Oleh Ust. Abdullah Haidir, Lc.
Manhajuna – Wali Allah, adalah istilah yang tidak asing di kalangan kaum muslimin. Namun demikian, banyak kaum muslimin yang tidak memahami masalah ini secara tepat dari sudut pandang syari’ah. Padahal tidak jarang terjadi penyimpangan dalam aqidah yang bersumber dari rancunya pemahaman istilah tersebut pada diri seseorang.
Siapakah Wali Allah?
Menurut bahasa: Wali (ولي) berarti pembela dan pencinta.[1])
Sedangkan menurut istilah, pemahaman tentang wali secara lugas telah dinyatakan dalam Al-Quran dalam surat Yunus: 62-63.
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)
Al-Laalikai berkata:
“Wali adalah kedudukan tinggi dalam agama yang hanya dicapai oleh orang yang telah menegakkan agama, baik lahir maupun batin. [2])
Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya tentang ayat ini, setelah menyebutkan pendapat tentang siapa yang dimaksud wali Allah, berkata,
“Yang benar, ‘wali’ maksudnya wali Allah, adalah mereka yang memiliki sifat sebagaimana yang telah Allah sifati, yaitu; Beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya, “(Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertakwa.” [3])
Ibnu Katsir berkata:
“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya para wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertaqwa -sebagaimana yang telah Dia dijelaskan-. Maka siapa saja yang bertaqwa, dia adalah wali Allah Ta’ala” [4])
Istilah wali dapat dipahami dari dua sisi yang saling berkaitan satu sama lain:
Pertama, dari sisi seorang hamba. Seseorang dikatakan sebagai wali Allah (Waliyullah) jika dia adalah orang beriman kepada-Nya, mencintai dan membela ajaran-Nya dan menjalankan syariat-syariat-Nya.
Kedua, dari sisi Allah Ta’ala. Allah adalah Wali bagi orang beriman (Waliyullazina Aamanuu). Maka itu berarti Dia mencintai dan menolong hamba-Nya yang beriman dengan sebenar-benarnya.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Rasullah saw dalam riwayat Bukhari:
« إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ » [رواه البخاري]
“Sesungguhya Allah Ta’ala berfirman: Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Tidak ada ibadah seorang hamba yang lebih Aku cintai kecuali ibadah yang telah Aku wajibkan kepadanya. Jika hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara-perkara sunah (setelah melaksanakan yang fardhu) maka Aku akan mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku (akan menjaga) pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, (menjaga) penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, (menjaga) tangannya yang digunakannya untuk memukul dan (menjaga) kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya Aku akan lindungi.” (HR Bukhari)
Berdasarkan pemahamaman yang bersumber Al-Quran dan Sunnah, kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang –siapapun dia- dikatakan sebagai wali Allah manakala dia telah mewujudkan keimanan dan ke-taqwaannya kepada Allah Ta’ala dengan sebenarnya, dan tingkat kewaliannya berbanding dengan tingkat keimanan dan ketakwaannya.
Wali Allah yang paling tinggi adalah pada para Nabi dan Rasul. Maka setiap Nabi dan Rasul pastilah dia wali Allah, tapi tidak setiap wali Allah dia seorang Nabi Rasul. Maka, kelirulah orang yang berpendapat bahwa wali Allah lebih tinggi sedikit tingkatannya di atas para Nabi dan dibawah tingkatan para Rasul.
Beberapa Pemahaman Keliru Tentang Wali Allah dan Jawabannya
Adanya keyakinan bahwa status wali adalah berdasarkan penunjukkan secara khusus dari Allah kepada seseorang sebagaimana halnya para Nabi dan Rasul. Bahkan ada yang memahami bahwa di daerah-daerah tertentu telah ditunjuk wali-wali tertentu sebagai “Wakil Allah”.
Tidak ada ayat atau hadits yang menunjukkan adanya penetapan khusus dari Allah tentang status wali pada orang-orang tertentu (si fulan dan si fulan), sebagaimana halnya para Nabi dan Rasul. Yang Allah khabarkan hanyalah sifat-sifat yang ada pada wali-Nya.
Jika orang tersebut beriman kepada Allah dengan benar, men-jalankan perintah dan menjauhkan larangan-Nya serta membela ajaran-Nya, maka dia adalah wali Allah, meskipun tidak ada orang yang memberinya gelar wali. Sebaliknya, jika dia pelaku maksiat, bid’ah dan kesyirikan, maka dia bukanlah wali Allah, meskipun orang-orang menjulukinya sebagai wali.
Adanya pemahaman bahwa wali Allah harus memiliki kemampuan luar biasa.
Adapun perkara kejadian luar biasa atau yang disebut karomah, hal tersebut bukan syarat bagi seseorang untuk dikatakan wali Allah, meskipun tidak mustahil jika hal itu terjadi. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya karomah, jika benar hal itu terjadi dan benar bahwa itu karomah, menunjukkan kewalian seseorang, sedangkan kewalian seseorang tidak harus ditunjukkan dengan adanya karomah. Tapi cukup dengan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala sesuai tingkatannya.
Perlu dipahami, bahwa setiap orang yang mengalami kejadian luar biasa tidak serta merta dia dikatakan wali Allah, bahkan mungkin juga terjadi pada wali setan jika ternyata pelakunya adalah orang kafir, atau pelaku maksiat, syirik dan bid’ah, sebab hal tersebut dapat juga bersumber dari setan.
Sekali lagi, Wali Allah tidak identik dengan kejadian luar biasa, dan kejadian luar biasa tidak identik menunjukkan kewalian seseorang.
