Hijri Calendar by Alhabib
Beranda / Hikmah / Menapaki Tangga-Tangga Kemuliaan
>> Sponsorship/Donasi Website Manhajuna <<

Menapaki Tangga-Tangga Kemuliaan

Oleh: Ustadz Fir’adi Nasruddin, Lc

» وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ, إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ «

“Dan apapun infaq yang kamu berikan atau nazar yang kamu janjikan, maka sungguh Allah mengetahuinya. Dan bagi orang zalim tiada seorang pun penolong baginya. Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka hal itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Al-Baqarah: 270-271).

Saudaraku,
Setiap orang mendambakan kemuliaan hakiki. Bukan kemuliaan semu yang menipu. Bukan pula gincu yang membelenggu. Namun tidak jarang kemuliaan yang dikejar justru menjauh dan lenyap tak berbekas. Tercerabut dari hati dan tak meninggalkan jejak.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah menuntun kita menapaki tangga-tangga kemuliaan yang terbingkai dalam untaian mutiara hikmah. Beliau bertutur:

Tangga kemuliaan yang paling berat kita tapaki ada tiga perkara:

Berderma di kala pailit (baca; jatuh miskin)
• Menjaga diri (dari maksiat) di kala sepi (jauh dari penglihatan manusia).
• Berani menyuarakan kebenaran di depan orang yang kita berharap (maslahat darinya) dan takut kepadanya.

Saudaraku,
Ayunan langkah kita terasa sangat berat menaiki ketiga tangga kemuliaan di atas, tanpa semangat membaja. Tanpa kerinduan terhadap surga yang membahana. Tanpa menggantungkan harapan yang besar kepada-Nya. Tanpa berpegang erat kepada Zat Yang Mahakuat, maka kita akan terpelanting jatuh dan terjerembab ke jurang kebinasaan.

Merupakan aksioma bahwa di saat ada, berkecukupan dan dinaungi kekayaan terkadang berat kita mendermakan harta kita. Karena memang manusia secara fitrah mencintai harta benda dan kekayaan. Untuk itu seluruh perintah jihad dalam al-Qur’an, selalu diawali dengan jihad maal (harta) sebelum jihad anfus (jiwa) terkecuali satu ayat dalam al-Qur’an, yakni dalam surat at-Taubah ayat 111. Sebab jihad mengorbankan nyawa mustahil terwujud jika kita enggan berjihad dengan harta. Karena cinta harta itu identik cinta dunia. Dan orang yang cinta dunia sudah barang tentu membenci kematian.

Berderma di saat pailit, bangkrut, terhimpit kesulitan-kesulitan hidup, merupakan tanda kedalaman iman dan keistiqamahan kita di atas jalan kebenaran menuju surga-Nya.

Orang yang berderma sewaktu lapang, kaya, mampu, sehat, usaha Berjaya, bisnis yang terus melonjak capaiannya, jabatan yang terus meroket, kedudukan yang semakin tinggi dan yang senada dengan itu. Merupakan perkara yang biasa dan lumrah.

Tetapi konsisten dalam berinfaq, ketika kebangkrutan melanda, kejayaan menjauh, ekonomi terpuruk, harta benda terkuras, pendidikan anak terbengkalai. Jabatan yang telah direshafle, rumah tempat tinggal yang telah disita, masa depan suram dan yang seirama dengan itu. Tetap berderma di kala sempit dan terjepit walau pun kadar infaq-nya terbatas. Maka hal itu merupakan parameter kemuliaan yang sejati.

Berderma di kala pailit, bukan didasari karena frustasi. Bukan pula karena putus harapan dan asa menghilang. Tapi karena ingin tetap berada pada jalur yang benar dan trek yang tepat menuju kesuksesan abadi dan keberuntungan sejati serta meraih kemuliaan hakiki.

Tidak pula melupakan hutang terhadap bani Adam. Tidak pula terbirit-birit lari dari kredit. Karena kewajiban tetap harus dijalankan. Hak-hak orang lain, harus tetap dipelihara dan ditunaikan. Bukan dilupakan dan diabaikan.

