saja atau apalagi hanya satu malam saja, diantara sepuluh malam terakhir. Karena potensi melesetnya “bidikan” tersebut sangat besar sekali. Melainkan yang benar dan yang tepat, sesuai petunjuk dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga dari praktik ulama salafus saleh dan khalafus saleh, adalah dengan cara meratakan mujahadah dengan amal ibadah seoptimal dan semaksimal kemampuan sepanjang bulan suci Ramadhan seluruhnya, dan puncaknya pada sepuluh malam dan sepuluh hari terakhir seluruhnya.
Jadi, sekali lagi, mungkin esensi dari keberkahan malam lailatul qadar itu, dengan demikian, justru terletak pada upaya mujahadah dengan amal ibadah optimal semerata mungkin selama bulan puasa, utamanya pada sepuluh malam terakhir semuanya. Dimana sangat boleh jadi untuk hikmah besar itulah, lailatul qadar sengaja disamarkan dan “dimisterikan”.
Semoga kita semua termasuk diantara hamba-hamba pilihan Allah yang dimaksud didalam sabda Baginda Rasul tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): “Barang siapa melakukan qiyamullail pada malam lailatul qadar, maka akan diampunkan seluruh dosanya yang telah lalu.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Dan semoga kita semua tercantum dalam daftar para pemenang yang beruntung dan para juara yang berbahagia dengan raihan poin keberkahan tertinggi di bulan suci ini! Aamiin!
(Manhajuna/GAA)