Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Tidak perlu ditanya tentang kecintaan seorang muslim terhadap Rasulnya. Sedikit saja keimanan bersemayam di dadanya, cinta kepada Rasululullah saw, niscaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Cinta yang ada ini seharusnya terus dipelihara, dipupuk dan selalu dihidupkan dari masa ke masa agar tak redup di telan zaman.
Akan tetapi, semestinya permasalahannya tidak berujung pada rasa cinta. Justeru rasa cinta itulah yang harus dijadikannya sebagai energi kehidupan untuk meneladani Rasulullah saw. Sekaligus inilah bukti paling riil pengakuan cinta seseorang kepada siapa yang dicintainya. Cinta tanpa bukti nyata, adalah cinta gombal seorang pembual.
Seorang penyair berkata,
لَوْ كُنْتَ تَصْدُقُ حُبَّهُ لأَطَعْتَهُ ****** إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيعُ
Seandainya cintamu kepadanya benar, niscaya engkau akan menaatinya
Sesungguhnya, seorang pencinta akan taat kepada yang dicintainya.
Cinta kepada Rasulullah saw yang berujung kepada sikap meneladaninya, adalah cinta sejati bukan cinta basa-basi, cinta yang teruji bukan sekedar seremoni, cinta aktual bukan sekedar emosional, cinta abadi, bukan cinta setengah hati.
Jika kita telah sepakat tentang hal ini, hal berikutnya yang penting kita pahami dengan baik adalah bagaimana sesungguhnya cara kita meneladani Rasulullah saw?
Jawabannya ada terkandung pada ayat yang sangat kita hafal,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ – سورة الأحزاب: 21
“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu…” (QS. Al-Ahzab: 21)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa teladan yang harus kita ambil dari Rasulullah saw adalah semua hal terkait dengan kehidupannya. Tidak hanya terbatas pada satu aspek tertentu dari kehidupannya.
Ketika berbicara tentang teladan Rasulullah saw, sebagian orang ada yang melulu berbicara tentang etika dan hubungannya antara sesama manusia, lupa kalau aqidah dan ibadah adalah masalah prinsip, sebagian lagi fokus kepada masalah ibadah, abai bahwa masalah akhlak tidak boleh terbengkalai, sebagian lainnya konsentrasi pada masalah aqidah, tak peduli dengan ibadahnya yang kering dan akhlaknya yang ‘garing’. Sehingga sering terjadi munculnya kepribadian yang tidak utuh dalam pandangan Islam dan akhirnya melahirkan pandangan yang tidak utuh terhadap Islam itu sendiri.
Ada yang aqidahnya mantap, tapi lisannya penuh duri suka menyakiti. Ada pula yang akhlaknya begitu lembut, tapi aqidahnya kabur penuh kabut. Adapula yang ibadahnya getol, namun aqidah jebol dan akhlaknya ambrol.
Yang diinginkan dalam meneladani Rasulullah saw adalah bagaimana agar seorang muslim memiliki sifat salimul aqidah (aqidah yang bersih), shahihul ibadah (ibadah yang sahih) dan matinul khuluq (akhlak yang jernih). Ini tentu membutuhkan sebuah kesadaran sekaligus proses yang berkelanjutan, serta bimbingan dan pembinaan Spartan agar kehidupan kita semakin dekat dengan kemuliaan pribadi Rasulullah saw.
Seorang bijak berkata,
تَشَبَّهُوا بِالْكِرَامِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِثْلَهُمْ ، فَإِنَّ التَّشَبُّهَ بِالْكِرَامِ فَلاَحُ
“Serupailah orang mulia, meskipun engkau tidak menjadi seperti mereka,
Karena menyerupai orang mulia mengundang keberuntungan.”
Semoga kecintaan kita kepada Rasulullah saw, bukan cuma cinta semusim yang merasa cukup dengan seremoni sesaat dan hanya mengandalkan pengakuan tanpa bukti kuat. Tapi cinta yang mendorong kita untuk selalu berupaya meneladani semua aspek kehidupan beliau sepanjang hayat. Aamiin.
Allahumma shalli alaa muhammad wa alaa aali Muhammad….
Riyadh, Rabiul Awal 1436 H.
(Manhajuna/AFS)