Saudaraku,
Mampu memelihara diri dari perbuatan dosa dan maksiat di kala sepi, jauh dari penglihatan orang, sulit terwujud jika tidak ada perasaan muraqabatullah, merasa selalu diawasi Allah s.w.t. Orang yang mampu menjaga dirinya dalam kesunyian, tentulah lebih mudah baginya untuk menghadirkan pengawasan Allah dalam keramaian.

Hipokrit (kemunafikan) disematkan salafus shalih terhadap orang yang giat beribadah di kala ramai, tapi semangat ubudiyah menjadi luntur saat sepi dari pandangan manusia. Terjaga kehormatan diri saat berinteraksi dengan manusia, tapi mata dan anggota tubuh kita yang lain terpuruk dalam dosa dan maksiat, saat kita jauh dari jangkauan pandangan mereka.

Yang demikian itu diistilahkan dengan orang yang shalih secara zahir, tapi thalih secara bathin. Dan mental seperti inilah yang paling dikhawatirkan salafus shalih menimpa mereka. Karena di akherat sana mental seperti ini akan mendatangkan mala petaka yang dahsyat tak terkira. Walau pun bisa jadi, di dunia kita mendapat pujian yang merata-rata dari manusia di sekeliling kita. Wal ‘iyadzu billah min dzalik.

Fudhail bin Iyadh rahimahullah pernah berkata, “Orang mukmin menanam pohon kurma, khawatir membuahkan duri. Sedangkan orang munafiq menanam pohon berduri, mengharap berbuah kurma yang segar.”

Seorang ulama salaf pernah menasihati Umar bin Abdul Azis, “Wahai Umar (bin Abdul Azis) janganlah engkau menjadi wali Allah dalam keramaian, tetapi menjadi musuh-Nya dalam kesunyian. Karena sesungguhnya orang yang berbeda keshalihannya di saat ramai dan sepi, maka ia telah terlempar ke dalam kelompok munafiqin. Dan kelak dalam neraka ia menempati tempatnya yang paling rendah dan hina.”

Saudaraku,
Menyuarakan kalimat al-haq di hadapan mudir kita, atasan, pejabat, pelaksana pemerintahan dst. Yang kita meletakkan tumpuan harapan dan tak kita kehendaki kemarahannya, merupakan perbuatan yang sangat berat untuk kita lakukan.

Nabi SAW bersabda, “Warna jihad terbesar adalah menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalam kitab ‘tuhfat al-ahwadzi’, yang merupakan syarah sunan Tirmidzi, Abu al-‘Ula al-Mubarakfuri menjelaskan: “Pernyataannya dalam satu riwayat yakni sebaik-baiknya jihad yakni kalimat yang benar sebagaimana dalam riwayat lainnya dan maksudnya adalah kalimat yang mengandung faidah menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar baik berupa ucapan lisan atau yang semakna dengannya seperti tulisan dan yang semisalnya yakni penguasa lalim dan zhalim.”

Banyak kisah salafus shalih yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa zalim, salah seorang dari mereka seperti diceritakan Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam kitabnya hilyat al-auliya’.

Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Hasan al-Basri, dan asy-Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?.”

Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukkan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu beliau berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan engkau yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.”

Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Hasan al-Basri empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan asy-Sya’bi dua ribu dirham.

Ada pun Ibnu Sirin beliau tidak mengambil hadiah itu.”

Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya ‘siyar a’lam an-nubala’ memberikan komentar tentang Ibnu Sirin, yang mengutip perkataan Hisyam, “Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.”

Inilah Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah, yang dengan tegas menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama. Mereka seperti Hasan Basri dan asy-Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian, tapi secara terbuka.

Saudaraku,
Mari kita berlomba melewati tiga tangga kemuliaan tersebut. Mudah-mudahan kita semua mampu menapaki tangga-tangga kemuliaan tersebut. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

(Manhajuna/GAA)

(Visited 625 times, 1 visits today)

Beri Komentar (via FB)

http://bursanurulfikri.com/

Lihat Juga:

Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

Manhajuna – Bulan rajab baru saja datang, dan berlalu tanpa terasa. Setelahnya adalah sya’ban, kemudian bulan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *