Diterjemahkan oleh: Ustadz Faris Jihady, Lc. (*)
Fiqh mendalam dari Ibn Rajab Al-Hanbali, memahami tabiat jiwa ketika terjadi ikhtilaf (perbedaan), ia berkata dalam Jami’ul Ulum wal Hikam:
“Dalam hal ini ada hal tersirat yang harus dicermati: Sebagian dari pemimpin/imam/alim agama boleh jadi mengatakan sebuah pendapat yang marjuh (tidak tepat/salah), di mana ia berijtihad, dan ia berpahala atas hasil ijtihadnya, dan kesalahannya dalam ijtihad tersebut diampuni.
Adapun pengikut/pembelanya –dalam ijtihadnya tersebut- tidaklah sama kedudukannya dengan pemimpin/’alim junjungannya tersebut, karena boleh jadi si pengikut membela junjungannya tidak lain semata karena si junjungan tersebut yang mengatakannya.
Sementara jika pendapat yang sama diucapkan oleh pemimpin/’alim yang lain; si pengikut ini takkan menerimanya, tak pula membelanya, tidak akan loyal dengan orang yang sepakat, tidak pula memusuhi orang yang memusuhi (pemimpin/’alim lain tersebut).
Meski demikian si pengikut tetap menyangka bahwa dia membela kebenaran, sebagaimana junjungannya, padahal hakikatnya tidak demikian. Karena si junjungan niatnya adalah membela kebenaran, meski salah dalam ijtihadnya.
Adapun si pengikut, pembelaannya terhadap apa yang ia anggap kebenaran ternodai dengan keinginan agar junjungannya tetap tinggi derajatnya, kata-katanya tetap didengar, dan tidak dinisbatkan kepada kesalahan.
Ini adalah bisikan tersembunyi yang menodai maksud membela kebenaran.
Pahami ini dengan baik, karena ini adalah fahmun ‘azhiim (kepahaman yang agung/mendalam), dan semata Allah yang menunjuki ke jalan yang lurus.”
(Manhajuna/IAN)