Adanya pemahaman bahwa para wali adalah makhluk yang mengetahui perkara gaib dan dapat menentukan nasib seseorang. Sehingga dengan keyakinan tersebut, banyak yang mendatangi kuburannya jika dia telah meninggal dan memohon sesuatu kepadanya.
Tidak ada yang mengetahui perkara gaib, baik yang ada di langit maupun di bumi selain Allah Ta’ala.
“Katakanlah (hai Muhammad): Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib, kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65)
Begitu pula di alam ini. Tidak ada yang dapat menentukan dan mengatur segala sesuatu kecuali Allah Ta’ala. Tidak satupun selain-Nya yang dapat melakukan hal tersebut, apakah itu wali, dewa, jin, setan, bahkan hingga Nabi dan Rasul.
Bahkan Allah memerintahkan Rasulullah J untuk menyatakan kepada umatnya:
“Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.” (QS. Al-Jin: 21)
Karena itu, meyakini adanya seseorang yang dapat mengetahui perkara gaib atau dapat menentukan sesuatu di alam ini apalagi kemudian memohon atau berdoa kepadanya setelah dia meninggal, adalah termasuk perkara syirik.
Adapun mendatangi orang saleh semasa hidupnya dan memohon agar dia mendoakannya kepada Allah, hal tersebut termasuk tawassul yang dibolehkan dalam syariat.
Adanya pemahaman bahwa para wali adalah makhluk yang boleh keluar dari ketentuan syariat.
Pemahaman ini sering terjadi di tengah masyarakat. Sehingga tidak jarang terjadi, ada tindakan seseorang di depan publik yang nyata-nyata menyimpang dari syari’at, namun sebagian masyarakat masih mentolerirnya karena menganggap bahwa pelakunya termasuk wali yang derajatnya berbeda dengan masyarakat awam. Bahkan orang tersebut tetap diagung-agungkan dan disanjung-sanjung serta diterima setiap perkataannya.
Semua manusia –tanpa kecuali- tidak ada yang mendapat penge-sahan bahwa dirinya dapat keluar dari aturan syariat. Justru semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin takut dia meninggalkan ketentuan syariat, baik perkara kecil apalagi yang besar.
Hal itulah yang tercermin dalam kehidupan para nabi, para shahabat dan generasi pertama yang saleh.
Adanya pemahaman bahwa para wali dapat menjadi sumber pengamalan agama, selain Al-Quran dan Hadits. Baik dalam bentuk keyakinan, zikir, wirid, shalat, puasa dan sebagainya.
Sumber dasar pengamalan agama dalam Islam hanyalah Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah). Siapapun yang ingin menyampaikan ajaran Islam, tidak boleh keluar dari aturan dasar yang telah dite-tapkan kedua sumber tersebut. Bahkan jika ada perbedaan pendapat, kedua sumber itulah yang harus dijadikan rujukan.
Allah Ta’ala berfirman :
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59)
Maka sekalipun dia dijuluki masyarakat sebagai wali, tapi ajaran Islam yang dia sampaikan harus ditimbang sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Jika sesuai, maka harus kita ambil dan amalkan. Jika tidak, apalagi yang di dalamnya ada unsur dan keyakinan syirik, maka harus kita buang jauh-jauh dari kehidupan agama.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
وَإِذَا رَأَيْتُمْ قَوْلاً لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَالِفُ قَولِي فَاضْرِبُوا بِقَولِي عُرْضَ الْحَائِطِ
“Jika kalian melihat sabda Rasulullah bertentangan dengan pendapatku, maka lemparlah pendapatku ke luar pagar.” [5])
Adanya pemahaman bahwa para wali harus diagungkan dan tidak boleh ditentang sama sekali. Kalau tidak, maka hidup kita akan sengsara (kualat).
Menghormati wali Allah –jika mereka orang yang iman dan ketak-waannya kepada Allah benar- memang diperintahkan dalam agama. Namun berlebih-lebihan menyanjungnya, dilarang dalam agama.
Rasulullah saw bersabda :
« لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوا: أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ » [رواه البخاري]
“Janganlah kalian memuji aku berlebih-lebihan sebagaimana orang-orang Nashrani memuji (Isa) anak Maryam secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka hendaklah kalian berkata: Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari)
Adapun masalah menentang mereka, jika ternyata masalah yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang diajarkan syariat, maka kita memang dilarang untuk menentang sesuatu yang diajarkan dalam syari’at.
Namun jika hal tersebut ternyata bertentangan dengan ajaran syari’at, misalnya mereka mengajarkan kita wirid tertentu yang tidak ada sumbernya dalam Al-Quran dan Sunah, atau menyimpan jimat atau minta barokah dari kuburan-kuburan, dll. Maka pada masalah tersebut kita boleh tidak menaatinya dengan tetap menjaga adab yang berlaku.
Sikap tersebut tidak akan membuat hidup kita sengsara (kualat). Karena selain Allah, tidak ada yang dapat menentukan nasib kita. Kalaupun benar terjadi musibah, hal itu bukan semata-mata karena wali tersebut dapat menentukan nasib kita, tapi semata-mata dari Allah sebagai bentuk ujian kepada kita.
Wallahu ta’ala a’lam.
Riyadh, Shafar 1433H
[1]. Al-Mu’jam Al-Wasith, item (الولي), hal. 1058 [2]. Syarh I’tiqod Ahlussunnah…, Al-Laalika’i, IX/7 [3]. Tafsir Ath-Thabari, 15/123 [4]. Tafsir Ibnu Katsir, II/422 [5]. Lihat I’lamul Muwaqqi’in, oleh Ibnu Qayim Al-Jauziah II/361.